25 May 2016

Movie Review: My Stupid Boss (2016)


"He is quite the troublemaker."

Melakukan adaptasi dari sebuah sumber bahan yang sudah pernah eksis sebenarnya tidak pernah bersifat mengikat, beberapa modifikasi bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan jika memang niat utamanya adalah untuk dapat menggambarkan materi tadi menjadi presentasi visual yang menghibur tanpa kehadiran minus dari sumber bahan tadi di dalamnya. Buku My Stupid Boss merupakan kumpulan curahan hati Chaos@work yang menghibur meskipun bukan sajian komedi yang luar biasa lucu, dan dengan menggunakan style serta konsep “bersakit-sakit di gue, bersenang-senang di lo” versi layar lebar My Stupid Boss juga berakhir di level yang serupa dengan sumbernya tadi. Aduh sayang.

Akibat potensi untuk menetap di Malaysia lebih lama dari yang pernah ia lakukan sebelumnya wanita asal Indonesia bernama Diana (Bunga Citra Lestari) memutuskan untuk mulai mencoba mengisi waktunya dengan bekerja. Tidak seperti suaminya (Alex Abbad) yang dapat leluasa melakukan pekerjaannya dari rumah mereka bahkan dengan tetap menggunakan piyama, Diana memilih untuk bekerja sebagai sekretaris. Semangat dan rasa yakin Diana bahwa ia akan mampu menghadapi tantangan semakin besar setelah mendapati fakta bahwa pemilik perusahaan tempat ia akan bekerja adalah orang Indonesia dan merupakan sahabat dekat suaminya.

Celakanya ternyata masalah yang menghampiri Diana bukan berasal dari tugas yang harus ia lakukan, melainkan dari sang boss. Pria dengan rambut setengah botak dan kumis menyerupai ikan lele yang minta dipanggil dengan sebutan Bossman (Reza Rahadian) itu merupakan pemimpin sebuah perusahaan tanpa sistem yang tertata dan jelas. Motto yang ia punya memang bagus, “impossible we do, miracle we try,” namun di sisi lain ia juga menganut paham manajemen bahwa Boss adalah sosok yang selalu benar. Celakanya Bossman tidak membuat keputusan yang salah di dalam jalur yang benar, ia melakukan berbagai kesalahan di jalur yang salah dan berujung pada eksistensi berbagai kekacauan di dalam perusahaannya. 


Mengapa di bagian awal tadi disinggung modifikasi pada sebuah film adaptasi? Karena itu adalah masalah utama dari film ini. Mungkin sutradara sekaligus screenwriter Upi Avianto punya niat dan tujuan yang baik ketika memutuskan untuk menggunakan “pola” yang tidak jauh berbeda dari sumber bahan, My Stupid Boss tampil dengan gaya bercerita yang santai dan lepas, fokus utama pada bagaimana “sengsaranya” Diana tetap kuat di titik pusat cerita dan disekelilingnya eksis berbagai upaya komedi yang mencoba mengundang tawa. Sama seperti kumpulan curahan hati dari Chaos@work menyaksikan film ini terasa seperti sedang mendengarkan celoteh dan gerutu Diana tentang hal menjengkelkan yang baru saja hadir di dalam kehidupannya, tampil dalam bentuk kumpulan sketsa dilengkapi dengan narasi yang selalu mencoba menjelaskan apa yang terjadi.

Usaha tersebut berhasil tampil menghibur, pada awalnya. My Stupid Boss berhasil menghadirkan berbagai sketsa atau potongan komedi yang terbilang oke meskipun kuantitas hit dan miss dapat dikatakan seimbang pula. Ditemani setting dengan sentuhan warna yang artistik cenderung catchy penonton Upi bawa masuk dan kemudian terjebak bersama rasa geram dan gusar di dalam permainan mental yang sedang dihadapi oleh Diana. Mudah, sangat sangat mudah untuk menaruh simpati pada apa yang sedang dialami oleh Diana, terperangkap di kolam lele akibat kondisi maju kena mundur juga kena. Yang menarik adalah rasa jengkel penonton bersanding bersama senyuman di wajah mereka, berbagai aksi “kurang ajar” Bossman ditampilkan dalam bentuk yang tepat sehingga tidak terkesan kurang ajar. Namun bukankah segala sesuatu yang terlalu berlebihan itu tidak baik?


Ya, kinerja komedi dari film ini tidak berada di level “menarik” sejak awal hingga akhir. Sama seperti dinamika cerita yang perlahan seperti mulai tampak kelelahan berbagai lelucon rasa hyper yang terus disuntikkan ke dalam cerita mulai kehilangan rasa pedas dan pas seperti yang ia berikan di bagian awal. Masalahnya di mana? Pola lepas dan santai yang digunakan sejak awal menyebabkan My Stupid Boss kurang berhasil menampilkan kepentingan yang menarik ketika ia menginjak titik tengah durasi, tujuan utamanya bahkan belum jelas ketika telah berjalan selama satu jam. My Stupid Boss terlalu lama bercerita tentang betapa bodohnya si Bossman, terlalu asyik mengeksplorasi sisi konyol yang dimiliki si Bossman, dan itu menarik karena karakterisasi Bossman faktanya sudah terbentuk dengan sangat mudah. Alhasil akibat pergerakan yang repetitif tadi daya tarik film ini perlahan berkurang.

Sangat disayangkan hal tersebut terjadi karena sejak awal Upi (30 Hari Mencari Cinta, Radit & Jani, Realita Cinta dan Rock’n Roll, Belenggu) sangat mengandalkan dua karakter utamanya akibat dari segi cerita sejak sinopsis hingga akhir tidak ada yang benar-benar “wow” dari film ini. Karena terlalu lama mengeksplorasi pesona dari si Bossman yang awalnya sangat sangat kuat perlahan semakin berkurang, kekonyolan yang ia tampilkan perlahan semakin terasa biasa, hit jadi lemah. Begitupula di bagian komedi, lelucon yang hit awalnya melimpah tapi perlahan lebih terasa seperti recycling sehingga terasa repetitif karena tipe yang serupa. Rasa waspada sebenarnya sudah ada ketika setelah satu jam My Stupid Boss belum juga keluar dari “lingkaran” yang ia gunakan sejak awal, karena perlu materi cerita yang benar-benar kuat agar dapat mempertahankan pukulan yang dihasilkan oleh bagian komedi jika memilih untuk terus berputar di dalam lingkaran tersebut.


No, berbagai kelemahan tadi tidak menandakan My Stupid Boss adalah sajian komedi yang buruk, masih terdapat beberapa momen yang sukses membuat tertawa ketika menyaksikannya. Masalahnya adalah dengan potensi dan pesona yang begitu kuat di bagian awal film ini justru perlahan jatuh dan hanya berakhir sebagai sebuah sajian komedi yang terlalu biasa. Namun hal paling menggelikan dari My Stupid Boss sebenarnya bukan berbagai lelucon yang ia berikan, namun fakta bahwa “tujuan utama” cerita yang datangnya terasa terlambat, kehadirannya seperti dipaksa untuk masuk dan eksistensinya di dalam cerita sangat lemah. Bisa saja tujuan itu ditampilkan secara tersirat sebelumnya, tapi yang ditampilkan sebelum pengungkapan lebih condong ke arah rasa kesal Diana pada Bossman. Alhasil hasil akhir jadi terasa kurang nyambung, kurang klik meskipun niat dari eksekusi pada bagian tersebut dapat dipahami oleh penonton.

