21 December 2014

Review: Birdman (2014)


“Popularity is the slutty little cousin of prestige.”

Birdman ini ibarat 4D experience, kita hanya duduk di sebuah kursi menggunakan sebuah kacamata tapi apa yang kita saksikan terasa sangat nyata, membuat kamu seolah misalnya berada di sebuah rollercoaster dengan lintasan yang gila dan penuh liku-liku, akan membuat kamu teriak sangat kencang ketika ia tiba-tiba naik atau turun lalu setelah itu tertawa ketika ia sejenak bergerak tenang untuk memberikan kamu kesempatan bernafas. Itu yang saya rasakan dari Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance), ia punya isu dan karakter yang menghasilkan empati dan simpati, ia punya komedi yang membuat kamu tertawa geli, bercerita dengan liar bahkan cenderung sinting, sebuah studi karakter dengan rasa meta yang lezat. A fantastic typhoon.

Riggan Thomson (Michael Keaton) merupakan actor yang dulu pernah terkenal lewat perannya sebagai Birdman, sebuah franchise yang sempat popular bahkan telah berada di jilid ketiga, tapi setelah peran superhero itu karir Riggan sangat lesu, kondisi yang kini coba ia ubah. Upaya Riggan adalah dengan mengadaptasi cerita Raymond Carver kedalam sebuah pertunjukan panggung Broadway yang celakanya tidak berjalan mulus. Rintangan Riggan datang dari banyak arah, dari seorang aktor broadway terkenal bernama Mike Shiner (Edward Norton), putrinya Sam Thomson (Emma Stone) yang baru kembali dari rehabilitasi, aktris bernama Lesley (Naomi Watts) serta sahabatnya yang juga seorang produser, Jake (Zach Galifianakis), kritikus bernama Tabitha (Lindsay Duncan), mantan istrinya Sylvia (Amy Ryan), hingga pacarnya yang kini sedang hamil, Laura (Andrea Riseborough).

Tidak heran kalau tahun ini awards season di sebut sebagai yang paling misterius dalam beberapa tahun terakhir karena tidak seperti tahun-tahun sebelumnya dimana ada satu kuda yang bergerak sendirian didepan tahun ini banyak sekali yang punya kualitas seimbang. Dua kandidat pertama yang saya tonton adalah The Grand Budapest Hotel dan Boyhood, dan saya yakin salah satu dari mereka yang akan jadi yang terbaik, kemudian setelah itu hadir The Imitation Game lalu disusul Whiplash, dan kini Birdman memaksa masuk ke posisi terdepan. Semakin membingungkan karena mereka seolah saling menimpa, saling menjatuhkan rasa yakin saya kalau mereka yang terbaik diantara yang terbaik untuk tahun ini, bahkan ketika selesai menonton Birdman saya langsung menempatkannya di posisi pertama sebelum akhirnya saya teringat lagi film-film tadi. Iya, ini sangat layak menjadi film terbaik di tahun ini.

Alasannya? Birdman itu ibarat kemasan komplit yang punya elemen-elemen yang mungkin absen dari para pesaingnya tadi. Tidak hanya jadi keuntungan saja memang karena kekuatan dari tiap bagian itu pada akhirnya tidak ada yang benar-benar luar biasa, tapi kombinasi yang mereka hasilkan sudah jauh lebih dari cukup untuk menghapus kekurangan tadi dari pikiran saya. Ya, bagaimana bisa hal tersebut jadi masalah kalau sepanjang film saya diputar-putar oleh Alejandro González Iñárritu dengan berbagai something yang saling sambung menyambung itu, seperti terus menerus mengemis atensi namun anehnya kita tidak akan keberatan memberikan atensi karena apa yang mereka tampilkan terus menerus menarik. Birdman punya pesona yang sangat besar sejak awal dan berhasil membuat kita seperti berada disekitar karakter, dan setelah itu stabil maka berbagai pergeseran yang mulus dan licin baik itu pada cerita dan visual akan terus membuat kamu terkejut.



Tiga factor kunci paling utama dari kesuksesan Birdman menghibur dengan kesan meta yang menarik adalah Alejandro González Iñárritu, Emmanuel Lubezki, dan ensemble cast. Iñárritu sangat terampil memainkan nada pada cerita, ada bagian dimana apa yang Riggan lakukan berhasil ia tampilkan untuk terasa sangat lucu, tapi ada pula bagian dimana ia menciptakan dramatisasi yang dapat mempermainkan emosi kamu dengan kegelapan. Iñárritu sangat cermat memanfaatkan banyak hal yang ia gunakan disini, dari budaya selebritis, budaya penikmat film, sampai popularitas di Hollywood yang kental dengan unsur satire, itu ia gunakan dengan baik untuk membuat lapisan-lapisan yang terasa aneh tapi nikmat, ada rasa drama penuh rasa cemas yang bisa dengan cepat bergerak menuju sesuatu yang lebih ringan seperti komedi penuh slapstick, mengalir dengan pas bersama visual yang bisa dibilang kurang ajar.



Emmanuel Lubezki, tahun lalu membuat kita melayang-layang di luar angkasa pada Gravity milik Alfonso Cuarón, dan kali ini ia kembali membuat kita melayang-layang di bumi. Kita seperti merasa terombang-ambing bersama masalah Riggan karena sinematografi juga menciptakan kondisi dimana kita seperti jarang diberikan kesempatan beristirahat, karakter membahas masalah kita seperti berada disampingnya, karakter masuk ke masalah lain kita juga seolah ikut pindah dibelakangnya, ketika ia tertawa dan sedih kita juga merasa hal yang sama. Emmanuel Lubezki seperti memberikan kita kesempatan untuk hangout dengan Riggan Thomson dan juga karakter-karakter lain yang tidak kalah pentingnya, satu shoot panjang yang di set agar tidak tampak putus, sesekali diam untuk memperdalam masalah, lalu setelah itu berputar-putar dan melaju dengan liar. Seperti hipnotis, ada dinamika yang mengasyikkan dari perpaduan sentuhan Iñárritu dan Lubezki, dan itu berhasil dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para aktor.



Masih ragu juga untuk mengatakan bahwa Birdman punya ensemble cast terbaik tahun ini, tapi untuk hal paling efektif ia adalah salah satunya, semua karakter punya kontribusi mengesankan, perannya kecil tapi menarik. Naomi Watts, Andrea Riseborough, Lindsay Duncan, dan Amy Ryan, mereka tampil mengesankan, serta Zach Galifianakis berhasil tampil lucu. Emma Stone menjalankan tugasnya dengan baik sebagai penyokong karakter Riggan Thomson, sedangkan Edward Norton tampil baik sebagai pendorong baik itu pada drama dan komedi untuk bergerak maju. Dan bintang utamanya adalah Michael Keaton, penampilan yang luar biasa. Hal yang menjadikan Keaton terasa istimewa jika harus dibandingkan dengan pesaing terkuatnya yang telah saya saksikan, Benedict Cumberbatch di The Imitation Game, adalah ia punya tugas yang jauh lebih rumit, membawa kita bergeser antara drama dan komedi tanpa harus kehilangan pesona dari karakternya di dua bagian tersebut. Itu ia lakukan dengan sangat baik, ia tertawa kita juga tertawa, tapi adan empati dan simpati ketika drama itu muncul.



Nah, ini adalah post terpanjang saya setelah Gone Girl, dan jujur saja masih banyak hal menarik yang dapat dibahas baik itu pada desain, editing, hingga score, namun saya rasa tiga hal paling menarik tadi sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana menariknya hiburan yang diberikan oleh Birdman, sebuah studi karakter tentang mental yang celakanya disampaikan jauh dari kesan serius, skenario yang memberikan sebuah perang mental yang di isi dengan gejolak internal dan eksternal, tampil kuat ketika menyajikan hal-hal serius, tampil kuat pula ketika mencoba membuat kita tertawa, sebuah kombinasi komplit dan dinamis yang berani, kreatif, cermat, dan lezat. Segmented.










3 comments :

  1. Min tolong review movie falcon rising, gone girl & the guest. Thanks be4 min...

    ReplyDelete
  2. Saya juga suka film ini. Seperti menceritakan kisah michael keaton setelah batman dan karirnya tidak sebaik Clooney

    ReplyDelete
  3. setelah nonton film ini saya bertanya-tanya apakah saya menontonn film atau bermimpi. ini film yang saya kagumi. namun ini film yang berat untuk penonton awam haha.

    ReplyDelete