27 August 2015

Review: Battle of Surabaya [2015]


“There is no glory in war!”

Coba kamu sebutkan nama film animasi apa asal Indonesia yang kamu ketahui! Mayoritas diantara kita pasti akan mengenal film yang sama, film animasi yang berada dibawah bendera salah satu produk ice cream itu, tapi selain itu? Film animasi Indonesia masih sangat miskin, dan alasan paling klasik adalah dengan mengatakan karena pekerja animasi di industri perfilman Indonesia masih sulit untuk ditemukan. Tidak, itu karena pemain di dalam industri itu sendiri tidak berani bermain di genre animasi, lebih memilih menciptakan film-film horror yang bahkan untuk tayang di televisi saja masih sangat menggelikan jika dilihat dari segi kualitas. Ini buktinya, film animasi, Battle of Surabaya, tidak mewah memang tapi tetap mampu menjadi kemasan yang menghibur.

Setelah kota Hiroshima dan Nagasaki di bom, Jepang memutuskan menyerah dan kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh negara-negara yang kala itu berada dibawa kendali Jepang. Tapi sebuah perisitwa di Hotel Yamato kota Surabaya menghadirkan masalah baru bagi Indonesia, dari kedatangan kembali Belanda hingga kelompok organisasi militer bentukan Jepang. Kondisi yang pelik menyebabkan tensi di setiap daerah menjadi begitu ketat, namun disamping itu pergerakan untuk mempertahankan kemerdekaan tetap berjalan dan salah satu cara yang para pejuang lakukan adalah dengan mengirimkan berita-berita rahasia lewat sebuah surat yang diantarkan oleh remaja penyemir sepatu bernama Musa (Dominic). 



Mari bicara tentang hal positif dari film ini terlebih dahulu. Hal yang paling menarik dari film ini adalah label Battle of Surabaya sebagai film animasi yang diharapkan membawa nafas segar bagi genre animasi di industri perfilman Indonesia memang sulit untuk dipungkiri, ia berhasil melakukan hal tersebut, dan salah satu alasannya adalah dari segi visual apa yang dilakukan oleh Aryanto Yuniawan beserta timnya sudah berada di level yang memuaskan, walaupun belum sempurna. Saya suka dengan visual dari film yang mampu membuat Disney tertarik untuk membelinya ini, penggunaan warna harus diakui mampu memanjakan mata, bagaimana cara ia menggambarkan dan membangun latar untuk menyokong cerita terhitung oke.



Yang jadi masalah adalah ketika dari segi visual sendiri Battle of Surabaya dapat dikategorikan sangat berhasil mencuri perhatian penontonnya sejak awal tapi apa yang mereka berikan setelah itu dibagian lain kurang berhasil membuat daya tarik mereka terus tumbuh. Kualitas film ini terasa kurang stabil hingga akhir dan di bagian cerita bahkan sempat terasa macet. Battle of Surabaya sering kali terasa kurang mengalir dalam bercerita, suatu saat kamu dibawa menyaksikan strategi menjelang pertempuran belanda, disisi lain kamu dibawa lagi menuju Musa dan misinya, tapi disisi lainnya ia juga seolah mencoba menekan lebih jauh hubungan Musa dan karakter-karakter disekitarnya.



Sebenarnya hal-hal tadi merupakan usaha yang wajar tapi disini Battle of Surabaya berikan dalam kombinasi yang kaku. Akhirnya cerita jadi terasa sedikit monoton, terasa kurang fokus walaupun memang sering kali lelucon yang ia berikan menghasilkan hit yang kuat bagi penonton dan menghidupkan kembali cerita yang sempat lesu. Seandainya ia mau meninggalkan beberapa sub-plot meskipun kita tahu maksud dan tujuan dari eksistensi sub-plot tersebut mungkin cerita dapat lebih dinamis. Saya bahkan sering kali merasa kesulitan untuk klik ketika di beberapa bagian tersadar bahwa judul film yang sedang saya saksikan adalah Battle of Surabaya. Mengapa? Karena setelah menjauh dari garis start perhatian penonton pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan perlahan memudar, dan yang tersisa adalah apa yang akan terjadi pada Musa.



Bagaimana bisa saya merasakan nasionalisme dari cerita ketika fokus terasa lebih kuat diarahkan pada hubungan antara Musa dan Yumna? Ini dia, sub-plot yang meskipun menarik tapi terlalu jauh mencuri atensi dari tema utama. Niat Battle of Surabaya mungkin menjadikan Musa sebagai contoh dampak yang terjadi dari sebuah perang dan itu punya kaitan dengan pesan utama mereka, tidak ada kemenangan dalam perang, tapi powernya tidak kuat, dan hal itu juga dampak dari koneksi karakter dan penonton yang terkesan dipaksa. Simpati mungkin mudah tapi tidak dengan empati karena sejak awal cerita sendiri kurang berhasil menjadikan Musa sebagai karakter yang sangat bernilai, serta faktor lain seperti pengisi suara serta penggunaan musik yang kurang klik dengan karakter dan cerita, begitupula dengan editing yang menjadikan alur cerita terasa kurang halus.



Menggunakan sejarah perjuangan november di Surabaya sebagai dasar cerita yang mengemban pesan perdamaian tentu saja sebuah langkah yang menarik, tapi Battle of Surabaya kurang berhasil menggunakan sisi fiksi dari cerita untuk menghantarkan dengan kuat pesan bahwa tidak ada kemenangan dalam perang, dan lebih disayangkan lagi ketika kisah perjuangan justru menjadi elemen pendamping dan kerap menghadirkan rasa canggung di dalam narasi. Walaupun begitu Battle of Surabaya mampu menampilkan salah satu unsur terpenting dari sebuah film animasi dengan baik, ia punya visual yang sangat menghibur. Cukup memuaskan.








0 komentar :

Post a Comment