05 November 2015

Review: Flowers (Loreak) (2014)


Suka dan duka itu punya hubungan simbioisis mutualisme, karena kehadiran mereka saling menguntungkan satu dengan yang lain. Seperti Rihanna yang mengatakan “we found love in a hopeless place”, kamu tetap dapat bertemu dengan sukacita ketika kamu melihat sebuah jalan yang menanti layaknya terowongan panjang yang gelap, ketika kamu berteriak dan tidak ada yang mendengar, situasi hopeless yang tidak mudah untuk di mengerti semua orang. Kondisi pedih itu yang dimiliki oleh Flowers (Loreak), mengajak penonton bukan cuma melihat, namun juga ikut merasakan.

Ane (Nagore Aranburu) sekilas memang tampak puas dengan pekerjaan yang ia miliki, namun faktanya wanita yang sedang berada di tahap awal usia 40 tahun itu merasa tidak puas dengan kehidupan yang ia jalani. Hubungan Ane dengan suaminya telah dingin, dan ia kini sudah masuk kedalam fase awal menopause yang terhitung cukup dini. Depresi karena rasa tidak puas itu kemudian berubah ketika Ane menerima buket bunga ukuran besar, datang setiap hari kamis, tanpa ada informasi dari siapa dan untuk apa bunga itu di kirim pada Ane.




Tidak lama setelah film dimulai hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah Loreak seperti The Kirishima Thing, ia punya misteri yang disebabkan oleh satu individu tapi setelah itu ia memberi penonton drama dipenuhi dengan isu yang menarik untuk di amati dan dirasakan. Loreak sendiri ingin bercerita tentang makna menjadi hidup, kita punya Ane yang ketika melihatnya kamu akan mengerti mengapa ia sedih dengan kehidupannya yang sekarang. Masa muda Ane kurang bahagia, ia telah berada di fase lanjut tapi ia merasa ada ruang di kehidupannya yang masih kosong. Isu terkait memori itu yang kemudian di dorong oleh dua sutradara Jon Garaño dan Jose Mari Goenaga untuk mencapai tujuan utamanya tadi, masukkan Ane kedalam kesepian, duka, lalu penonton bertemu dengan sukacita.




Yang menarik dari Loreak adalah ini sebenarnya sebuah drama yang sempit dan kecil, bahkan peluang untuk ia dinilai sebagai sebuah tontonan yang kosong juga begitu besar, tapi kemampuannya dalam menyentuh dan mempermainkan emosi penonton memberikan sisi berbeda. Visual di buat untuk membuat kamu merasa tenang dengan dominasi warna sejuk, tapi disisi lain ia ditemani dengan bunga penuh warna yang mencolok. Ada resonansi dari situasi tersebut, ia menciptakan dua sisi yang berhasil tampil sebagai setter panggung melodrama, panggung yang mengeksplorasi situasi kejatuhan emosi karakter dimana mereka terasa rapi saat tumbuh sampai garis akhir.




Dan serupa tapi tak sama dengan The Kirishima Thing, Loreak perlahan akan membuat kamu bersyukur dengan keindahan yang kamu miliki. Keterasingan yang di alami oleh karakter lengkap dengan masalah yang mereka miliki pasti merupakan hal yang tidak di inginkan banyak orang terjadi dalam kehidupan mereka. Contohnya seperti karakter lain, Lourdes (Itziar Ituno) yang memiliki hubungan tegang dengan sang ibu mertua karena ia merasa Lourdes bukan sosok yang tepat untuk anaknya, Benat (Josean Bengoetxea). Kesedihan yang dimiliki cerita dan karakter berhasil di urai dengan manis, sutradara dan para pemeran berhasil mengubah berbagai kondisi klise menjadi potongan kehidupan yang tidak hanya kamu lihat dan pahami, tapi juga kemudian kamu rasakan.




Tidak megah memang karena tampilan Loreak sendiri memang sederhana, tidak banyak yang terjadi didalam cerita tapi banyak hal menarik yang ia tinggalkan ketika selesai. Loreak berhasil menyampaikan kompleksitas dari kehidupan menggunakan suka dan duka dengan baik, menyegarkan kembali pertanyaan klasik dari film-film tipe character study seperti “apakah kamu tahu keindahan yang kamu miliki?” Pendekatannya manis dan halus, fokus kuat, kinerja cast yang oke, Loreak adalah sebuah melodrama berisikan eksplorasi dewasa tentang cinta dengan tidak hanya menggunakan suka, tapi juga duka, tidak hanya mengamati namun juga merasakan. Segmented.











1 comment :