22 August 2015

Review: Sinister 2 (2015)


"Beware, children at play."

Sinister adalah salah satu film horror yang memorable bagi saya, bagaimana ia membawa kita penonton seolah berada disamping karakter Ellison Oswalt untuk menyaksikan hal-hal buruk yang kemudian terjadi. Dampak yang ia tinggalkan terhitung besar, Sinister bukan hanya menjadi sebuah film horror yang menakut-nakuti penonton saat hadir di layar, mereka meninggalkan penonton dengan teror yang mengasyikkan. Pertanyaan disini adalah pada Sinister dari segi cerita kita sudah bertemu dengan garis finish, lalu apa lagi yang hendak Sinister 2 ini coba lakukan, ceritakan, dan gambarkan?

Deputy So-and-So (James Ransone) kini kembali tidak lagi sebagai penegak hukum namun masalah yang ia hadapi masih sama: terror dari Bughuul. Korban Bughuul kali ini adalah keluarga Collins yang tinggal di sebuah rumah di lingkungan pertanian terpencil. Courtney Collins (Shannyn Sossamon) bersama dua anak kembarnya, Dylan (Robert Sloan) dan Zach (Dartanian Sloan), tinggal di rumah tempat dimana pernah terjadi pembunuhan. Sementara Courtney terus berusaha menjaga agar kondisi keluarganya tetap normal apa yang terjadi pada sang anak justru sebaliknya, ia “ditarik” ke ruang bawah tanah untuk menonton film yang membawa hal-hal buruk datang meminta hadiahnya. 


Sebelum memulai rasa kesal saya pada Sinister 2 ini mungkin ada baiknya memulai review dengan apresiasi kecil pada usaha tim penulis C. Robert Cargill dan Scott Derrickson yang tidak menjadikan film ini sekedar pengulangan sangat malas metode dari pendahulunya. Usaha kecil dengan memutar perspektif jelas layak di apresiasi, jika film pertama kita menyaksikan kehancuran yang terjadi didalam rumah itu lewat mata karakter dewasa kali ini semua di putar, kita menyaksikan kehancuran lewat mata anak-anak. Tidak hanya itu saya juga suka dengan keputusan mereka untuk mempertahankan konsep utama “menyaksikan video” secara utuh, ada nilai plus kecil dari hal tersebut. Tapi nilai positif film ini ternyata hanya itu, sisanya adalah rasa yang sama ketika kamu menyaksikan film-film horror “jelek” seperti The Woman in Black 2 dan The Lazarus Effect.



Sinister 2 terasa menjengkelkan karena eksekusi yang ia tampilkan terasa jelek pada bagian dimana berhasil bentuk dengan baik oleh film pertamanya. Film pertama membawa kita merasa dekat dengan gambar serta video rahasia itu, mengikat penonton dengan misteri lalu mengejutkan mereka dengan kuat, tapi Sinister 2 lebih seperti menyaksikan remaja sedang hangout di ruang bawah tanah. Ciaran Foy memang kembali mencoba apa yang Scott Derrickson lakukan di Sinister, membuat penonton peduli dan terikat dengan karakter tapi dengan nada yang tidak pernah terbentuk dengan kuat terasa sulit untuk bisa tenggelam dalam rasa takut yang coba film ini sajikan. Suasana takut serta kesan angker kesulitan untuk hidup, bahkan rasa gelisah saya lebih sering mendekati titik nol.



Bukan hanya masalah nada tapi penggunaan shocking moment disini juga jadi kendala Sinister 2. Strategi menakut-nakuti yang di film pertama dikemas dengan teliti disini hadir dengan kesan mentah, Sinister 2 terlalu mengandalkan kejutan-kejutan kering serta suara-suara melengking untuk membuat penonton terkejut dan takut. Jump scares bukan hal yang salah di film horror asalkan ada irama yang pas, dan Sinister 2 menampilkannya seperti pemuda yang baru pertama kali memetik gitar, tidak tahu kunci, tidak tahu nada, tidak tahu irama, asal kocok sana-sini. Dan semua itu hadir didalam cerita yang kesulitan mencari nafas untuk bisa hidup, misteri yang terasa lemah dan lesu, sehingga kesan menyeramkan terasa suam-suam kuku, tidak total. Oh, itu belum menghitung dialog yang benar-benar merusak koneksi penonton dengan karakter, terasa canggung dan gagal membangun fantasi atau imajinasi penonton pada cerita.



Hal lain yang juga terasa mengganggu selain eksekusi yang terasa palsu itu adalah ketika karakter Bughuul yang di film pertama menjadi senjata mematikan disini justru dimatikan. Kesan menakutkan Bughuul hilang disini, di film pertama kehadirannya kuat bahkan membuat penonton ketika sedang menyaksikan video dipenuhi dengan rasa waspada, tapi disini kesan yang ia tinggalkan adalah badut dengan penampilan ala rocker. Sisanya? Karakter dewasa yang terkesan biasa-biasa saja serta karakter anak-anak yang tampil tidak mengesankan, bukan hanya karena tidak mampu menolong cerita yang sudah menyedihkan sejak sinopsis itu tapi mereka juga tidak pernah mampu menciptakan suasana ketakutan bagi penonton.



Sinister 2 adalah tentang bagaimana pencipta terjebak dalam karya mereka sendiri, dan itu yang terjadi pada tim produksi. Sebuah film horror yang nakal dalam menggoda yang telah lekat dengan Sinister tidak berhasil di ulangi oleh film ini, suasana ketakutan tidak pernah terasa menakutkan, kejutan tidak berhasil tampil mengejutkan, kegelisahan gagal memberi penonton imajinasi yang menyenangkan. Sinister 2 seperti murni usaha memanfaatkan apa yang tersisa dari Sinister untuk meraih keuntungan finansial, itu terlihat dari cara mereka memperlakukan Sinister 2, sebuah horror yang lebih terasa seperti sebuah drama keluarga. Membosankan? Tidak, tapi monoton dan melelahkan. Kamu akan mimpi indah setelah menyaksikan film ini.










Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment