31 December 2015

Review: The Hateful Eight (2015)


“My pistol plays a tune.”

Film Quentin Tarantino? Well, itu sudah cukup menjadi alasan untuk melangkahkan kaki menuju bioskop. Diproduksi dalam format 70 mm yang yang otomatis akan memberikan penonton komposisi layar pada aspek rasio super lebar? Well, kombinasi di antara keduanya menjadikan The Hateful Eight tampak semakin menarik. Quentin Tarantino merupakan sutradara dengan visi yang besar, seolah ingin melanjutkan Django Unchained ia kembali membawa kamu ke dunia western berisikan keributan antara delapan orang yang dipenuhi dengan rasa benci. Pertanyaannya adalah apakah The Hateful Eight berhasil memenuhi hype dan menampilkan misteri dengan rasa retro yang menarik?

Major Marquis “The Bounty Hunter” Warren (Samuel L. Jackson) mencoba meminta pertolongan dari sebuah kereta pos ketika perjalanan yang ia lakukan pasca perang sipil Wyoming dihadang badai salju. Kereta tersebut berisikan John “The Hangman” Ruth (Kurt Russell) yang sedang mengawal penjahat keji Daisy “The Prisoner” Domergue (Jennifer Jason Leigh) menuju Minnie. Tidak lama kemudian Sheriff Chris "The Sheriff" Mannix (Walton Goggins) bergabung bersama mereka. Ketika sampai di sebuah pondok kereta pos empat orang tadi bertemu dengan Oswaldo Mobray (Tim Roth), Bob (Demian Bichir), General Sandford Smithers (Bruce Dern), dan Joe Gage (Michael Madsen). Sebagai orang asing yang baru bertemu satu dengan yang lain paranoia di antara delapan orang itu mulai tumbuh.



Jika pertanyaan film ini hanya dua hal di bagian pembuka tadi maka The Hateful Eight dapat dikategorikan sebuah film yang sukses besar. Hype utama film dengan presentasi roadshow ini ada di sektor visual, dan well, meskipun banyak mengalami masalah proyektor pada pemutaran yang menggunakan format 70mm apa yang dijanjikan oleh Quentin Tarantino dari ambisinya ini terasa sangat nikmat. Keunggulan utamanya dengan rasio yang super lebar tadi kamu akan dibuat terus mengagumi dan merasakan cengkeraman dari visual, setting panorama banyak membantu cerita untuk bermain keluar, arena main di layar yang luas menyokong cerita yang pada dasarnya seperti sebuah permainan catur dengan menggunakan delapan karakter.



Hal tersebut juga yang terasa aneh, sudah menggunakan format yang lebar bukan memanfaatkannya dengan melakukan shoot di outdoor The Hateful Eight justru melakukan hal sebaliknya. Dari cahaya, bayangan, hingga gerak karakter, konsep indoor menjadikan perdebatan tentang profesi, keadilan, hingga ras yang dipenuhi dialog eksplisit itu punya intensitas dan intimitas yang oke. Tapi tidak tahu mengapa itu justru terasa seperti sebuah trik cerdik yang dilakukan oleh Quentin Tarantino pada konflik cerita yang sebenarnya terasa sederhana. Delapan orang saling serang di dalam satu ruangan, that’s cheap, tapi tidak di tangan Tarantino setelah ia kembali memutarbalik dan membagi cerita dengan manis, tentu saja dengan dialog cerewet andalannya.



Tapi sayangnya setelah hype di visual serta misteri dengan gaya retro tercapai The Hateful Eight justru perlahan terasa statis. Bukan berarti cerita yang seperti tidak pernah akan berakhir itu terasa membosankan, ketegangan tetap eksis di ruangan yang relatif kecil untuk menampung berbagai masalah besar tersebut, namun punch dari tatapan mata The Bounty Hunter hingga tingkah aneh dan eerie dari The Prisoner justru bergerak menjadi normal. Masalah di antara karakter terus tumbuh tapi potensi mematikan pada interaksi di antara mereka terasa statis, hal yang juga dialami visual. Dan itu semakin lengkap karena dialog juga perlahan menjadikan The Hateful Eight tampak seperti soap opera, rasa ragu mulai muncul apakah delapan karakter saling benci atau justru perlahan saling “suka” sehingga bertahan dalam permusuhan yang mendidih itu.



Masalah itu yang meninggalkan kesan mixed terhadap The Hateful Eight, ia terasa kembung dengan durasi 187 menit itu. Mungkin saja versi DCP akan lebih baik karena durasi tiga jam menghasilkan dampak negative pada ketajaman cerita. Tapi Quentin Tarantino beruntung punya ensemble cast yang memberikan kinerja yang menarik di mana ledakan emosi, intimidasi, manipulasi, rasa curiga, dan prasangka terbentuk dengan baik. Hal menarik lain selain cast dan visual adalah score dari Ennio Morricone, dan jika tidak menggunakan format 70mm maka score akan menjadi elemen paling standout dari The Hateful Eight. Score Ennio Morricone seperti udara di perputaran masalah yang sesak, ia yang membuat rasa resah dan curiga di antara karakter terus hidup.



Atensi penonton terus terpaku, tapi alur yang berulang-ulang di durasi selama tiga jam menyebabkan The Hateful Eight terasa kembung meskipun penonton punya visual yang cantik sebagai pengalih perhatian. Seperti ada yang kurang setelah selesai menonton The Hateful Eight walaupun telah di hujani dengan berbagai dialog yang jika tidak fokus akan terasa seperti bullshit serta pertumpahan darah di sana-sini. It’s good, eksekusi di visual memenuhi ekspektasi, kualitas akting oke dengan score menjadi kejutan, but for me ini merupakan karya terlemah Quentin Tarantino sebagai sutradara setelah Death Proof dan Jackie Brown. Segmented.











Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment