22 February 2015

Movie Review: Predestination (2014)


"What comes first, the chicken or the egg?"

Film yang mengusung tema time-travel sebagai senjata utamanya selalu punya sensitifitas yang lebih besar untuk meraih titik tertinggi atau justru berada di posisi terendah ketimbang tema lainnya. Sebuah kesalahan kecil dapat menghasilkan dampak yang sangat besar, materi yang pintar dapat menjadikannya tampak bodoh lewat sebuah kesalahan kecil, materi yang dangkal dapat pula menghasilkan sebuah hiburan yang pintar jika mampu di olah dengan cermat. Film ini terjebak diantara dua hal tadi. Predestination: just like winning a baseball games without home run. 

Seorang pria yang dikenal dengan nickname Temporal Agent (Ethan Hawke) sedang berupaya menjinakkan sebuah bom waktu yang telah mulai menghitung mundur, namun celakanya menjelang menit terakhir ia mendapatkan gangguan dari seorang teroris yang dikenal dengan sebutan Fizzle Bomber. Bom tersebut pada akhirnya meledak dan meninggalkan bekas yang cukup parah pada wajahnya, dan dari sana ia harus menjalani operasi wajah untuk kemudian menjalani rehabilitasi agar dapat kembali menjalankan tugasnya, melompati timeline dengan mesin waktu berbentuk case gitar untuk kembali berupaya menangkap Fizzle Bomber.

Tapi suatu ketika Temporal Agent bertemu dengan seorang penulis yang menyebut dirinya The Unmarried Mother (Sarah Snook), yang dalam waktu singkat mulai bercerita tentang kisah kelam yang ia alami hingga harus berganti identitas dari Jane menjadi John. Sumber masalah tersebut adalah sebuah lembaga pemerintah penuh misteri Space Corps yang berada di bawah komando Mr. Robertson (Noah Taylor), lembaga rahasia yang mencoba menemukan rekrutmen baru untuk menjadi agent yang melaksanakan upaya utama mereka, memperbaki timeline dengan melakukan perjalanan waktu untuk kemudian mencegah bahkan merubah hal buruk yang pernah terjadi di masa lalu. 


Cerdik mungkin merupakan kata yang paling tepat untuk mewakili Predestination dibagian awal, bagaimana ketika baru di mulai Michael Spierig dan Peter Spierig (Spierig brothers) sukses menciptakan sebuah masalah yang menarik untuk di ikuti, dan itu kemudian mereka lengkapi dengan karakter yang dibangun dengan sangat sangat cermat. Bagian awal terasa lambat memang tapi justru dibagian tersebut Predestination benar-benar terasa menarik, usaha untuk memperluas ruang cerita dengan menciptakan hubungan-hubungan paralel yang kala itu masih ia sembunyikan dengan rapi berhasil terus menggoda imajinasi pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Perkembangan secara perlahan dibagian ini sanggup menarik minat penonton untuk terlibat lebih jauh bersama karakter terutama pada pertanyaan ayam atau telur itu.

Tunggu dulu, sebelum masuk kedalam konsep ayam dan telur yang juga didampingi oleh Spierig brothers dengan konsep lain dimana ular menggigit ekornya mari bahas terlebih dahulu konsep utama yang mereka gunakan, konsep predestinasi. Sebenarnya bukan lagi menjadi sesuatu yang baru di genre time-travel tapi disini konsep nasib atau destinasi telah tercipta jauh sebelum seorang manusia tercipta disusun dengan gimmick yang menarik. Kita punya Temporal Agent tapi setelah itu hadir The Unmarried Mother yang punya kaitan dengan pihak ketiga dimana pihak ketiga tersebut ternyata juga memiliki kaitan pula dengan Temporal Agent. Tidak hanya itu karena sebuah kejutan besar akan menanti anda di penghujung cerita, Spierig brothers dapat dikatakan cermat dalam menciptakan set hubungan tersebut meskipun sayangnya justru seperti sebuah karet yang mementalkan semua kompleksitas yang telah terbangun sejak awal.


