12 November 2014

Review: The Best of Me (2014)


"You never forget your first love."

Misi yang dibawa oleh The Best of Me pada dasarnya mungkin baik, dimana ia seperti ingin mencoba menghadirkan kisah dari novel Nicholas Sparks ini kedalam bentuk penyajian yang sedikit berbeda, memberikan sentuhan kecil yang membuatnya berbeda jika dibandingkan dengan empat film adaptasi novel Nicholas Sparks (Dear John, The Last Song, The Lucky One, Safe Haven) yang selalu berputar-putar di template yang sangat identik. Sayangnya niat tersebut memberikan hantaman boomerang yang sangat besar bagi film ini.

Kematian teman mereka membuat Amanda Collier (Michelle Monaghan) dan Dawson Cole (James Marsden) kembali bertemu. Keduanya merupakan mantan kekasih, namun perpisahan selama dua dekade itu tidak mampu menahan ledakan asmara diantara mereka. Api cinta mereka ternyata masih menyala, terlebih dengan kembali hidupnya kenangan masa lalu ketika mereka masih remaja (Luke Bracey dan Liana Liberato). Namun ada yang berubah, hal-hal dari kehidupan dewasa yang rumit menghalangi upaya dari cinta mereka untuk kembali mekar.



Empat film yang saya sebutkan di bagian pembuka tadi punya satu kesamaan: memilih bermain aman pada pola yang standard. Hasilnya tidak begitu buruk, Dear John misalnya, saya juga tidak begitu merasa kecewa dengan Safe Heven, karena dibalik fakta dimana kita tahu bahwa mereka dangkal, bahkan sesekali menjadikan materi klise tampak bodoh, mereka punya pesona yang mampu membawa saya kedalam fantasi romansa mereka. Hal yang sangat penting itu absen di film ini, seolah ingin memanjakan penonton dengan berbagai romantisme yang simple tapi justru ternyata ia menyimpan sebuah ambisi yang sangat besar, ambisi yang sayangnya tidak punya penopang yang kuat untuk menjadikannya tampak memukau, justru sebaliknya, menjadi tampak konyol.



The Best of Me sebenarnya bisa menjadi hiburan sederhana yang menyenangkan, apresiasi juga sempat hadir ketika melihat penampilan para aktor (terutama karakter dewasa) yang tidak buruk jika mengingat materi yang mereka miliki pada dasarnya sangat miskin, tapi celakanya The Best of Me ingin lebih dari itu. Terlalu banyak hal-hal yang terjadi disini, bukan sesuatu yang buruk memang, tapi mereka seperti saling membunuh. Cerita yang ditulis oleh Will Fetters dan J. Mills Goodloe tidak mampu menyediakan materi yang baik, bahkan hasil kerja mereka dapat dikatakan buruk, dan itu ikut berpindah ke Michael Hoffman, mencoba membuat ini tampak rumit namun akhirnya jatuh menjadi drama romantis manipulatif yang bertele-tele dan menjengkelkan.



Hal yang paling menjengkelkan dari film ini adalah fakta bahwa ia punya ambisi yang besar untuk memberikan kejutan di bagian akhir tapi perjalanan menuju kesana tidak lebih dari sekedar copy and paste dari empat film diatas tadi. Unsur romantis dan melodramatis yang ia miliki tidak klik dengan baik, hal yang sama juga terjadi pada urutan kilas balik, mencoba memberikan detail tapi malah menjadi sumber rasa bosan. Dramatisasi yang ia miliki juga seperti tidak ditempatkan dengan baik, manipulasi yang ia lakukan kurang cermat, ada bagian yang seharusnya mendapat perhatian lebih tapi diabaikan, tapi ada juga yang kurang penting tapi diperdalam, seperti konflik antara Dawson dan ayahnya itu. Jadi jika kamu perlahan merasa kehilangan ketertarikan atau rasa peduli pada karakter, kesalahan bukan di kamu, tapi pada script dipenuhi dialog cheesy yang tidak efektif dan tidak cermat.



Jika penulis dan sutradara dapat sedikit saja menaruh perhatian mereka pada proses ketimbang menaruh seluruh fokus pada upaya agar akhir cerita tampak megah, The Best of Me dapat berada di level yang sama dengan Safe Haven, kisah romantis dan melodramatis yang sederhana dan efektif, bukannya justru mencoba tampil berbeda dengan berbagai penceritaan liar yang berlebihan namun harus berakhir menggelikan.







0 komentar :

Post a Comment