21 March 2015

Review: Cymbeline (2015)


“Where is our daughter?”

Membentuk kembali Shakespeare's plays kedalam tampilan baru merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah apalagi ketika ia tidak hanya dibentuk ulang namun diterjemahkan dan di modifikasi kedalam bentuk yang sedikit berbeda. Perlu sensitifitas yang begitu tinggi untuk dapat berhasil melakukan hal tersebut dengan baik, Kenneth Branagh berhasil melakukan itu di Henry V dan Hamlet, Joss Whedon dengan Much Ado About Nothing, serta Ralph Fiennes juga oke membentuk kembali Coriolanus, meskipun disisi lain tidak sedikit pula yang gagal atau kurang berhasil salah satunya play Romeo and Juliet, dan yang terbaru, Cymbeline.

Cymbeline (Ed Harris) merupakan seorang pemimpin klub motor yang marah kepada putrinya Imogen (Dakota Johnson) karena menjalin hubungan asmara dengan seorang pemain skateboard bernama Posthumus (Penn Badgley). Karena hal itu Posthumus dimasukkan kedalam pengasingan dimana ia lalu bertemu dan jatuh kedalam manipulasi dari Iachimo (Ethan Hawke) yang membuat Posthumus menghubungi Pisanio (John Leguizamo) untuk menjadi eksekutor dari sebuah rencana miliknya. Disamping itu selain sedang terlibat sebuah perang dengan kepolisian Cymbeline juga sedang berada dalam bahaya dari istri keduanya, Queen (Milla Jovovich), yang juga memiliki sebuah rencana buruk. 



Sebenarnya tidak ada yang begitu mengganggu dari sinopsis diatas tadi karena secara garis besar itu yang kita cari dari kisah karya Shakespeare, beberapa masalah besar yang kemudian menyebabkan kesalahpahaman yang perlahan menjadi besar, serius, bahkan terkadang liar dan menggila. Itu yang membuat impresi awal Cymbeline tampak menjanjikan karena bukan hanya jajaran cast yang ia miliki terhitung oke, materi dasar yang ia miliki juga mumpuni, sebuah jaminan dari tampilan penuh eksperimental dari seorang Michael Almereyda (Hamlet) juga semakin membuat film ini tampak menjanjikan. Tapi ternyata hal yang awalnya menjadi sebuah daya tarik tadi justru menjadi penyebab utama mengapa Cymbeline terasa membosankan, karena ia berekspresi terlalu liar dan lepas sehingga menghilangkan cita rasa Shakespeare itu sendiri.



Hal yang paling menjengkelkan dari film ini ketika kamu seperti dijanjikan sebuah pertarungan berbagai masalah yang menarik namun pada akhirnya yang kamu peroleh adalah sebuah kekacauan yang kusut dan monoton. Cymbeline terlalu sombong dalam usaha menjadikan kisah klasik itu tampil dengan rasa modern, ia bahkan tidak tampak serius dan menjaga magis dari materi dasarnya, eksperimen sana sini dengan alur yang kusut dan tidak jarang menghasilkan kesan absurd yang mengganggu. Ini seperti menyaksikan seorang pria penggila EDM yang menari-nari ditengah keramaian menggunakan headphone dan menghasilkan gerakan-gerakan liar yang mengganggu orang-orang disekitarnya. Cymbeline punya momen yang menarik tapi dengan modernisasi yang tidak cermat  jangan heran jika kamu akan menemukan saat-saat konyol yang mengundang tawa.



Ya, tawa, padahal Cymbeline sendiri merupakan sebuah kisah tragedi dengan masalah utama berupa kejahatan. Tidak adanya rasa takut dalam bereksperimen menyebabkan Almereyda gagal membangun karakter untuk dapat meraih hati penonton, hal yang sebenarnya penting dalam rangka menciptakan intimitas sehingga kita dapat merasakan sensitifitas dari pertunjukkan yang ia berikan. Tidak peduli seberapa ekstrim modifikasi yang ia tampilkan salah satu tugas utama Cymbeline sebagai film yang menggunakan Shakespeare sebagai jualan utamanya adalah merangsang kita untuk tenggelam bersama pesona yang ia miliki sembari merasakan berbagai makna referensial yang ia bawa. Jangankan mencapai hal tersebut untuk membuat penonton merasa tidak canggung saja dengan sajian yang mereka dapatkan film ini gagal, dialog Bard yang kaku, narasi berbelit-belit, hingga para pemeran yang seperti terasa sia-sia dibalik usaha keras dan tidak buruk yang mereka lakukan dalam membangun karakter, kerap stuck karena cerita dan menyisakan Dakota Johnson sebagai satu-satunya penampil yang cukup memikat.



Cymbeline seperti sebuah film yang menganggap Shakespeare's plays hanyalah sebuah panggung teatrikal, ia seolah tidak memikirkan isi dan apa yang terjadi di atas panggung itu. Penuh ambisi sehingga panggung terasa penuh sesak, ia memberikan kamu banyak isu dan konflik yang menarik namun banyak pula dari mereka yang perlahan mati kehabisan waktu. Jangankan meninggalkan sebuah impresi yang epik, untuk menjahit cerita menjadi satu kesatuan yang menarik sehingga membuat penonton merasakan debaran dan intensitas dari sebuah drama Shakespeare saja film ini tidak mampu.








0 komentar :

Post a Comment