21 April 2016

Review: Colonia (2016)


“Once you join us you must remain.”

Sepasang kekasih sedang menikmati waktu bersama namun tiba-tiba terjebak dalam kekacauan politik, bukankah itu sebuah dasar masalah yang menarik? Menggunakan setup kisah nyata yang terjadi sewaktu Perang Dingin berlangsung Colonia secara frontal menunjukkan dirinya sebagai kombinasi seimbang antara sebuah sajian thriller dan di sisi lainnya merupakan penggambaran kisah asmara, sebuah film eksploitatif yang caranya bermain mengingatkan penonton pada Argo hingga Munich. Lalu apakah kualitas Colonia sama dengan dua film tersebut? Sayangnya tidak.

Tahun 1973 Lena (Emma Watson) singgah di Chile untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama kekasihnya Daniel (Daniel Bruhl). Celakanya dua hari kemudian Lena dan Daniel harus terjebak di dalam kekacauan politik yang meledak dan semakin parah karena Daniel ternyata merupakan bagian secara tidak langsung dengan salah satu kubu yang bertikai. Daniel ditangkap namun Lena menolak untuk meninggalkan kota untuk menyelamatkan diri. Lena kemudian mendapat informasi bahwa Daniel diculik untuk menjadi bagian dari Colonia Dignidad, sebuah "perkemahan" yang dipimpin pria sadis dan predator seksual bernama Paul Schaefer (Michael Nyqvist). 



Colonia di awal sudah ada di jalan yang tepat untuk jadi sebuah film thriller berbalut romance yang oke, tapi sayangnya ketika berakhir ia lebih terasa seperti sebuah hiburan eksploitatif tanpa pukulan yang menawan. Niat film ini sebenarnya jelas, membuat kamu menyaksikan rezim barbar yang terjadi di Amerika Selatan ketika Perang Dingin berlangsung merupakan setup awal yang kemudian akan dilanjutkan dengan usaha menyelamatkan orang yang dicinta, tapi perpaduan dua hal tadi yang terasa kaku. Colonia terasa menarik ketika fokus terhadap intrik sekte muncul di layar, bagian menarik banyak berasal dari sini, tapi di luar itu Colonia terlalu sering menunjukkan rasa bingung ketika mencari jalan untuk menghubungkan elemen thriller dan romance.



Masalah utama dari Colonia ada di sutradaranya, Florian Gallenberger. Terasa aneh memang mengapa dengan dasar masalah setajam itu gerak alur cerita Colonia terasa terlalu tenang, mode yang digunakan oleh Florian Gallenberger sebenarnya juga tipe yang tradisional tapi irama penyampaian cerita tidak konsisten menarik. Bagian awal bagus, Colonia berhasil menggambarkan kengerian yang sedang terjadi dengan menggunakan latar belakang politik dan  kepemimpinan yang otoriter, tapi Florian Gallenberger kurang mampu membuat agar cerita melayani penonton. Colonia tidak punya “pengungkapan” yang menarik, dan jika penonton tidak menangkap hal menarik dari apa yang sedang terjadi maka mereka akan berlalu begitu saja menuju bagian selanjutnya, dan celakanya yang terjadi selanjutnya mayoritas begitu juga.



Sulit untuk mengatakan script punya pengaruh besar terhadap kegagalan yang dialami Colonia karena setelah perkenalan yang lambat di awal at least cerita punya struktur yang tidak buruk untuk menuju titik akhir. Yang jadi masalah adalah Florian Gallenberger kurang mampu memoles cerita menjadi menarik. Dimulai sebagai sebuah thriller politik Colonia bergeser menjadi sebuah sajian yang seperti bingung ini menjadi apa, sebagai sebuah thriller ini tidak lagi menegangkan, sebagai sebuah romance pesona asmara juga terasa kaku dan dipaksa. Di awal penonton masih dibuat waspada pada apa yang akan terjadi tapi setelah itu kemudian turun kedalam mode menunggu. Menunggu tidak masalah asalkan ada sesuatu yang menarik untuk dinantikan dan sayangnya di Colonia selain tidak memanfaatkan Daniel menjadi “misteri” rasa peduli pada eksistensi karakter juga minim.



Rasa aneh terhadap Colonia tidak berhenti di situ. Durasinya 110 menit, cara cerita berkembang dari sinopsis tidak maksimal, daya tarik cerita dan karakter juga tidak konsisten, tapi rasa bosan tidak pernah hadir sejak awal hingga akhir. Saya sendiri bingung mengapa hal tersebut bisa terjadi, mungkin karena ia tidak mencengkeram penonton dengan kuat sehingga meskipun tampil eksploitatif apa yang terjadi pada Daniel dan Lena dengan cepat pula berlalu begitu saja. Elemen teknis sendiri tidak buruk, begitupula dengan performa cast di mana Emma Watson menampilkan wanita yang teguh namun rapuh dengan baik. Sayangnya chemistry antara Emma Watson dan Daniel Brühl terasa lemah sehingga perjuangan Lena serta kisah cinta mereka juga terasa terlalu biasa. Dan Michael Nyqvist, ia mewujudkan sisi jahat di dalam cerita dengan sangat baik.



Sangat jarang saya mengatakan kegagalan sebuah film merupakan salah sutradara sepenuhnya namun sulit untuk tidak menggunakan itu pada pada Colonia. Dari script, akting, hingga elemen teknis, meskipun tidak ada dari mereka yang istimewa namun kualitas yang mereka miliki sebenarnya sudah cukup untuk membantu Colonia untuk sekedar menjadi thriller romance yang normal. Sayangnya sang sutradara, Florian Gallenberger, kurang berhasil memoles Colonia untuk tidak sekedar menjadi sebuah thriller romance eksploitatif yang datar dan tidak konsisten menarik. Di awal film ini punya potensi menjadi sajian thriller berdasarkan kisah nyata yang horror dengan kualitas satu tingkat di bawah Argo, namun hasil akhir yang ia berikan membuat saya merasa konyol telah menaruh ekspektasi seperti itu di awal. Segmented.








2 comments :

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Sebenarnya film ini punya cerita yg menarik dan bakal mencekam penonton apabila di eksplor lebih menarik lagi di sisi thrillerya..pas awal sdh ada ketegangan itu tapi kemudian scane begitu datar penonton di buat menunggu akan kejutan selanjut nya tapi sayang ketegangan itu tdk pernah full hadir hanya ada di awal dan akhir..
    Dari segi akting saya menyukai apa lagi akting emma watson sukses buat saya peduli peran dia sebagai wanita tangguh bgus ..

    ReplyDelete