06 September 2015

Review: Queen of Earth (2015)


"You are weak and greedy and selfish. And you are the root of every problem. You are why people betray one another. You are why there is nowhere safe or happy anymore. You are why depression exists."

Sebenarnya disamping rasa kasihan, lucu, hingga takut ketika menyaksikan orang gila berkeliaran di jalanan kita seharusnya juga punya rasa "waspada" ketika melihat mereka. Mereka adalah contoh dari orang-orang yang gagal dalam pertempuran dengan jiwa mereka, menghadapi serangan dari banyak arah seperti relationship hingga pekerjaan misalnya sehingga menghasilkan tekanan yang tidak bisa mereka kendalikan dan berujung pada rasa depresi yang melewati batas aman. Depresi adalah misteri batin yang mengerikan, dan Queen of Earth coba menggambarkan itu dalam sebuah pertunjukkan yang chilling dan mesmerizing. Ini film horor tentang depresi.

Setelah ditinggal pergi oleh ayahnya yang melakukan aksi bunuh diri, Catherine (Elisabeth Moss) memutuskan untuk mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri dan memulihkan emosi dengan menuju ke sebuah rumah di tepian danau milik sahabatnya Virginia (Katherine Waterson) selama satu minggu. Namun ternyata usaha Catherine untuk meraih tujuan utamanya tadi tidak mudah karena bukannya membaik keadaan mental Catherine justru bergerak sebaliknya, masalah berasal dari hubungannya dengan Virginia, serta tetangga sahabatnya itu, Rich (Patrick Fugit).



Sinopsis diatas terkesan sangat sederhana, bukan? Bahkan saya merasa mengatakan bahwa tidak banyak yang terjadi di dalam cerita yang film ini miliki bukan menjadi sebuah spoiler yang mengganggu. Lantas apa alasan mengapa di bagian pembuka tadi saya menyebut Queen of Earth sebagai hiburan yang chilling dan mesmerizing? Dari cerita ia terasa sangat simple tapi ternyata masalah yang sederhana ini jadi tempat yang begitu nyaman bagi emosi untuk mempermainkan penontonnya, terus menyelimuti mereka dengan kegelisahan bahkan perasaan takut yang menyenangkan dibantu dengan score yang cukup menyeramkan, menampilkan gambaran di layar yang tampak tenang namun terus membuat kamu waspada karena dibaliknya ada gejolak yang sedang bergerak dan siap meledak.



Iya, terasa menggelikan sebenarnya karena di awal itu tujuan utama karakter adalah untuk relaksasi tapi yang terjadi justru ketenangan penuh ketegangan dan rasa tidak nyaman yang terus mencengkeram penonton dengan menarik. Danau yang indah itu menjadi latar bagi pertarungan psikologis yang intens, memberikan thrill lewat paranoia karakter yang sejak awal telah dilanda kesedihan untuk mulai merasa keterasingan, cemas, hingga panik, dan itu sifatnya kumulatif karena progress mereka terus bertumbuh, dan rasa sesak karakter yang terus dilanda curiga itu ikut dirasakan oleh penonton. Queen of Earth ini merupakan psychological thriller tapi sama seperti yang dilakukan oleh The Gift ia berhasil pula menciptakan rasa horror yang mengasyikkan, dan itu hadir dari sebuah isu yang sederhana.



Queen of Earth ini sederhana, ia adalah penggambaran dari sesuatu yang sangat kita tidak harapkan akan bertemu dengan mereka: depresi yang berlebihan. Saya lupa apakah dua karakter ini sering saling bertatapan satu sama lain sepanjang cerita tapi penonton dapat merasakan perang batin yang begitu mendalam baik itu dari eksternal maupun internal karakter. Jarak yang tumbuh diantara mereka terus di dorong oleh Alex Ross Perry (Listen Up Philip) untuk menciptakan kesan menderita yang mendalam, lalu memanfaatkan gerak-gerak sederhana seperti gerak kepala hingga tertawa kecil dan tatapan kaku untuk memperdalam situasi tadi, dan itu semakin gila karena ia sering menggunakan close-up dengan gerakan yang periodik sehingga kamu semakin merasakan apa yang karakter rasakan.



Karakter juga jadi salah satu kunci kuat dari nilai positif film ini, dan itu berkat penampilan yang memikat dari dua pemeran utamanya. Katherine Waterson berfungsi sebagai mata penonton, menyaksikan sahabatnya berhadapan dengan kondisi buruk yang semakin mengerikan, sikap teguh, sedih, dan frustasi Virginia ditampilkan dengan rapi oleh Waterson, bahkan penampilannya disini terasa lebih mengesankan dibanding penampilannya di Inherent Vice. Dan bintang utamanya adalah Elisabeth Moss, salah satu calon kuat aktris terbaik tahun ini. Meskipun sedang punya masalah berat Moss menjadikan Catherine tidak tampak seperti korban, ekspresi wajah yang memikat membuat kita menaruh simpati dan empati padanya tapi semakin dekat penonton dengan Catherine ia tampak seperti Joker versi wanita, ia tampak gila, ia tampak mengancam, tapi kita merasa kasihan dengannya, rasa tidak nyaman yang terasa menarik.



Queen of Earth lebih seperti panggung teatrikal, script punya pondasi yang kuat tapi ketimbang membebani dialog untuk bercerita Alex Ross Perry lebih memilih menjadikan Queen of Earth sebagai pengalaman emosional dalam bentuk "pertunjukkan" penuh kejutan, membuat kamu tertarik, terikat, dan tenggelam ketika menyaksikan karakter menyampaikan apa yang ia rasakan lewat ekspresi yang menawan. Syarat sukses Queen of Earth sangat sederhana, ia harus berhasil membuat penonton merasa takut mengalami depresi, dan ia sangat berhasil. Drama? Thriller? Queen of Earth adalah film horror yang mengganti hantu dengan sesuatu yang tidak kalah menakutkan, rasa tertekan atau depresi yang berlebihan. Waspadalah! Segmented.











Thanks to: rory pinem

1 comment :