13 December 2014

Movie Review: Beyond the Memories (2013)


Film yang merupakan adaptasi dari bagian terakhir manga series berjudul Kiyoku Yawaku ini seperti sebuah kisah romansa yang terjebak didalam warna sendu yang ia gunakan sejak awal hingga akhir, terasa manis, terasa halus, terasa lembut, namun sayangnya dengan durasi sepanjang 127 menit apa yang ia berikan berada di bawah potensi awal miliknya yang sangat menjanjikan. Beyond the Memories (Kiyoku Yawaku), a (too) tender love story.

Kanna Seto (Masami Nagasawa) merupakan seorang gadis muda berusia 15 tahun yang mampu membuat sahabat dekatnya Kazue Haruta (Kengo Kora) menjadi pria yang selalu dipenuhi rasa ragu pada perasaan miliknya. Haruta jelas menyukai Kanna, namun disisi lain rasa ragu menjadikan hubungan diantara keduanya tidak punya sebuah kepastian yang jelas, selalu berada pada batas persahabatan. Kondisi tersebut otomatis memberikan kesempatan pada Tomomi Kawaguchi (Haru) dan Toshikuni Mayama (Aoi Nakamura). 

Empat remaja ini mulai akrab, namun ternyata Tomomi dan Mayama punya rasa suka pada Kanna dan Haruta, dan celakanya rasa suka itu kembali selalu tidak mencapai kepastian yang jelas, hingga suatu ketika sebuah masalah menghampiri mereka dan meninggalkan trauma yang sangat buruk. Hampir satu dekade kemudian Kanna ternyata masih terus dihantui oleh masalah tersebut, sampai suatu ketika ia bertemu dengan Roku Akazawa (Masaki Okada), pria yang juga sedang bertarung untuk lepas dari masalah pada masa lalu yang pernah ia alami.


Film yang menampilkan cerita dengan menggunakan dua masa yang berbeda seperti ini seolah punya sebuah kewajiban tunggal yang mutlak harus mereka penuhi, menjadikan dua bagian itu sama menariknya. Hal yang membuat Boyhood terasa menarik itu terasa kurang mampu di eksekusi dengan pas oleh Takehiko Shinjo, seperti ada yang tertinggal atau mungkin saja hilang ketika kita mulai menyaksikan Kanna versi dewasa berhadapan dengan masalahnya, banyak kenikmatan yang seolah hadir dengan seadanya di bagian kedua, tidak semua hal menarik ikut berpindah, meskipun memang interaksi antara Kanna dan Roku yang seolah memoles kembali materi klise dari sebuah romance juga terbukti masih memberikan sesuatu yang menarik.

Ya, tidak bisa dipungkiri mereka memang masih manis di paruh akhir tapi menilik apa yang dihadirkan bagian pembukanya film ini terasa mengalami kejatuhan yang cukup siginifikan. Ketika saya masih bermain-main dengan empat sahabat itu ada kesan sweet yang terus terpancar, tik-tok diantara mereka terasa pas baik itu pada cara Takehiko Shinjo menggambarkan situasi cinta diantara mereka hingga pemanfaatan momen yang tepat pada bagian komikal yang memberikan penonton tawa. Ada gejolak cinta kawula muda dengan mengandalkan konsep cinta segitiga yang sangat manis disini, dan itu memberikan dampak pada beberapa nilai minus yang mereka ciptakan, sebut saja alur yang terasa tidak sepenuhnya mulus dan tampak sengaja untuk menciptakan ruang bagi eksplorasi drama dan cinta.


Hal tersebut yang akan dengan mudahnya membuat penonton terjebak kedalam kehidupan empat sekawan itu, ada pengamatan yang menarik pada perkembangan hubungan diantara mereka yang dengan ketenangan minim ledakan yang akan semakin menambah kesan misterius. Penanganan Takehiko Shinjo yang sabar dan lembut juga memberikan dampak yang sangat besar, mereka bukan hanya berkembang pada sisi karakterisasi tapi juga pada pesona yang mereka miliki, hal yang sayangnya tidak terangkut sepenuhnya ketika sebuah kejutan itu hadir. Dampaknya tidak kecil, apa yang sebelumnya terasa manis dan menggemaskan itu justru secara mengejutkan berubah menjadi kisah love and hate yang bergerak tanpa memiliki pijakan yang meyakinkan, melayang-layang membawa penonton menyaksikan dua karakter bergulat dengan trauma mereka.

Pesona menjadi masalah terbesar disini, dua karakter utama seperti kurang mampu menjadikan masing-masing masalah yang mereka alami bukan hanya tampak menarik secara individual tapi juga membentuk kombinasi yang tepat ketika harus bersatu. Apakah itu penting masalah mereka harus bersatu dengan baik? Iya, penting, karena mereka punya koneksi pada bagaimana dua karakter ini saling menguatkan untuk saling membantu keluar dari kesedihan yang mereka alami, dan itu terasa kurang menarik. Tidak tercipta hubungan yang pas antara drama, romance, dan tragedy disini, dan itu memutar materi menarik diawal menjadi sesuatu yang biasa bahkan cenderung monoton, alur mondar-mandir yang kurang halus, kesan haunting dari kenangan yang mereka miliki juga tidak berhasil mencapai puncak.


Salah satu sisi positif dari babak kedua pada film ini mungkin adalah treat kepada penonton yang mengharapkan dapat terus menyaksikan aktor tampan dan cantik yang mereka sukai. Masami Nagasawa dan Masaki Okada seperti dimanfaatkan betul di bagian ini, dan itu semakin kuat dengan sokongan tone warna yang lembut pada visual, pemandangan yang menarik, serta alur yang tenang cenderung menghanyutkan. Sekali saja anda terjebak pada cengkeraman hal-hal tadi mungkin nilai negatif yang ia miliki pada pesona tadi dapat dimaafkan, apalagi kualitas akting yang kita peroleh tidak terhitung buruk. Memang minim pesona, tapi masih ada nyawa pada Kanna, Roku, serta karakter lain yang menjadikan kita bersedia menanti hingga akhir bagiamana itu semua akan berakhir.


Overall, Beyond the Memories (Kiyoku Yawaku) adalah film yang cukup memuaskan. Seperti sebuah kue dengan dua bagian yang memiliki perbedaan pada rasa dan kemampuan menjadikan konsumennya puas, babak pertama yang sangat menyenangkan ternyata tidak sepenuhnya berpindah ke babak kedua. Tidak buruk, tapi sesuatu yang potensial harus berubah menjadi sebuah petualangan yang menghanyutkan dengan kesan standard yang tidak memiliki pijakan sehingga pesan terkait kehilangan serta kekuatan cinta itu tidak tersampaikan dengan kuat di akhir cerita. Not bad.











0 komentar :

Post a Comment