30 December 2015

Review: Regression [2015]


"Evil always finds its victim."

Sebuah film horror yang baik mampu membuat penontonnya takut ketika ia hadir di hadapan mereka dan meninggalkan memori yang “baik” ketika penonton berpisah dengannya. Sebuah film thriller yang baik sangat sederhana, ia harus memberikan thrill yang oke. Sebuah film misteri yang baik bukan hanya harus mampu memberikan masalah rumit tapi menjadikan kerumitan itu jadi menarik untuk diikuti. Tiga hal tadi coba dilakukan oleh film ini, Regression, sebuah upaya regresi menggunakan topeng satanisme yang sangat mini.

Pada tahun 1990 seorang detektif bernama Bruce Kenner (Ethan Hawke) mendapatkan sebuah kasus tentang pemerkosaan anak di bawah umur. Angela Gray (Emma Watson), wanita muda berusia 17 tahun yang taat pada agama mengatakan ia telah diperkosa oleh sang ayah, John Gray (David Dencik). John sendiri tidak mengakui perbuatannya tersebut, namun di sisi lain ia juga tidak membantah tuduhan tersebut karena mengatakan tidak ingat apakah ia pernah memperkosa Angela. Dengan bantuan ahli psikologi bernama Kenneth Raines (David Thewlis), Bruce Kenner mencoba masuk ke dalam pikiran Gray untuk menemukan jawaban dari misteri tersebut. 



Hanya begitu? Iya, Regression memiliki sinopsis yang begitu dangkal, tipikal film horror misteri yang tidak menemukan ide yang lebih segar untuk menakut-nakuti penontonnya. Oh, ini bukan horror, Regression merupakan sebuah psychological thriller, tapi mengapa saya menyebutnya sebagai sebuah horror karena setelah selesai menontonnya Regression berhasil meninggalkan kenangan sebagai film yang “horror.” Menjemukan, iya begitulah sederhananya, durasinya hanya 106 menit namun aksi mengecek jam tangan berulang kali saya lakukan. Ini sebenarnya punya potensi untuk di buat sebagai sebuah drama psikologis dengan menaruh fokus pada masalah kejiwaan karakter utamanya, tapi niat Alejandro Amenábar ternyata berbeda dan hasilnya thriller dengan thrill yang miskin.



Bukan berarti tidak punya thrill sama sekali, beberapa momen yang akan membuat kamu waspada masih dimiliki film ini, tapi tone cerita yang seolah ingin menjadi True Detective dengan misteri supranatural justru semakin menyulitkan film ini bernafas. Jika Regression punya materi yang oke mungkin niat Alejandro Amenábar tadi bisa tercapai, tapi di sini semuanya terlalu sederhana dan celakanya itu ia tampilkan dengan mencoba terlalu keras untuk tampak kompleks atau rumit. Hal terbaik dari film ini terletak pada ide cerita, masalah kriminal yang menaruh rasa curiga pada praktik satanisme, tapi narasi tidak berhasil menarik daya tarik misteri untuk tinggal di pikiran penonton sehingga sulit untuk merasa terlibat di dalam cerita.



Yang sering saya rasakan selama menyaksikan film ini adalah bukan mempertanyakan hal mistis yang coba didorong oleh cerita menjadi fokus tapi siapa sebenarnya Angela dan John. Apakah Angela remaja yang sedang depresi? Apakah sang ayah punya masalah kejiwaan? Apakah mereka merupakan pemuja setan? Bukankah hal itu bagus, berarti karakter punya daya tarik untuk diteliti. Tapi di samping karena informasi tentang subjek yang terbatas perhatian penonton akan beralih pada proses penyelidikan yang kurang agresif dan rakus mengisi cerita. Semakin parah karena Alejandro Amenábar ternyata kurang cerdik dalam memainkan alur ketika ia ajak penonton berputar kebelakang untuk menghidupkan kembali trauma korban tapi daya tarik kearah depan untuk menemukan jawaban jadi hilang.



Regression mengkhianati tujuannya sendiri, tidak membawa kamu menemukan jawaban dari misteri tapi mencoba memaksa kamu percaya pada teori konspirasi di dalam cerita. Sangat mudah di mengerti jika ada penonton yang menilai ini sebagai omong kosong karena liku-liku misteri kesulitan untuk meyakinkan akal penonton. Dampaknya Ethan Hawke serta Emma Watson menjadi korban. Mereka memberikan kinerja yang baik tapi materi menyebabkan kualitas akting mereka di sini terasa di bawa standar. Sensasi seorang detektif tidak ada di Bruce Kenner, Ethan Hawke diberikan dialog usang dan lemah. Sementara Emma Watson justru tampak seperti boneka, kamu tertarik pada misteri yang ia alami tapi tidak diberikan jalan yang baik untuk menelisik lebih dalam.



Regression bisa menjadi kemasan yang bagus jika Alejandro Amenábar memilih memanfaatkan masalah kejiwaan karakter menjadi fokus utama bukannya hal-hal mistis yang ditampilkan sangat longgar dan monoton itu. Dasar misteri lemah, berisikan prosedurial ala detektif yang perkembangannya terasa lambat, Regression tidak pernah mencoba untuk tampak sensional, ia lebih sibuk membuat penonton yakin pada hal-hal mistis tentang satanisme. Hasilnya sebuah thriller dengan proses prosedurial klise yang sangat biasa.







0 komentar :

Post a Comment