29 November 2015

Review: Mustang (2015)


"This time the house really turned into a prison."

Cukup sulit memilih isu apa yang Mustang  miliki untuk digunakan dalam bagian pembuka ini, karena ia punya banyak misi terkait diversity dan liberty yang semuanya terasa menarik. Dari masalah gender, cinta, hingga budaya yang justru tampak seperti penjara, semua dikemas oleh film Turki yang dipilih oleh Prancis sebagai wakil mereka di kategori Best Foreign Language Film pada ajang 88th Academy Awards ini, dalam satu kesatuan yang konsisten bermain-main dalam ketenangan yang mencekam namun ketika ia selesai, boom, there’s a bullet, hadir sebuah punch sangat kuat yang membuat penonton bergumam “ini cantik, ini indah”. Beautifully disturbing experience. The Virgin Suicides reborn with Rapunzel. One of my favorite movies of the year!

Setelah perpisahan dengan gurunya yang pindah ke Istanbul, Lale (Güneş Şensoy) bersama empat saudara perempuannya, Nur (Doğa Doğuşlu), Ece (Elit İşcan), Selma (Tuğba Sunguroğlu), dan Sonay (İlayda Akdoğan) memilih untuk sejenak bermain air di pantai bersama teman-teman mereka. Permainannya sangat sederhana, anak perempuan naik di atas bahu anak laki-laki lalu kemudian saling dorong untuk menjatuhkan lawan. Celakanya hal tersebut dilihat oleh salah satu tetangga mereka yang menilai “aksi” lima bersaudara itu sebagai tindakan cabul, dan berita tersebut dengan cepat sampai ke nenek mereka (Nihal Koldaş). Lima remaja putri itu mulai kehilangan kebebasan mereka, tidak boleh keluar dari rumah yang perlahan berubah menjadi penjara. 



Sebelum mulai terlalu jauh terasa menarik ketika sebuah film asal Turki justru dipilih oleh negara Perancis untuk mewakili mereka di ajang Oscars? Timbul pertanyaan mengapa hal tersebut terjadi? Penyebabnya adalah karena Mustang berbicara dengan sangat tajam tentang moral, agama, dan budaya sehingga mungkin meninggalkan kesan “mengganggu” bagi pihak Turki. Citra buruk? Mungkin saja, tapi sebagai penonton yang berasa dari luar Turki saja pukulan yang dihasilkan oleh Mustang terhadap isu yang ia bawa memang terasa sangat-sangat besar. Ini bukan seperti alarm yang “membangunkan” kamu dengan tetesan air sedikit demi sedikit, tapi byur, satu ember air tepat menghantam wajah. Mustang adalah sebuah perayaan terhadap kebebasan.



Kita semua tentu mengerti bahwa budaya merupakan sesuatu yang harus dilestarikan, tapi apakah hal tersebut harus terus berlanjut dalam sistem "tutup mata" jika pada akhirnya ada orang-orang yang tersiksa karena ketidakadilan didalamnya? Isu yang kental dengan doktrin bahwa yang ini benar dan yang itu salah sebenarnya bersifat universal, di setiap negara yang masyarakatnya masih kental dengan pola pikir konservatif itu bukan pemandangan baru. Apakah di jaman modern seperti ini perempuan hanya bertugas membersihkan rumah, berlatih menjahit dan memasak sembari menunggu pria asing datang untuk melamarnya? Urgh, konyol. Tradisi patriarki itu diolah dengan sangat baik oleh Deniz Gamze Ergüven di debutnya sebagai sutradara, tidak menghadirkan upaya judgement namun upaya mengingatkan pada kebebasan dan diversity.



Hal terindah dari Mustang selain penampilan natural dengan chemistry menawan dari lima pemeran utamanya adalah ia menghadirkan sebuah metafora untuk mencapai titik puncak di bagian akhir. Tidak perlu waktu lama untuk klik dengan lima karakter utama, mereka remaja yang ingin mengisi masa remaja dengan canda dan tawa, tapi setelah itu perlahan semua bergeser menjadi lebih gelap, larangan muncul, semakin gelap, dan akhirnya penjara. Deniz Gamze Ergüven cermat dalam memposisikan karakter dan penonton, kamu mengerti maksud dan tujuan dari sisi protagonist dan antagonis sehingga perjuangan Lale tidak tampak seperti aksi membangkang tanpa hormat melainkan usaha untuk mengarahkan perspektif tentang feminitas ke jalan yang lebih tepat. Lale dan empat saudara perempuannya yang dipaksa menjadi dewasa itu adalah pahlawan.



Tampilan Mustang sebenarnya sederhana, Deniz Gamze Ergüven tidak berusaha mendorong terlalu keras setiap isu tapi membuat mereka tumbuh subur secara bertahap, namun mengapa ia sukses mencengkeram penonton dengan sangat kuat karena ia berhasil menemukan nada yang tepat. Deniz Gamze Ergüven terampil dalam membuat agar setiap isu dan elemen tampil lembut tapi punya sensitifitas yang cantik untuk menyentuh penonton. Masalah utama mudah untuk ditemukan di dunia nyata, tapi Mustang justru terasa seperti sebuah dongeng tentang potret lima remaja putri yang terjebak dalam sistem patriarki, dan semakin manis karena eksposisi tidak terasa seperti drama yang depressing melainkan kombinasi drama studi karakter yang nakal dan ceria bersama dark comedy dengan dibumbui thrill yang sedap.



Mustang berhasil menyampaikan pesan tentang perbedaan dan perubahan dengan cara yang energik dan menyenangkan, dari moral, agama, hingga budaya semua dikemas dengan lembut namun tajam. Mustang berteriak tentang sistem yang kurang tepat tapi tidak dengan cara yang arogan melainkan membuka mata batin penonton dan mengarahkan mereka pada fakta bahwa idealisme dan sistem patriarki lengkap dengan berbagai doktrin itu merupakan sesuatu yang berbahaya jika tidak diimplementasikan dengan tepat. Bercerita tentang coming-of-age dari remaja yang dipaksa menjadi dewasa lewat potret yang lembut, natural, halus, lucu, menegangkan, nakal namun sensitif, Mustang is one of the most powerful films we've ever seen! Segmented. 














Cowritten with rory pinem

0 komentar :

Post a Comment