21 September 2014

Movie Review: Ida (2013)


Tahukah anda bahwa salah satu dari sekian banyak cara untuk meraih kebahagiaan adalah dengan memiliki pola pikir terbuka? Ya, karena banyak diantara kita hidup dalam sebuah pola dimana kita merasa nyaman dan aman dengan apa yang telah kita yakini, dan kemudian menolak untuk keluar dari pola tersebut karena merasa takut tidak akan memperoleh hal positif yang sama, bersedia “terpenjara” meskipun sadar kita tidak sepenuhnya merasa bahagia. Ida, keep your eyes and mind open, maximize your sense and focus, it’ll haunt you. An adorable art.

Seorang biarawati muda bernama Anna (Agata Trzebuchowska) bersama dengan beberapa temannya tengah bersiap menyambut prosesi dimana mereka akan diambil sumpahnya untuk bergabung dengan biara yang telah membesarkannya sejak kecil itu. Anna datang kesana sebagai bayi yatim piatu yang menjadi korban perang dunia kedua, tapi fakta tersebut juga yang memberikan sebuah kejutan besar kepadanya, ketika kepala biara memberitahu Anna bahwa ia punya seorang bibi yang pernah bertukar pesan melalui surat dengannya.

Anna diberikan kesempatan untuk bertemu dengan wanita tersebut, Wanda (Agata Kulesza), yang celakanya justru punya kehidupan yang bertolak belakang dengannya, wanita duniawi yang juga menjadi pintu masuk bagi Anna kedalam dunia yang selama ini tidak ia kenal, keluar dari segala gejolak batin lewat berbagai fakta mengejutkan lainnya, dari yang terkait dengan Yahudi, seorang musisi berwajah tampan (Joanna Kulig), bersama dengan misteri terkait kematian orangtuanya. 



Mengatakan ini bukan berarti menandakan saya menganggap rendah peran agama atau berbagai ajaran lainnya didalam kehidupan kita, karena faktanya sangat banyak wahyu atau aturan main yang mereka berikan dapat menjadi penuntun bagi manusia untuk jauh dari jurang kegelapan, tapi dilain sisi saya benci dengan orang-orang yang justru menjadikan hal-hal tersebut sebagai sebuah patokan tak terbantahkan yang pada akhirnya justru membawa keburukan bagi mereka. Itu mengapa kisah yang ditulis oleh Paweł Pawlikowski bersama Rebecca Lenkiewicz ini terasa indah, dengan cara yang sederhana namun berkualitas ia seperti meninju penonton dengan sebuah fakta bahwa manusia sering kali menjadikan kehidupan mereka seperti terpenjara bersama hal-hal yang sesungguhnya tidak membuat mereka bahagia.

Ya, terkadang rasa takut untuk keluar dan mencoba hal yang baru menjadi faktor yang membuat manusia tidak berhasil meraih rasa bahagia, sikap menolak untuk terbuka dan kemudian meraih pengalaman baru bersama hal-hal yang lebih luas dan lebih memilih untuk berpegang teguh pada apa yang faktanya sering memberikan mereka gejolak batin yang melelahkan. Disini mereka digambarkan dengan manis dan lembut, berawal dari isu antisemitisme kita akan diberikan pertarungan saling menyelamatkan yang implisit antara slut dan saint, bermain-main bersama kasih, rasa sakit, hingga tragedi dengan satu orang baik dan satu orang jahat yang pada dasarnya sama-sama sedang berada dalam kondisi yang rusak, sedang bertarung dengan diri mereka sendiri namun memilih bertahan ketimbang keluar dan menghindar.


