23 January 2016

Review: Visions [2015]


Sejak tahun 2009 lalu Blumhouse Productions menerapkan konsep yang “gila” sebagai sebuah production house, ciptakan film sebanyak mungkin dengan konsep murah dan generik seolah nothing to lose dengan hasil yang akan mereka peroleh. Telah memproduksi 42 buah film dan berhasil menyulap budget menjadi berkali-kali lipat dengan pencapaian tertinggi Paranormal Activity, sistem daur ulang yang Blumhouse Productions terapkan kembali coba dilakukan oleh Visions, horror yang murah dan generik.

Setahun setelah selamat dari kecelakaan mobil yang misterius, Eveleigh Maddox (Isla Fisher) memutuskan untuk membangun kembali kehidupannya di sebuah kebun anggur di California bersama suaminya David (Anson Mount). David mengelola kebun anggur mereka sementara Eveleigh mencoba untuk pulih dari depresi yang ia alami dengan mengikuti kelas yoga bersama Sadie (Gillian Jacobs). Namun ternyata Eveleigh masih kesulitan untuk pulih, ia mengatakan telah dikuntit oleh sosok berjubah dan memaksa David untuk kembali memberikan anti-depresan pada istrinya tersebut. Eveleigh tidak berhenti, ia percaya ada sesuatu yang tidak beres dan mencoba mengungkap rahasia kebun anggur milik mereka. 



Hal paling lucu dari Visions adalah ketika judul yang ia gunakan mengandung kata visi sang sutradara Kevin Greutert justru sukses membuat penonton bingung pada visi yang film ini bawa. Ketika dimulai kita tahu konsep yang Visions bawa yaitu supranatural, itu menarik, dan kemudian perlahan bergeser ke masalah ibu hamil yang akan membuat kamu tahu akan bertemu dengan dengan rasa Rosemary's Baby, dan itu tetap menarik. Sayangnya daya tarik Visions berhenti di sana, karena setelah itu Visions seperti bergerak tanpa visi, rangkaian misteri yang menggunakan aktivitas paranormal yang mencoba tampak rumit tapi sayangnya tidak mampu menjaga kesinambungan setiap bagian cerita sehingga jatuh ke penilaian sebagai usaha yang konyol.



Misteri merupakan salah satu bagian paling menarik dari film horror, tapi ada batasan yang tidak boleh dilewati sehingga tidak membuat penonton menilainya sebagai usaha yang berlebihan. Visions berlebihan. Kevin Greutert ingin menampilkan liku-liku tapi tidak menciptakan batasan yang jelas sejauh mana ia akan bermain. Hey, bukankah dengan tidak ada batas justru kejutan semakin menarik? Ya, jika memang ada kejutan, bukan aksi supranatural yang meninggalkan impresi berupa kekonyolan. Usaha manipulasi yang dilakukan Visions tidak cerdik, terlalu banyak subplot yang tidak mampu ia tangani dengan baik, bahkan terdapat subplot yang pada akhirnya tidak punya koneksi yang oke pada inti dan tujuan utama.



Banyak bagian dalam Visions menjadi distraksi yang di sengaja, rasa lelah cerita terus tumbuh dan alur walaupun terus mengalir dengan baik namun terasa berantakan. Sumber dari masalah itu adalah materi dan fokus yang memang sangat lemah. Dengan banyaknya pertanyaan yang ia sebar seharusnya Visions punya kemampuan yang lebih besar pula untuk mengunci atensi penonton, sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, mayoritas dari mereka terasa kecil dan berlalu begitu saja. Bahkan jajaran cast yang berisikan Jim Parsons hingga Eva Longoria juga tidak banyak membantu. Isla Fisher sebagai bintang utama tidak tampil buruk, reaksi terkejut yang ia tampilkan oke, tapi materi cerita yang tidak mendukung merusak potensi Eveleigh menjadi subjek menarik untuk diamati psikologinya.



Visions mengandalkan jumlah misteri untuk menarik perhatian penontonnya, memang berhasil tapi tidak menyediakan koneksi agar misteri dan penonton dapat terus terhubung, tidak hanya sebatas saling sapa. Jika memang ingin menggunakan kegelisahan untuk menciptakan kesan menyeramkan seharusnya itu dilakukan dengan konsisten. Jika ingin memanipulasi penonton seharusnya itu dilakukan dengan penuh semangat, bukan dengan cara yang malas. Dan jika ingin mencampur aduk berbagai jenis genre seharusnya itu disertai dengan visi yang jelas, bukannya asal lempar red herring supaya tampak rumit namun di sisi lain ia masih bingung bahkan tidak tahu ingin menjadi sebuah hiburan yang seperti apa.










Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment