04 December 2014

Movie Review: Penguins of Madagascar (2014)


"You just mermaid my day."

Ketika saya mencoba mengajak beberapa rekan untuk nonton bersama film ini jawaban dari mereka mayoritas punya satu inti yang serupa: malas, ada yang mengatakan kurang menarik, bahkan ada pula yang mengatakan ini hanya akan mengikuti jejak Planes sebagai sebuah spin-off yang tidak menghibur. Memang sebuah pemikiran yang sangat wajar mengingat Madagascar yang menjadi induk awalnya juga sudah kurang menarik, tapi rasa pesimis itu pula yang menjadikan apa yang diberikan oleh film ini terasa mengejutkan. Penguins of Madagascar, stupid, silly, & satisfying spin-off scooter.

Di sudut Antartica hidup tiga ekor penguin yang dikarenakan tingkah laku konyol dan berani yang mereka miliki menarik perhatian sekelompok manusia untuk mendokumentasikan kegiatan mereka, yang juga menjadi momen dimana Kowalski (Chris Miller), Rico (Conrad Vernon), dan sang pemimpin Skipper (Tom McGrath) bertemu dengan anggota baru mereka, Private (Christopher Knights). Yang mengejutkan adalah dibalik tampilan mereka yang santai atau kurang serius kelompok penguin ini punya kemampuan “tempur” yang “meyakinkan”, bahkan mereka sedang berada dalam sebuah misi untuk menyelamatkan mesin penjual otomatis dari makanan favorit mereka, Cheezy Dibbles. 

Sumber masalah adalah Dave (John Malkovich), seekor gurita fleksibel pemilik senjata yang dapat mengubah semua makhluk hidup menjadi monster menakutkan, dan upaya pertamanya adalah dengan mengumpulkan semua penguin dari kebun binatan besar untuk menjadi objeknya. Masalah yang dihadapi empat penguin tadi ternyata tidak berhenti dalam pertempuran dua arah mereka dengan Dave, karena disisi lain muncul The North Wind, kelompok agent rahasia yang dibawah komando serigala bernama Classified (Benedict Cumberbatch) menyebabkan persaingan semakin rumit.


Awalnya memang sempat pesimis terhadap film ini dengan alasan utama seperti di sebutkan di bagian pembuka tadi, dan itu belum ditambah dengan fakta bahwa saya tidak pernah mengikuti empat penguin ini ketika mereka tampil di layar televisi, tapi dengan segala kekurangan (atau sebut saja keterbatasan) yang mereka miliki Penguins of Madagascar justru secara mengejutkan berhasil memberikan penontonnya apa yang mereka cari dari sebuah animasi mungkin satu dekade yang lalu, free-style cartoon. Bodoh, dangkal, terkadang bahkan sulit untuk merasa bahwa kekonyolan di luar batas seperti menjadikan perut mereka seperti brankas tanpa limit itu terasa menghibur, tapi dengan gerak cepat yang mereka terapkan Simon J. Smith dan Eric Darnell berhasil menjauhkan film ini dari kehancuran.

Ya, ini tidak megah, sangat mudah untuk mengatakan ia tidak cukup layak untuk dibandingkan dengan film animasi lain rilisan tahun ini seperti The Lego Movie, How to Train Your Dragon 2, serta Big Hero 6, bahkan peluang untuk kembali teringat hal-hal menarik dan menyenangkan yang anda dapatkan dua atau tiga hari setelah menyaksikan mereka juga sangat kecil, tapi untuk sekedar hiburan sekali pakai ini terasa efektif. Ini seperti sebuah rollercoaster, membawa penontonnya berputar-putar dalam berbagai urutan yang terhitung pas, dari kejar-kejaran di Venice hingga terbang bebas di udara bebas dengan melibatkan pesawat, berbagai adegan aksi ekspresif yang juga akan semakin membuat anda merasa tertarik bahkan terjebak bersama apa yang mereka lakukan berkat sokongan visual dengan kualitas 3D yang mumpuni.


Itu mengapa diawal ada kata memuaskan sesudah kata bodoh, karena Penguins of Madagascar sepertinya memang sengaja sejak awal tidak ingin memusingkan penontonnya dengan berbagai hal rumit pada narasi, ketika berakhir anda juga mungkin akan kesulitan menemukan point penting dari cerita yang banyak diterapkan film animasi sekarang ini, tapi setidaknya akan muncul kalimat “well, itu bagus.” Penguins of Madagascar menyenangkan karena ia punya karakter yang menyenangkan dan  menarik, dan itu terhitung cukup jika menilik ambisi awal mereka. Sedangkal itu? Ya, ini murni mengandalkan pesona dari empat penguin yang harus diakui sejak awal sudah sukses mencuri atensi, mereka punya pesona dibalik tingkah random yang mereka lakukan sehingga aksi konyol tidak jatuh menjadi menjengkelkan. Memang tidak semuanya bekerja dengan baik, tapi dengan kepadatan yang mereka peroleh kejenakaan yang hadir tidak buruk.

Ini seperti kombinasi antara The Lego Movie dan Big Hero 6, kecepatan narasi dari film pertama mereka bentuk dalam kualitas yang lebih kecil, dan para Penguins punya pesona seperti yang ditampilkan oleh Baymax dan Hiro yang juga hadir dalam kualitas yang lebih kecil. Dua hal itu dimanfaatkan dengan cermat, narasi dalam level oke, karakter dalam level good, lengkapi mereka aksi spy dipenuhi slapstick yang terus memberikan penonton ledakan-ledakan kecil yang mumpuni, kesan mentah yang mereka miliki akhirnya akan sulit terlihat bahkan mengganggu. Ya, sulit untuk tidak memaafkan kekurangan yang film ini miliki ketika disisi lain kita dijejali dengan mondar-mandir cepat yang penuh warna, humor non-stop yang tidak pernah berhenti berusaha meskipun ia sadar tidak semuanya akan berhasil menciptakan tawa, interaksi yang menarik dan menghasilkan rasa bebas dan santai yang mudah untuk di nikmati.


Divisi pengisi suara juga terbilang memiliki kontribusi yang besar pada kemampuan film ini tampil menyenangkan, mereka mampu menjadikan tiap karakter seolah hidup tapi juga terasa rapi dibalik kelakukan karakter sendiri yang cenderung acak. Tom McGrath, Chris Miller, Conrad Vernon, dan Christopher Knights seperti sudah sangat nyaman dengan karakter yang mereka pegang, tik-tok diantara empat karakter utama punya irama yang terhitung halus dan juga dinamis. Karakter pendukung tidak kalah menariknya, seperti John Malkovich yang mampu menjadikan karakter Dave terasa padat tapi kesan mencekam yang ia miliki juga tidak hilang, begitupula dengan Benedict Cumberbatch dan Ken Jeong mengingat pekerjaan sebagai pengisi suara sendiri bukan lagi sesuatu yang baru bagi mereka.


Overall, Penguins of Madagascar adalah film yang cukup memuaskan. Bergerak cepat dan tepat, penuh sesak dengan lelucon, punya karakter yang menyenangkan, punya alur cerita yang tidak buruk dan terbukti sanggup menjadikan cerita penuh warna seperti visual yang ia miliki, Penguins of Madagascar berhasil menjadikan hal-hal klasik yang ia gunakan memberikan petualangan menarik meskipun tidak segar, meskipun memang sulit unutk menjadikan ia sebagai kemasan yang memorable namun dengan durasi 92 menit yang singkat tanpa upaya menjadi tampak rumit, hal-hal bodoh dan konyol menjadi mudah untuk dimaafkan. Suprisingly not bad.






0 komentar :

Post a Comment