Dan hal lain yang sukses membuat berat hati untuk mengatakan My Stupid Boss sebagai sebuah kumpulan komedi yang buruk adalah kinerja cast yang terasa mantap. Reza Rahadian lagi? Apa mau di kata, Reza masih mampu menampilkan karakter atau tokoh yang ia mainkan dengan meyakinkan, hal yang kembali ia ulangi di sini, dari ekspresi wajah hingga cara ia menampilkan karakter vokal Bossman, semuanya terasa pas. Bunga Citra Lestari juga tampil sama baiknya, menjalankan tugas Diana sebagai poacher atau pembuka jalan agar lelucon dapat di “shoot” oleh Bossman. Yang menarik adalah karakter lain di luar Bossman dan Diana juga sukses mencuri perhatian, seperti karakter yang diperankan oleh Alex Abbad misalnya dengan kalimat repetitif yang ia gunakan, begitupula Bront Palarae yang mampu membentuk hal klise menjadi tetap terasa manis. Selain penggunaan lagu dari Siti Nurhaliza yang berjudul Cindai, Atikah Suhaime also one of the best thing from My Stupid Boss for me, comel sangatlah, seronok aku tengoknye (pardon my Malay language).


Overall, My Stupid Boss adalah film yang cukup memuaskan. My Stupid Boss seperti sekelompok mahasiswa yang sedang berkumpul untuk menyelesaikan tugas kelompok mereka, deadline tugas tersebut untuk dikumpulkan masih enam jam lagi yang kemudian mereka isi dengan asyik berbincang sana sini, dan 30 menit menjelang deadline baru tugas tadi dikebut pengerjaannya. Kinerja Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari memang keren, tapi sayangnya My Stupid Boss secara keseluruhan bukan sajian komedi yang keren. Jika dinilai sebagai potongan berbagai sketsa komedi film ini memang sangat oke, namun sebagai sebuah kesatuan di mana berbagai sketsa bergabung My Stupid Boss terasa kurang hit terlebih dengan kemunculan that heartwarming thing di bagian akhir yang terasa dipaksa. It's fun tho namun berakhir terlalu biasa jika menilik potensi besar di bagian awal. Aduh sayang. Segmented. 








9 comments :

  1. Menurut saya film nya kurang bagus, membosankan pengen segera selesai film nyaa

    ReplyDelete
  2. Sorry to say it's boring, 2 jam hanya memutar2 joke yg hampir sama. Dan entah dari mana tiba2 bossman yang super pelit jadi sosok malaikat. Too bad, padahal trailer dan awal film ini sangat menarik sebagai film komedi situasi.

    ReplyDelete
  3. yes yes, omg i thought it was just me think about this. Publikasi gencar, diomongin semua orang, main castnya juga nggak usah ditanya ya.

    Karena penasaran dan mencoba mengapresiasi film komedi Indonesia, akhirnya saya nonton film ini. Review dari saya: mengecewakan berat. I didnt find this movie funny at all. Jokesnya garing dan nggak kena. Mungkin karena diadaptasi dari buku, jadi fail komedinya.

    Alur dan poin film ini juga bagi saya nggak jelas sih. Moral story nya…. ya gitu aja. Dan yes, yang seperti kamu bilang, terkesan dipaksakan banget. Baru muncul di akhir film. Smh.

    I like your lines on the latest paragraph: "My Stupid Boss seperti sekelompok mahasiswa yang sedang berkumpul untuk menyelesaikan tugas kelompok mereka, deadline tugas tersebut untuk dikumpulkan masih enam jam lagi yang kemudian mereka isi dengan asyik berbincang sana sini, dan 30 menit menjelang deadline baru tugas tadi dikebut pengerjaannya."
    hahaha :) sum it up very well

    ReplyDelete
  4. Aku malah suka banget dengan film ini. 2 jam terasa cepet bnget gak nyangka sdh mau habis. Sabtu kemaren sdh nonton unt ke 3 kalinya haha. Masih ttp lucu aja. Seneng deh film Indonesia makin berkembang

    ReplyDelete
  5. Ending film judul lagunya apa ya

    ReplyDelete
  6. Bosen n garing, udh gitu aja comment gw pas abis nonton film ini..wish i watched another movie..huhu

    ReplyDelete
  7. Cukup menghiburlah menurut saya....saya banyak tertawa melihat film ini...tapi hanya sekali saja....kedua ketiga pasti saya bosan.

    ReplyDelete