15 October 2014

Movie Review: Elegant Lies (Thread of Lies) (2014)


"Are you a murderer in the making?"

Penyesalan memang memiliki tugas untuk hadir belakangan, ia tidak pernah hadir sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Itu mengapa kita selalu mengatakan hidup hanya sekali maka lakukan yang terbaik yang kamu bisa lakukan, cermat dan berhati-hati dalam bersikap karena terkadang hal kecil dapat memberikan dampak buruk dan rasa sesal yang sangat besar, your ignorant act can destroy you, your cruel words can kill you. Hal tersebut hadir di film ini, dari keluarga hingga persahabatan, Elegant Lies (Thread of Lies), an elegant tearjerker with a lovely story construction.

Ketika ia sedang asyik dengan penuh ketelitian menyetrika seragam sekolah miliknya, Cheon-ji (Kim Hyang-gi) tiba-tiba dikagetkan oleh kakak perempuannya yang datang meraih seragam sekolahnya yang belum ia setrika, memakainya dengan santai sembari berkata baju tersebut akan kusut kembali satu jam kemudian. Man-ji (Go Ah-sung) memang memiliki kepribadian yang berbeda dari adik perempuannya tersebut, ia bukan tipe anak manis, pendiam, dan penurut seperti Cheon-ji, sikap angkuh dan keras yang kerap menjadi pertanyaan mengganggu bagi ibu mereka, Hyun-sook (Kim Hee-ae). 

Namun Man-ji merupakan seorang kakak yang supportif, ia bahkan mendesak ibunya untuk memenuhi permintaan Cheon-ji meskipun kondisi ekonomi mereka sedang sulit. Pagi itu ketika sedang sarapan Cheon-ji mengajukan sebuah permintaan kepada ibunya, hal yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Sebagai hadiah bagi ulang tahunnya bulan depan, gadis muda yang introvert itu meninginkan sebuah MP3 player, yang ditolak oleh ibunya. Ternyata itu menjadi permintaan terakhir Cheon-ji, karena setelah itu sesuatu yang sangat buruk terjadi, Cheon-ji bunuh diri didalam kamarnya, tragedi tanpa masalah yang jelas, yang menciptakan pertanyaan dan masalah bagi orang-orang yang ia tinggalkan.


Tenang, isu bunuh diri yang tercantum pada sinopsis diatas tadi tidak akan merusak kenikmatan film ini sama sekali, ia hadir sangat awal, malah hal tersebut memiliki kontribusi yang sangat besar pada berbagai kenikmatan yang film ini akan hadirkan berikutnya secara bertahap itu. Lee Han sangat cerdik di elemen ini, sejak awal kisah yang ia bentuk ulang bersama Lee Sook-Yun dari novel karya Kim Ryeo-Ryeong itu sukses mencengkeram penontonnya, kita tahu ada  aksi bunuh diri, ada sesuatu yang benar-benar buruk telah terjadi, dan dari sana kita akan berpikir tidak ada lagi hal-hal yang lebih buruk dari itu yang akan hadir selanjutnya. Boom, salah besar, dan seperti gulungan benang wol dengan sebuah kertas di bagian tengah itu kita diajak untuk berjalan bersama rasa penasaran dan menemukan kejutan dengan bertumpukan pada masalah mental yang jauh lebih kompleks.

Itu adalah alasan mengapa setelah ia berakhir anda akan terkejut bahwa anda baru saja menghabiskan dua jam bersama drama yang dari luar tampak sangat sederhana ini, karena didalamnya hadir sebuah dramatisasi penuh kerumitan yang menyenangkan. Penceritaan yang rapi dan nakal menjadi faktor terkuat, narasi yang berisikan unsur drama, misteri, family, bahkan sedikit rasa horor itu ditenun dengan manis, punya komposisi yang seolah tahu bagaimana mempermainkan rasa penasaran penonton dengan cara yang tepat tanpa harus mengorbankan kuantitas dan kualitas terkait sensitifitas dari cerita dan karakter. Sesuai dengan judulnya, semua dibentuk dengan cara yang elegan, eksplorasi terkait isu bullying yang disandingkan bersama semangat dalam hidup, manipulasi perasaan yang bukan hanya seimbang tapi juga efektif.


