21 March 2016

Review: 10 Cloverfield Lane (2016)


"Crazy is building your ark after the flood has already come."

Rilis di bulan januari tahun 2008, Cloverfield justru berhasil meraih uang hampir tujuh kali lipat dari budget yang ia miliki dengan menggunakan kepanikan penuh kegelisahan di New York mengusung konsep bahwa monster bisa ditemukan di banyak tempat. Enam tahun kemudian J.J. Abrams mencoba untuk menghadirkan kembali Cloverfield namun dalam tampilan serupa tapi tak sama, dengan anggaran yang lebih rendah, dengan jumlah pemain yang lebih kecil, dengan ruang bermain yang jauh lebih sempit. 10 Cloverfield Lane mencoba mengulangi kemampuan pendahulunya tadi untuk memberikan penonton kegelisahan penuh misteri dan paranoia namun kali ini dengan konsep yang berbeda, bahwa monster bisa datang dalam banyak wujud.

Setelah bertengkar dengan pacarnya, Michelle (Mary Elizabeth Winstead) memilih untuk pergi keluar kota, namun celakanya ia terlibat dalam sebuah kecelakaan lalu lintas mengerikan. Ketika telah sadarkan diri Michelle menemukan dirinya di dalam sebuah ruangan kecil, kakinya terluka dan dirantai ke dinding. Seorang pria bernama Howard (John Goodman) masuk dan berkata bahwa ia telah menyelamatkan Michelle dari dunia yang sedang bersiap menghadapi kehancuran, perang di mana-mana, udara mulai bercampur dengan racun, dan bunker tersebut merupakan tempat terbaik untuk dapat selamat dari kepunahan. Di samping Michelle ada Emmett (John Gallagher Jr), seorang kontraktor yang membantu Howard membangun bunker. Namun Howard bukan pria biasa, ia pria yang aneh dan mencurigakan. 



Sulit untuk tidak mengikutsertakan Cloverfield dalam pembahasan karena usaha yang diusung film ini identik dengan kakaknya itu, memberikan penonton sebuah masalah yang misterius dan membuat kamu mulai mencoba menemukan jawaban atas rahasia yang ia tebar, lalu dengan perlahan membawa penonton menikmati situasi-situasi dengan ketegangan yang memang sengaja tampil dengan cara tarik lalu ulur. Tapi hanya sampai di sana saja jika berbicara tentang hubungan antara film ini dengan Cloverfield, 10 Cloverfield Lane merupakan spiritual successor di mana elemen, tema, hingga style memiliki kemiripan namun tugasnya hanya sebatas “melengkapi” Cloverfield. Nah, tidak adanya kewajiban untuk membangun storyline dari Cloverfield sebenarnya merupakan keuntungan buat film ini, tapi sayangnya ternyata keuntungan tersebut kurang berhasil dimanfaatkan secara maksimal.



Tunggu dulu, kurang maksimal bukan berarti buruk, mengapa kurang maksimal karena meskipun puas namun seperti ada sesuatu yang kurang terlebih ketika ekspektasi yang telah ia ciptakan sejak sinopsis hingga cara Dan Trachtenberg membangun bagian awal terasa sangat memikat. Ya, 10 Cloverfield Lane dimulai dengan sangat manis, contohnya ia sudah sanggup menciptakan pertanyaan-pertanyaan liar bukan Cuma singgah sebentar di pikiran penonton, mereka tinggal dan mulai bermain-main. Layar didominasi tiga karakter dalam bunker, mereka makan bersama, mereka bermain game bersama, mereka membaca majalah, mereka bahkan saling bertukar cerita. Tampak biasa memang tapi di semua bagian itu terdapat kegelisahan yang terus menyelimuti karakter dan cerita, dari tampilan Howard yang tampak seperti bukan pria biasa ketegangan mulai tumbuh lebar di arena main yang sempit.



