09 November 2014

Review: Café. Waiting. Love (2014)


Tentu saja sesuatu yang wajar bagi seorang filmmaker yang menciptakan sebuah karya yang berhasil meraup keuntungan besar untuk kembali mencoba kesuksesan tersebut. Tiga tahun yang lalu Giddens Ko meraih kesuksesan besar lewat You Are the Apple of My Eye, dan kali ini ia kembali dengan materi dari novel keduanya. Tidak berada di kursi sutradara memang, dan hasil yang ia berikan juga tidak seperti kakaknya tersebut, tapi Café. Waiting. Love berhasil memberikan tontonan yang cukup menghibur dengan kisah cinta yang chessy dan konyol. 

Si-ying (Sung Yuhua) merupakan mahasiswa yang bekerja paruh waktu di Café. Waiting. Love, milik seorang wanita tomboy bernama A Bu-si (Megan Lai). Suatu ketika senior Si-ying, A-Tuo (Bruce Lu-Si Bu) datang ke café tersebut, tapi celakanya ternyata ia punya sebuah sejarah kelam dengan A Bu-si, yang juga menjadi penyebab dalam waktu singkat ia dan Si-ying menjadi teman akrab. A Bu-si perlahan menyukai Si-ying, namun ternyata hal tersebut tidak membuat kisah asmara mereka menjadi mudah, justru masuk kedalam mode menunggu. 



Saya mendapatkan apa yang saya inginkan dari seorang Giddens Ko disini, yang meskipun menyerahkan tanggung jawab mengarahkan cerita kepada Chin-Lin Chiang, tapi di bagian cerita sendiri ia memegang penuh kendali utama. Kisah cinta super klasik dan sederhana kembali hadir disini, hal yang juga akan mudah menarik perhatian penonton karena apa yang ia berikan dari novel keduanya ini juga kembali sangat mudah untuk dirasakan. Ya, masalah disini itu banyak kita temukan di dunia nyata, Budi menyukai Ani, tapi Ani justru menyukai Charlie, dan di tangan Chin-Lin Chiang hal-hal sentimental itu berhasil ia gunakan untuk mempertahankan atensi penontonnya, hingga akhir, terlebih dengan beberapa kejutan yang tampil tidak buruk itu. 



Apa yang menjadikan film dengan judul aneh ini terasa menarik karena karakter-karakter didalam cerita mampu membuat kisah dangkal itu tetap tampak menggemaskan. Dialog cheesy, tingkah-tingkah aneh dan konyol, mereka bekerja dengan baik, meskipun memang ada beberapa yang kelewat norak, tapi masih dapat dimaafkan. Hal lainnya adalah gambar-gambar yang manis, tidak murahan seperti ceritanya itu, begitupula dengan penampilan beberapa aktor yang terasa natural, chemistry yang terbangun mampu menjadikan hal klise itu memberikan sengatan yang membuat penontonnya tersenyum, mampu menjadikan kita merasa santai denga aksi mondar-mandir pada cerita yang bisa dibilang terasa cukup lambat, kurang dinamis. 


Tapi masalahnya film ini tidak punya campuran yang baik antara sisi serius dan sisi santai, tidak seperti You Are the Apple of My Eye. Sebagai sebuah film komedi ini mungkin saja akan terasa sangat menarik, tapi kisah cinta yang pada faktanya sejak awal menjadi jualan utama mereka itu seperti jadi anak tiri. Tidak membosankan memang, terutama dengan kehadiran humor yang terasa baik itu, tapi kisah cinta yang jadi pusat utama seperti kurang di eksplorasi, fungsi mereka lebih sering di set ke mode menunggu, menunggu bagiamana ini akan berakhir, bukannya melihat bagaimana mereka berkembang untuk mencapai akhir, tidak dibentuk dengan baik, sehingga akhirnya kisah cinta mereka itu seperti main-main belaka, terasa kurang serius. 



Mungkin kurang berhasilnya film ini untuk tampil sama baiknya seperti pendahulunya itu lakukan merupakan dampak dari ambisi Giddens Ko yang terlalu besar. Film ini mencoba memberikan banyak hal untuk mencuri perhatian penonton, sehingga mereka menjadi sibuk dengan hal-hal konyol tadi dan mengurangi fokus pada cerita cinta yang mereka bawa. Tidak buruk, komedinya oke, tapi sisi asmaranya lemah, sehingga Café. Waiting. Love kurang berhasil menjadi sebuah kombinasi yang manis antara suka dan duka, ia mampu membuat penonton terjebak dalam hal-hal santai, tapi kurang ketika berbicara materi serius tentang cinta.








0 komentar :

Post a Comment