31 October 2014

Movie Review: The Disappearance of Eleanor Rigby (2014)


“There's only one heart in this body, have mercy on me.”

Cinta tidak hanya dapat mengubah kehidupan seseorang dari yang tadinya kusam menjadi berwarna, gelora asmara yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, tapi cinta juga dapat melakukan hal sebaliknya, ia dapat mengubah kehidupan yang indah tadi menjadi kusam, dipenuhi beban dan tekanan yang akan terus menghantui jika tidak dapat diatasi. Film ini membawa kekuatan positif dan negatif dari cinta dalam kehidupan manusia, The Disappearance of Eleanor Rigby, a beauty messy story about love and hesitancy. 

Calon pengusaha restoran bernama Conor Ludlow (James McAvoy), serta mahasiswa pascasarjana bernama Eleanor Rigby (Jessica Chastain) mungkin adalah pasangan kekasih yang menjadi idaman banyak orang. Gelora cinta diantara mereka terpancar dari ekspresi dan sorotan mata, dan celakanya mereka seperti menjalani kehidupan asmara tadi seperti dua sahabat berjiwa bebas yang senang melakukan hal-hal gila. Namun sebuah tragedi yang memilukan justru menghancurkan pasangan yang sebelumnya bahkan dapat menjadi penggambaran bagaimana dua manusia dapat bahagia selamanya dengan cinta ini. Eleanor Rigby berusaha mengakhiri hidupnya, dan dari sana ia menghilang dari pandangan Conor. 

Setelah tragedi tersebut Eleanor Rigby berada dibawah pantauan keluarganya, Julian (William Hurt) dan Mary (Isabelle Huppert), serta adiknya Katy (Jess Weixler). Tujuan utamanya hanya satu, mencoba lepas dari masa lalu kelam dan membangun kembali kehidupan yang baru, bahkan ia mencoba kembali ke bangku kuliah di bawah bimbingan Professor Lillian Friedman (Viola Davis). Namun hal yang Eleanor Rigby dan keluarganya takutkan terjadi, wanita itu kembali bertemu Conor, tapi tidak seperti kehidupan mereka yang dulu, kini keduanya dihadapkan pada sebuah tantangan yang jauh lebih berat yang harus mereka selesaikan.


Pada awalnya sempat hadir rasa pesimis dari film yang ditulis dan dikendalikan oleh Ned Benson ini, karena faktanya bersama durasi 119 menit film dengan judul asli The Disappearance of Eleanor Rigby: Them ini merupakan penggabungan dua film terpisah dari masing-masing karakter (yang belum saya tonton). Masalahnya dimana? Jawabannya mungkin terletak pada fokus point of view terhadap tragedi pada konflik utama, rasa khawatir jika dua karakter yang masing-masing berdiri sendiri di satu film itu kemudian akan saling bunuh ketika mereka harus bergabung dan berbagi ruang di dalam satu film. Contoh sederhananya sebut saja durasi, versi Him punya 89 menit, dan versi Her berjalan selama 100 menit, total ada 189 menit yang juga menandakan ada 70 menit yang hilang dari petualangan mereka untuk keluar dari derita kehidupan terkait cinta itu.

Hal tersebut pula yang menjadikan The Disappearance of Eleanor Rigby mengalami hal seperti salah satu suku kata pada judul yang ia miliki itu: menghilang. Seperti ada yang hilang dari film ini sepanjang ia berjalan, konsep happily ever after dari cinta yang coba digabungkan dengan proses healing dari luka mendalam dimasa lalu itu kurang berhasil memberikan penceritaan yang bergelora. Materi seperti dibiarkan untuk bergerak liar dipikiran penonton oleh Ned Benson, beberapa bahkan terasa mentah dan menuntut penonton untuk kembali memasak mereka, dan itu akan semakin kacau karena disisi lain ia seolah hanya membuat sebuah set agar penonton dapat menelisik dan mengamati pertumbuhan karakter yang sejak awal bahkan hanya dibekali materi sederhana, mereka pernah hidup sangat bahagia, kemudian hancur, terpisah, dan kini mencoba untuk kembali bersama.