Itu alasan mengapa 10 Cloverfield Lane terasa begitu mengasyikkan di bagian awal, konsep di mana ia ingin membuat penonton tetap terus menebak-nebak ditemani dengan kegelisahan dan rasa waspada berhasil dieksekusi dengan baik. Tidak banyak informasi dari karakter dan hanya sebuah pernyataan bahwa terjadi bencana di luar bunker semakin menambah besar kadar misteri. Keterbatasan yang ia miliki menyebabkan energi 10 Cloverfield Lane terasa kuat di bagian awal, jika Cloverfield mencoba mengeksplorasi kepanikan maka 10 Cloverfield Lane coba mengeksplorasi bagian sebelum kepanikan itu muncul, rasa insecure. 10 Cloverfield Lane mencoba mengeksplorasi psikologi di mana manusia perlahan mulai sadar bahwa ia terjebak di dalam sebuah krisis berbahaya, dari mempertanyakan mana yang benar dan mana yang salah hingga meledak menjadi sebuah kebrutalan emosi.



Tapi mengapa sejak awal tadi saya menyebut hanya bagian awal tampil memikat? Karena bagian akhir film ini kurang maksimal. Tidak 1:1 memang, mungkin 15-20 menit akhir, di situ film ini mulai terasa biasa. Screenplay tidak jelek (Damien Chazelle guys), mampu menciptakan teka-teki yang oke serta interaksi antar karakter juga sangat baik, tapi jika cerita terbagi menjadi tiga babak maka peralihan di antara babak kedua menuju babak ketiga terasa sedikit lemah. Banyak hal baik di dua pertiga awal turun kualitasnya di sini, dan sumbernya adalah cerita yang mulai sedikit lemah dalam hal motivasi, cara ambiguitas tadi diselesaikan juga tidak begitu kuat serta alur terasa terburu-buru. Dan di bagian ini mulai kamu akan semakin yakin bahwa 10 Cloverfield Lane sebenarnya tidak punya ambisi yang besar, mencoba berikan misteri dengan score pedas, menggunakan psikologi karakter tanpa mencoba menampilkan skenario yang bergerak lebih jauh dan lebih dalam.



Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah bagian akhir yang tidak begitu kuat tadi memberikan efek kepada kualitas keseluruhan 10 Cloverfield Lane? Segmented, saya mengatakan ya walaupun tidak bersifat merusak, namun rekan ketika nonton bersama mengatakan tidak. Kedalaman di mana penonton “dicengkeram” oleh cerita tentu berbeda-beda dan itu punya efek pada penilaian akhir. Tapi ada satu hal yang peluangnya mendapat respon beragam sangat kecil yaitu, performa cast. Kegelisahan jadi jualan utama film ini di samping misteri dan itu tampil cantik berkat kinerja cast yang baik. Howard adalah sumber keresahan yang oke berkat penampilan memikat dari John Goodman, John Gallagher Jr. menjadikan Emmett seperti jembatan antara Howard dan Michelle, serta Mary Elizabeth Winstead sendiri berhasil menjaga kombinasi antara rasa bingung dan tekad untuk dapat bertahan hidup yang dimiliki oleh Michelle.



Sebuah pekerjaan yang manis dari Dan Trachtenberg di debutnya sebagai sutradara, dengan cepat menciptakan “dunia” baru bagi 10 Cloverfield Lane sehingga tidak terlalu “manja” kepada Cloverfield, menangani misteri dengan baik sehingga kegelisahan memberikan horror yang terasa nyata, memberikan rasa segar di balik penggunaan formula melepas penonton menebak-nebak yang ia gunakan, serta menggunakan dengan sangat baik tiga pemeran untuk menampilkan sebuah thriller psikologis yang mencengkeram dan menggoda. Hanya di bagian akhir film ini terasa kurang. Ya, hanya di bagian akhir dan tidak bersifat merusak presentasi cepat serta rapi yang telah telah 10 Cloverfield Lane berikan di dua pertiga bagian awal. Thriller yang manis. Segmented.















Thanks to: rory pinem

4 comments :

  1. Thanks buat detail review-nya Om..
    Saya suka banget nih ama postingan di blog ini.
    Ijin share, ya Om..

    ReplyDelete
  2. sependapat 2/3 durasi nya sdh bagus membangun kecurigaan dan tanda tanya tapi sayang twist menjelang ending agak kacau sebenar nya itu benaran serangan alien atau cuma tipuan pria tua itu?

    ReplyDelete