Ya, efektif, Lee Han tahu bagaimana cara menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan. Pesan tentang perjuangan pasca tragedi berhasil ia jaga untuk terus terasa ringan namun juga memiliki kedalaman yang mumpuni, ia menyentuh penonton dengan konflik utama tapi menghindarkan mereka dari kondisi yang terlalu mellow, dan ketika secara bertahap kita mempelajari lebih jauh segala hal yang tersembunyi dari kematian tersebut ada shock yang asyik dan semakin memperdalam rasa sedih dan sakit tadi. Kekerasan dan kekejaman yang digambarkan dengan dingin selalu mampu memberikan hook yang lebih kuat ketika mereka digambarkan dengan berbagai ledakan besar dan ekstrim, dan Elegant Lies meraih keuntungan besar dari sana, permainan hitam dan putih yang ditangani dengan bijak, bahkan  meskipun sesekali menyuntikkan humor kecil ia tetap terus mengintimidasi.

Pesan moral terkait rasa sayang terhadap orang-orang yang kita sayangi sebelum mereka pergi meninggalkan kita itu mungkin tidak hadir dalam kualitas yang benar-benar kuat, tapi “permainan” yang tercipta dari sana itu mampu menutupi nilai minus kecil tersebut. Itu karena Elegant Lies terasa seperti sebuah fruit punch, campuran dari berbagai rasa yang rumit tapi tetap enak, beberapa diantara mereka sesekali terasa menyengat dan mencoba mengganggu, tapi tetap tidak keluar dari irama yang halus. Sangat suka pula dengan karakter yang baik itu hitam dan putih mampu menarik simpati, dibuat kesal dengan protagonist, dan merasa empati dengan antagonis, sehingga isu yang kompleks itu tidak terkesan menghakimi, mereka disokong dengan dialog tajam dalam naskah non-linear berisikan kilas balik maju dan mundur yang tersusun dengan cermat, cerdik, dan licik.


Namun dibalik sisi teknis yang meskipun terkesan liar tapi terbangun dengan kokoh itu, divisi akting punya kontribusi yang tidak kalah besarnya dalam keberhasilan Elegant Lies menjadi sebuah melodrama yang tidak murahan. Di comeback layar lebar setelah dua dekade menghilang, Kim Hee-ae punya pesona dalam percampuran antara rasa bingung dan semangat untuk move on. Namun yang mengejutkan adalah para pemain muda seperti tidak pernah berhenti mencuri panggung utama, Kim Yoo-jung punya kesan manipulatif yang terbentuk dengan baik, Go Ah-sung berhasil menunjukkan penderitaan yang dimiliki oleh karakternya meskipun  terasa kurang stabil, hingga Kim Hyang-gi yang disetiap kehadiran karakternya mampu menjadi alarm terkait konflik utama. Pemeran minor seperti Yoo Ah-In, Chun Woo-Hee, dan Yoo Yeon-Mi juga punya kontribusi yang positif.


Overall, Elegant Lies/Thread of Lies (Wooahan Geojitmal) adalah film yang memuaskan. Dimulai dengan sebuah kejutan besar diawal, film ini tidak pernah berhenti memberikan kejutan menarik lainnya yang disuntikkan secara bertahap dalam permainan emosi bersama narasi non-linear ala detektif yang terbentuk dengan manis, transisi yang presisi, kerumitan menyenangkan bersama sebuah konflik sederhana, liar namun tetap terkontrol, penuh warna tapi tetap seimbang, Elegant Lies berhasil menyenangkan penontonnya dengan cara yang pintar, cermat, cerdik, licik, dan tentu saja, elegan. Segmented. 






3 comments :

  1. jadi, si cheon ji ini bunuh diri karena siapa ya? masih bingung sam atuuan dia bunuh diri, apa karena di bully saja? dan siapa yang salah disini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cheon-ji bunuh diri karena depresi/tekanan mental (termasuk bully) yang kumulatif dan akhirnya meledak. Penyebabnya berasal dari lingkungan sekitar Cheon ji. :)

      Delete
  2. Baru sempat nonton film ini sekarang. Dan langsung mampir kesini untuk membandingkan review kamu sama pendapat saya hehe nerd banget ya. Setuju semua dr awal sampai akhir, film ini memang bagus banget teknisnya. Tapi kebetulan di aku ada sisi personalnya jadi aku mau ngasih nilai 9/10 deh :)

    ReplyDelete