26 December 2015

Review: The Lady in The Van (2015)


"The Virgin Mary. I spoke to her yesterday. She was outside the post office."

Dengan menyandang status makhluk sosial setiap manusia memerlukan sosok lain di sekitar mereka untuk belajar dan terus bertumbuh sebagai individu, tidak peduli berada di usia berapa mereka. Hal tersebut yang coba digambarkan oleh The Lady in the Van, mencoba melakukan eksplorasi terhadap hubungan antar dua individu dengan menggunakan dua senjata utama yang berhasil tampil menarik, pertama adalah komedi, dan kedua adalah Dame Maggie Smith.

Mary Shepherd (Maggie Smith) merupakan wanita tunawisma, dan terkenal di London selalu setia ditemani oleh van Bedford miliknya. Seorang penulis bernama Alan Bennett (Alex Jennings) mengijinkan wanita tua yang membenci music itu untuk menggunakan halaman rumahnya sebagai area parker bagi van miliknya. Berkat persahabatannya yang terjalin Bennett belajar banyak hal mengejutkan dari Mary, bahwa ia merupakan Margaret Fairchild mantan murid dari pianis berbakat Alfred Cortot hingga usaha Mary yang pernah mencoba menjadi seorang biarawati. 



The Lady in the Van memulai semuanya dengan sangat cantik, terasa sangat mudah untuk klik dengan cerita yang ditulis langsung oleh Alan Bennett itu, termasuk pula di dalamnya cara karakter Mary Shepherd dan Alan Bennett membangun hubungan dinamis di antara mereka tapi juga membuat penonton seperti menjadi sosok lain dalam cerita dan mencoba mengamati hubungan di antara mereka yang menjadi fokus utama film ini. Di tangan Nicholas Hytner film ini seperti mencoba membawa kamu menelisik keseimbangan dalam sebuah hubungan meskipun harus diakui niat tersebut juga tidak pernah tampak jelas, menghasilkan kesan  ambigu sehingga The Lady in the Van lebih terasa seperti panggung bagi seorang wanita tua untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan.



Lucu memang, namun kesan terlalu sederhana dan terlalu nyaman cepat menghampiri The Lady in the Van, sehingga ketika kamu dibawa berpindah dari babak paruh awal yang akan kamu temukan selanjutnya adalah aksi mondar-mandir yang terlalu santai. Nicholas Hytner dan Alan Bennett tampaknya ingin agar ini tidak menciptakan kesan sentimental walaupun cerita memiliki niat menjadi sebuah studi karakter, tapi ketika dengan cepat menumpahkan terlalu banyak informasi terkait Mary Shepherd di awal The Lady in the Van perlahan mulai tampak bingung bagaimana menampilkan emosi dari karakter dan cerita sehingga isu tentang dampak yang diberikan oleh orang sekitar terhadap kehidupan anda itu bisa tetap bercahaya di pusat cerita.



Untung setelah kemudian didominasi lelucon kering cita rasa British dengan kesan meta narasi yang mulai terasa lemah itu tidak membuat The Lady in the Van secara keseluruhan terasa menjengkelkan. Mengamati Mary tetap terasa lucu berkat kinerja memikat dari dua pemeran utamanya, terutama Maggie Smith. Karakter Mary merupakan sosok yang penuh ledakan tapi hal itu ditampilkan oleh Maggie Smith dengan sangat sangat lembut, menggabungkan sisi rentan Mary namun tetap mengikat kamu dengan kesan eksentrik, Mary yang merupakan karakter yang tidak asing lagi bagi Maggie Smith benar-benar dibentuk sebagai wanita gila penuh pesona. Chemistry yang Smith bangun dengan Alex Jennings juga terasa manis, aksi bertengkar dan saling ejek mereka selalu sukses menggelitik.



Punch yang ia hasilkan di akhir mungkin terasa lemah jika melihat apa yang ia berikan di bagian awal cerita, tapi The Lady in the Van tidak pernah mendekati zona berbahaya yang membuat penonton perlahan jengkel dan kehilangan rasa tertarik pada cerita dan karakter. Kental kesan puitis, lucu dan terasa aneh, seandainya ia tidak terlalu nyaman dan santai sehingga narasi misterius itu dapat dipoles lebih baik lagi The Lady in the Van dapat menjadi salah satu kandidat kuat film komedi terbaik tahun 2015 karena ia punya pondasi yang baik, dari kesan pesona penuh kesan eksentrik yang menarik dan tentu saja karakter utamanya yang diperankan dengan sangat baik oleh Maggie Smith. 







0 komentar :

Post a Comment