Dari durasi yang hanya 80 menit, hanya menggunakan dua karakter yang juga ditempatkan didalam tampilan hitam dan putih, Paweł Pawlikowski seperti ingin agar kesederhanaan menjadi kunci dalam menggambarkan hal-hal yang disebutkan diatas tadi, proses pencarian jati diri yang mengandalkan efektifitas dan efisiensi dari semua elemen pembentuk sebuah film. Saya bahkan terkejut dengan peran musik didalam cerita, lantunan jazz yang sukses menebar kesan freedom dan seksi serta memberikan kontribusi yang sangat pas bagi salah satu pengalaman visual paling menyenangkan di tahun ini, gambar-gambar sederhana yang penuh dengan kompleksitas yang mampu mengundang senyuman, dikemas dengan pendekatan yang tidak overdo dan konsisten memberikan kesan haunting pada petualangan yang bisa saja terkesan mondar-mandir tanpa tujuan ini.

Suatu yang tidak mengejutkan jika ada penonton yang menganggap Ida sebagai sebuah hiburan kosong tanpa makna, karena Ida memang tidak diciptakan untuk mengajak penonton untuk berjalan bersama pertanyaan dan kemudian menemukan sebuah jawaban di akhir cerita. Ia bergerak lambat, bahkan terkadang hadir momen statis, tapi mengapa ia tampak menarik karena dibalik ketenangan yang mendominasi itu ada sebuah permasalahan yang kuat dengan kuantitas dan kualitas yang presisi, ditemani dengan sinematografi yang manis diajak untuk mengamati karakter yang terus berperang didalam diri mereka bersama pertanyaan batin yang terus membelenggu dan mencoba keluar, sebuah kepedihan yang terbentuk indah tanpa ikut serta sebuah dramatisasi oktan tinggi didalamnya.


Lantas apa kekurangan dari Ida? Jawabannya mungkin kurang tajam dibagian akhir. Ia halus, ia digali dengan cermat, ia bahkan mampu menjadi sebuah film meditasi tanpa harus terasa seperti hiburan kontemplatif tingkat tinggi yang membosankan, itu berkat bantuan berbagai elemen seperti akting yang ekspresif dan visual yang terus menyibukkan mata, tapi anehnya ketika ia berakhir saya menginginkan sesuatu yang lebih kuat di bagian akhir. Ya, terasa subjektif memang, dimana setelah menyaksikan ledakan-ledakan skala kecil yang mengandalkan polemik dari masa lalu karakter yang ia sebar dengan manis di sepanjang penceritaan itu tidak dibungkus dengan penutup yang benar-benar kuat, sebuah penutup yang mampu membuat penonton mengatakan “oke, itu manis, itu cukup,” tidak peduli ia memberikan konklusi ataupun ditinggalkan menggantung.

Hal tadi tidak bisa dikatakan sebagai sebuah minus sebenarnya, hanya sebuah rasa yang mengganjal yang sesungguhnya tidak punya power yang besar, terlebih jika anda telah tenggelam bersama dua karakter utama yang dimainkan dengan baik oleh Agata Kulesza dan Agata Trzebuchowska. Chemistry yang mereka bangun terasa manis, hubungan bibi dan keponakan itu tidak perlu waktu lama mampu berdiri kuat di pusat cerita, dan dari sisi performa individu mereka juga memberikan sesuatu yang sama baiknya. Kulesza menjadikan wanda seperti setan yang ingin anda tolong, karena pada dasarnya ia juga ingin menolong keponakannya. Dan Agata Trzebuchowska adalah bintangnya, terus tampil dengan ekspresi tenang tapi rasa terguncang, rasa takut, hingga rasa penasaran terbentuk dengan cerdas.



Overall, Ida adalah film yang memuaskan. Ida ibarat sebuah media dimana Paweł Pawlikowski memberikan kumpulan materi yang kuat tapi ia kemas dengan setengah matang, kemudian menuntut penonton untuk mematangkannya, karena ketika ia telah matang ada sebuah petualangan sinematik yang sederhana dan manis bagi mereka, kisah tentang manusia yang selama ini terpenjara didalam dirinya dan mencoba menyelamatkan dirinya sendiri, ditemani dengan permainan teka-teki serta kepedihan yang penuh pesona, dan hal terakhir itu yang menjadi alasan mengapa ia terasa manis dibalik kesederhanaannya. So, are you a prisoner in your own prison? Segmented. 






0 komentar :

Post a Comment