Dramatisasi adalah kelemahan utama film ini, rasa frustasi dari karakter yang dibiarkan terus jatuh lebih dalam dan mungkin akan berpindah pada penontonnya. The Disappearance of Eleanor Rigby punya misteri pada emosi dua karater utamanya, tapi tidak dihadirkan dalam permainan cerita penuh liku-liku, memilih berjalan lurus bersama beberapa kilas balik sederhana dan pengulangan mondar-mandir disengaja, itu dibalut dalam setting dingin yang terus konsisten hadir hingga akhir. Namun yang menarik adalah dibalik kesan kusam ketika ia mewarnai cerita, transisi dan pergeseran fokus yang tidak selalu mulus, film ini justru punya pusat yang sangat kuat, daya tarik isu terkait cinta, relationship, bahkan pernikahan itu tidak pernah hilang, dan kehadiran beberapa petunjuk kecil sepanjang ia berjalan menjadikan rasa penasaran di bagian akhir anehnya muncul dalam kuantitas yang sangat besar.

Ya, ketika ia berakhir sempat berpikir yang baru saja saya saksikan adalah kisah cinta yang muram dan kusam, tapi disisi lain seperti ada yang tertinggal, seperti ada yang belum terselesaikan. Kesempatan kedua diberikan (hal yang sangat jarang saya lakukan), dan nilai minus diawal tadi yang awalnya sangat mengganggu perlahan tidak lagi menjadi masalah yang berarti, dan The Disappearance of Eleanor Rigby berubah dari sebuah kisah cinta aneh dan tidak punya motivasi menjadi penggambaran yang kuat terkait dampak cinta pada kehidupan manusia. Ini adalah interpretasi yang mentah namun tulus tentang tragedi dan harapan, mungkin mengarahkan penonton pada pertanyaan siapa yang salah dan siapa yang benar, namun faktanya ia hanya ingin memberikan anda sebuah penggambaran menyakitkan dari kehancuran cinta, yang mungkin akan menguatkan bahkan membuat anda yang belum menikah menjadi cemas dengan yang namanya pernikahan.


Formula yang dipakai oleh The Disappearance of Eleanor Rigby sebenarnya sama seperti Before Midnight, marriage survival, tapi jika Before Midnight bermain dengan isu utama dan mewarnai dengan isu kecil, film ini justru sebaliknya, isu kecil untuk membentuk isu utama. Dua karakter berjuang untuk kisah cinta mereka, mencoba membangun kembali “kisah” yang telah hilang dengan mencoba menyembuhkan diri sendiri dan pasangan. Hal menakutkan dari cinta ada disini, sebuah luka dalam dan sulit disembuhkan yang kerap menghalangi kita untuk mendapatkan kembali cinta itu, hingga konsep membiarkan pergi cinta itu untuk kelak kembali kepada kita ketika ia telah kembali kuat. Berbagai pesan yang kuat dan indah itu yang membuat film ini terasa special, dan itu cukup untuk menutupi penceritaan yang meskipun terasa berani tetap tidak terasa inovatif, dan tidak special.

Pesan yang ia bawa akan dikenang lama, teknik penceritaan yang ia berikan mungkin akan mudah dilupakan, tapi kinerja dari divisi akting akan berdiri di sisi yang sama dengan pesan tadi, mereka memorable. Pemeran pendukung seperti Bill Hader, Viola Davis, dan Isabelle Huppert secara mengejutkan memberikan penampilan yang mumpuni, mereka berhasil membantu dua karakter utama untuk berkembang. James McAvoy mungkin menderita dampak dari penggabungan dua cerita, karakternya sering tidak stabil, ketika berdiri sendiri hanya tatapan matanya yang kuat sedangkan emosi kurang, namun itu tidak terjadi ketika ia satu frame dengan Jessica Chastain, chemistry mereka kuat dan manis. Chastain sendiri sukses menjadi bintang, ada gejolak batin didalam Eleanor, kompleksitas yang pas dalam memberikan kesan terluka serta upaya untuk move on. Andai saja bunga-bunga asmara mereka mendapatkan porsi yang sedikit lebih besar.


Overall, The Disappearance of Eleanor Rigby adalah film yang cukup memuaskan. Mungkin bukan merupakan film yang akan memberikan kesan kuat dalam sekali tonton, karena keputusan berani Ned Benson di berbagai sektor mungkin akan menjadikan film ini sebagai sebuah studi karakter yang terlalu liar dan kurang bersemangat. Ia perlu ditelisik jauh lebih dalam, karena hal-hal indah, menakutkan, dan menarik tentang cinta dan pernikahan itu seperti tersembunyi sepanjang cerita, perjuangan cinta dari sebuah hubungan yang telah terluka, kekuatan positif dan negatif dari cinta dalam kehidupan manusia. Segmented.







0 komentar :

Post a Comment