29 January 2015

Review: Song One (2015)


"A moment can change everything."

Jika di lihat dari poster yang ia miliki Song One mungkin akan membuat kamu tertarik karena kesan pertama yang akan mudah terlintas di kepala kamu adalah ia merupakan sebuah film dengan tema musik yang lembut dan manis. Song One ternyata lebih dari sekedar dua karakter melakukan hal-hal manis di sekitar musik, sama seperti Begin Again ada kerumitan tentang masalah hidup di dalamnya dan musik seolah seperti jalan yang membawa karakter untuk menyelesaikannya. Tapi jika diumpamakan sebuah permen yang akan memberikan rasa terbaiknya ketika manis dan asam berkombinasi sayangnya Song One miss di hal tersebut, tidak pernah sepenuhnya manis, tidak pernah sepenuhnya asam, dan tidak memberikan rasa terbaiknya.

Musisi bernama Henry Ellis (Ben Rosenfield) mengalami sebuah kecelakaan yang melibatkan taksi sehingga membuatnya berada dalam kondisi koma. Mendapat kabar dari ibu (Mary Steenburgen) mereka kakak perempuan henry yang bernama Franny Ellis (Anne Hathaway) langsung pulang ke New York dari Maroko, tempat dimana ia sedang melakukan penelitian untuk meraih gelar Ph.D. Franny pada akhirnya mendapati bahwa pada malam di hari kejadian adiknya akan datang ke konser seorang rocker indie bernama James Forrester (Johnny Flynn). Mencoba meringankan bebannya Franny bercerita kepada James perihal tragedy tadi, namun ternyata yang terjadi diantara mereka berdua berjalan lebih jauh melalui musik. 



Coba kamu cermati lagi synopsis di atas tadi, ada kesan chessy dan terasa sangat standard bukan, dari tragedi, kemudian muncul sebuah niat yang lama kelamaan mulai melenceng dan berakhir pada sesuatu yang seolah menjadi sebuah destinasi akhir yang paling klasik: cinta. Apakah tidak boleh? Tentu saja tidak, di awal saya bahkan menaruh harapan pada hubungan antara dua karakter utama disamping rasa suka terhadap penggunaan musik di film ini, tapi masalahnya Song One merupakan sebuah film tentang musik yang sayangnya terlalu bertumpu pada musik. Tidak salah memang seperti Once misalnya, atau tahun lalu kita punya kita punya Begin Again meskipun kadar ketergantungannya pada music tidak sangat ekstrim. Ya, Song One terasa sangat ekstrim, ini seperti sebuah film tentang musik yang murni hanya ingin menjual musik yang ia miliki. 



Hal tersebut yang menjadikan sepanjang ia tampil di hadapan saya perasaan hilang dan datang itu selalu hadir, ada momen dimana saya bisa merasa klik dengan apa yang mereka gambarkan tapi tidak sedikit juga momen yang bukan hanya sedikit namun terlalu hambar. Kondisi ini yang yang menjadikan Song One tidak pernah berhasil menebar pesona miliknya hingga akhir dimana penonton seperti di ajak bermain tarik dan ulur dengan semangat yang kurang menarik. Masalah utamanya ada di cerita, dari plot hingga karakter, mereka sejak awal tidak di bekali dengan daya tarik yang mumpuni seperti fokus utama misalnya, apakah ini hendak menjadi sebuah kisah romance standard yang memanfaatkan nuansa kota New York, atau justru sebuah studi karakter yang sedikit lebih kompleks.



Ya sederhananya saja pilihan pertama tadi sudah sulit mengingat konflik utamanya sendiri juga sudah cukup gelap, dan sayangnya Kate Barker-Froyland juga tidak mampu memberikan eksekusi yang baik pada opsi kedua. Karakter seperti di biarkan terombang-ambing bersama dengan music disini, dan hasilnya ketika music hadir ada nyawa didalam layar tapi ketika music tersebut menghilang dalam seketika rasa tadi berubah drastis menjadi hambar dan datar. Sebenarnya hanya satu hal sederhana yang harus Kate Barker-Froyland lakukan sejak awal, buat karakter yang menarik, karena sejak awal penonton juga akan mengerti bahwa ini akan menjadi klise dan standard, tapi mereka ingin agar klise dan dangkal tadi dihadirkan dengan pesona yang menarik, bukannya dalam sebuah presentasi mandul penuh shaky cam yang gagal membangun koneksi antara cerita, karakter, dan juga mereka.



Mungkin niat dari Kate Barker-Froyland adalah agar penonton merasakan apa yang karakter rasakan melalui musik, Song One memang sempat berada di jalur untuk mencapai hal tersebut tetap sayangnya hilang di tengah jalan. Perpaduan rasa folk dan indie-rock memang menarik, tapi sejak awal hingga akhir seperti tidak ada sesuatu berharga yang sedang di pertaruhkan didalam Song One, bukan hanya terlalu lembut tapi juga terasa hambar. Musik sesekali mampu mengangkat posisinya namun dengan plot yang bermasalah, emosi yang minim, hingga pesona dari karakter yang terasa miskin, sepanjang film saya bukan hanya berusaha untuk menikmati musik yang ia berikan namun juga mencoba mengatasi kesulitan untuk membangun koneksi dengan cerita dan karakter. Tidak menyiksa, namun juga tidak begitu "enak" untuk dinikmati. 








0 komentar :

Post a Comment