31 January 2015

Movie Review: Birdman (2014)


“It's like a candle burning on both ends, but it's beautiful.”

Jujur saja sangat sulit menyembunyikan senyuman ketika kami berbicara tentang Birdman, bukan karena ia memiliki kekurangan yang mengganggu tapi justru sebaliknya dimana ia berhasil memberikan sebuah petualangan yang sejak awal bertemu hingga ketika harus berpisah terus mengisi penontonnya dengan senyuman karena caranya mempermainkan imajinasi dengan cara yang unik dan lezat. Tanpa sedikitpun rasa ragu Birdman adalah film yang langka bagi saya, ia seperti Gravity dengan drama yang lebih berisi layaknya Biutiful, menjadikannya sebuah kemasan lengkap yang akan memberikan anda pernikahan yang sangat harmonis antara style dan substance. Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance): what we talk about when we talk about life. What a strange magic!

Riggan Thomson (Michael Keaton) merupakan seorang aktor yang sedang dilanda banyak masalah pribadi, dengan karir menjadi fokus utama. Setelah membintangi sebuah film blockbuster dimana kala itu ia menjadi sosok superhero bernama Birdman, popularitas dan karir Riggan perlahan menurun, dan yang membuat ia semakin merasa tertekan karena dalam aktivitas sehari-hari yang ia lakukan Riggan masih merasa ia merupakan seorang Birdman dengan segala kemampuan super, hal menyebabkan mengapa ia sering di hampiri suara karakter yang pernah ia mainkan, suara yang selalu mencoba mengejek dan menghasut dirinya. 

Riggan sendiri bukannya tidak mencoba berubah, yang terbaru ia mencoba untuk mengadaptasi cerita Raymond Carver kedalam bentuk pertunjukkan panggung broadway, tapi kendalanya adalah disekitarnya telah eksis berbagai masalah lainnya. Dari putrinya Sam Thomson (Emma Stone) yang baru keluar dari rehabilitasi, dua sahabatnya Jake (Zach Galifianakis) yang merupakan seorang produser dan Lesley (Naomi Watts), seorang aktris, hingga sosok baru bernama Mike Shiner (Edward Norton). Tidak cukup sampai disitu, Riggan juga berhadapan dengan polemik cinta yang melibatkan Sylvia (Amy Ryan) dan Laura (Andrea Riseborough), serta hubungan dingin dengan kritikus bernama Tabitha (Lindsay Duncan).


Birdman adalah apa yang kita bicarakan ketika kita berbicara tentang kehidupan, dan menariknya itu ditampilkan dalam bentuk sebuah komedi dengan mengandalkan pertunjukkan teatrikal sebagai senjata utamanya. Menyaksikan film ini seperti menjadi seorang pengunjung yang diberi kesempatan untuk mengunjungi belakang panggung dari proses persiapan sebuah pertunjukkan, dan yang mengejutkan ketika kita menemukan banyak masalah yang terjadi didalamnya, karakter-karakter yang runtuh akibat ego dan sesuatu dari masa lalu yang belum selesai. Kondisi tersebut yang akan memberikan anda sebuah pengalaman dengan sensasi layaknya mengendarai sebuah rollescoaster, kita seperti terjebak didalam sebuah labirin penuh liku-liku menarik disertai gesekan yang dapat kita lihat dalam jarak yang sangat dekat, seolah memaksa anda untuk memecahkan sebuah masalah antara nyata dan tidak nyata walaupun pada dasarnya ia hanya ingin menjadi kritik dengan cara mocking pada apa yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Hal tersebut yang saya sangat suka dari Birdman ketika ia pada dasarnya ingin menjadi sebuah kritik tapi tanpa mencoba mencela, ia justru membawa anda mempertanyakan semua hal-hal serius tentang kehidupan itu dalam bentuk sebuah kemasan yang terkesan kurang serius, dengan menjadi sebuah komedi. That’s it, dari keluarga, kemudian budaya selebriti, hingga mencampur ambisi dan obsesi yang dapat mengacaukan setiap pribadi jika tidak mampu ia kendalikan dengan tepat, semua Alejandro G. Iñárritu eksekusi dalam komposisi yang sangat pas, ia menampilkannya lewat hal-hal yang simple di setiap bagian kecil sehingga terasa jujur dan tidak menjadikan berbagai pertanyaan tadi terlalu filosofis dan membebani, kontemporer tapi dibentuk dengan cermat. Itu yang menarik, ketika anda berjalan-jalan bersamanya anda akan tenggelam dalam kenikmatan yang ia berikan, menertawai kesalahan dan kekonyolan yang karakter lakukan, tapi ketika ia telah berakhir anda akan melakukan recall pada apa yang baru anda lihat tadi dan kemudian bergumam, “wah, yang tadi itu keren”.


Tapi jangan heran jika anda akan menemukan mereka yang menyebut Birdman sebagai kemasan penuh tipu muslihat, atau kemasan penuh gimmick, karena pada dasarnya ia memang melakukan hal tersebut pada bagian teknis. Namun pertanyaannya adalah apakah itu salah? Tentu tidak, asalkan gimmick tersebut di bentuk dengan cantik, dan itu yang dilakukan oleh Alejandro G. Iñárritu disini, menciptakan seolah cerita bergerak terus menerus tanpa pernah sekalipun terputus. Di situ letak salah satu faktor paling keren dari Birdman, bagaimana ia memanipulasi imajinasi penonton untuk merasa bahwa mereka tidak bisa berhenti dan terus mengikuti karakter bergerak, dibantu dengan pencahayaan yang praktis kamera terus bergerak bersama kesan misterius yang tidak pernah padam, sukses mempermainkan kita diantara realita dan ilusi yang menariknya karakter ditampilkan bukan seperti sebuah objek yang kita amati, tapi seperti subjek dimana kita juga merasakan gejolak dan emosi yang sedang ia alami.

Itu mengapa diawal tadi saya menyebut Birdman sebagai pernikahan yang sangat harmonis antara substance dan style karena ia mampu bermain-main diantara dua hal tadi, memiliki transisi yang sangat sangat halus, sangat mudah untuk di ikuti dan di nikmati sehingga kita tidak merasakan substance dan style sebagai dua hal yang terpisah namun mereka hadir sebagai satu kesatuan di tiap scene. Tiap scene? Ya, itu dia hal lain yang menjadikan Birdman terasa cantik karena ia sukses memperdaya penonton sehingga merasa semuanya di rekam tanpa putus, dan editing melakukan pekerjaannya dengan sangat baik terlebih dengan kecerdikan mereka dalam mempermainkan warna hasil dari pencahayaan dan cinematography racikan Emmanuel Lubezki tadi. Tidak hanya itu, score juga punya andil yang besar dalam menciptakan irama petualangan yang memikat, sentuhan drum dari Antonio Sánchez (Why AMPAS? Why?) yang sukses mempertebal kesan unik dari sihir yang diciptakan oleh elemen-elemen lain.


Nah, semua kelebihan yang telah di bahas tadi yang pada akhirnya menjadi alasan mengapa ensemble cast merupakan kunci yang paling penting dari kesuksesan yang Birdman raih. Konsep teatrikal yang mencoba membawa penonton menelusuri masing-masing karakter membutuhkan eksekusi yang tepat pula oleh jajaran cast, terlebih dengan menggunakan beberapa take panjang resiko yang mereka bawa juga cukup besar. Michael Keaton adalah bintang utamanya, ia berhasil meraih atensi dan simpati kita, membuat masalahnya tampak serius tapi di sisi lain tidak pernah miss ketika Riggan menjalankan tugas lainnya, membuat penonton tertawa, namun pemeran lain juga punya andil yang sama pentingnya terutama menjadikan karakter mereka bukan hanya sebagai tempelan belaka dan tanpa guna, masing-masing menampilkan performa yang tajam dan efektif sehingga membuat masalah mereka tampak menarik, dan akhirnya menyebabkan Birdman berhasil menjadi sebuah studi karakter yang kurang ajar tingkat tinggi.


Overall, Birdman adalah film yang memuaskan. Lorong teater bersama kecemasan dalam ruang sempit, karakteristik yang simple dan menarik, performa cast yang powerfull, mampu mencampur substance dan style tanpa terkesan memaksa, melepas penonton untuk tertawa dan bertepuk tangan bahagia bersama kegelapan di persenjatai dengan emosi yang terus eksis di sampingnya, eksekusi teknis yang rapi dan cemerlang dari editing yang halus, cinematography yang kurang ajar, hingga score yang sangat “soulful”, dan semua itu dibungkus dengan pesona yang kuat dan luar biasa, Birdman berhasil menjadi sebuah studi karakter tentang kehidupan yang dikemas serius namun santai berkat kemampuannya memanipulasi penonton dengan brilian, berhasil memberikan sebuah movie experience yang akan sulit untuk dilupakan. What a strange magic!








1 comment :

  1. baru tau film ini....
    http://obatlukadiabet.blogspot.com/2015/06/cara-mengatasi-luka-bakar-di-kulit.html

    ReplyDelete