Seperti yang saya katakan di bagian pembuka tadi film ini ibarat sebuah tim yang memenangkan pertandingan baseball tapi tidak melakukan home run. Predestination berhasil menciptakan kerumitan untuk kemudian di selesaikan melalui eksposisi yang seolah dikebut penuh kepanikan, tapi tidak ada sensasi yang kuat dari konklusi yang ia hasilkan. Penyebabnya? Timing adalah jawaban paling tepat. Cerita terlalu lama terjebak didalam lingkaran yang sesungguhnya sudah tidak lagi mampu menjaga misteri yang ia miliki ketika ia telah mencapai titik tengah durasi, bagian dimana sihir yang muncul di awal telah kehilangan kekuatannya. Cerita tidak lagi sama menariknya dengan karakter dimana obsesi untuk berputar-putar pada agent, mother, hingga Robertson terasa berlebihan dan liar, kurang terkendali.


Minus tadi memang bukanlah sebuah kejutan karena Predestination sejak awal telah kurang cermat dalam menciptakan aturan main dari cerita yang ia punya. Hubungan sebab akibat dari mesin waktu tidak eksis sehingga karakter dapat melompat dengan bebas yang sayangnya justru menggerus rasa peduli kita pada mereka. Tidak ada taruhan besar disini, ia juga tidak menyajikan tikungan-tikungan kecil di sepanjang cerita yang mampu menciptakan shock moment, semua perputaran hanya mengusung satu misi untuk memecahkan jawaban di awal tadi, siapa yang terlebih dahulu antara ayam atau telur. Hasilnya impact yang ia berikan tidak kuat, dari cara pengungkapan juga terkesan dangkal sehingga inti yang tertinggal di pikiran penonton adalah sebuah aksi show-off untuk menunjukkan ia merupakan sebuah kemasan yang pintar dan penonton berada di posisi pihak yang bodoh, meskipun akhirnya posisi itu terbalik.

Ada beberapa cara untuk menjadikan Predestination terasa lebih menarik, salah satu yang paling sederhana tentu saja dengan sedikit mengurangi fokus dalam melindungi misteri yang mudah dicerna itu karena pada dasarnya jawaban yang ia sediakan di bagian akhir juga tidak begitu keren. Clue, clue, dan clue, biarkan mereka terurai dengan kesan berantakan lalu tutup dengan sebuah kesimpulan yang terasa hanya sebatas datang lalu pergi, tidak tinggal di pikiran dan mempermainkan imajinasi untuk kemudian membuat kita berkata “wah, keren” atau “wow, gila”. Saya bahkan tidak menemukan sebuah pesan yang kuat dan menarik dari cerita yang di paruh kedua hadir dengan eksplorasi yang sedikit monoton. Untung saja Ethan Hawke dan Sarah Snook tampil manis, Hawke dalam menjaga intensitas masalah utama dan Sarah Snook dengan kerentanan yang sukses mencuri atensi serta kesan misterius yang berperan besar dalam menjaga kehidupan didalam cerita.


Overall, Predestination adalah film yang cukup memuaskan. Pendekatan minimalis yang ia gunakan akhirnya hanya menghasilkan Predestination sensasi yang juga minimalis. Ia memberikan pertanyaan yang berhasil menarik perhatian dan kemudian menutupnya dengan sebuah jawaban yang juga dapat diterima, tapi diantara dua hal tadi kita dibawa masuk kedalam sebuah eksplorasi yang cukup monoton, dan setelah itu ia tidak meninggalkan impact lain yang lebih berarti, impact yang merubah excitement dan sensasi ketika menonton menjadi hal menarik yang setelah itu akan tinggal dan bermain-main di dalam memori penontonnya. Just okay. (Spoiler alert!!! Temporal Agent = The Unmarried Mother). 








2 comments :

  1. film ini bagus, plotnya diatur dan disusun dengan cermat walaupun pada akhirnya semua twits yg dihadirkan terjawab seiring berjalannya cerita, hanya saja masih ada yg tertinggal dari film ini sampai di akhir cerita, apa maksud dari cerita film ini? apakah film ini memang sengaja dibuat untuk meninggalkan kebingungan di kepala penonton? cerdas tpi tidak memukau

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, jadi terasa sebatas show off belaka, pesan terkait predestinasi juga lemah banget saat selesai. :)

      Delete