24 August 2014

Review: The Giver (2014)


"When people have the power to choose, they choose wrong."

Berbicara potensi film ini punya peluang yang cukup besar untuk menjadi sensasi baru di kelompok young-adult pada dunia perfilman, selain karena materinya yang dianggap sebagai nenek moyang The Hunger Games, Divergent, dan lain-lain itu telah menjadi reading lists di middle school USA, Kanada, hingga Australia, tapi juga sedang booming-nya kesuksesan dari film dengan tema young-adult juga jelas layak untuk di coba. Namun meskipun punya Jeff Bridges, Meryl Streep, Katie Holmes, hingga Taylor Swift, The Giver hanya terasa seperti sebuah usaha setengah hati.    

Pria muda bernama Jonas (Brenton Thwaites) terkejut ketika ia ditunjuk menjadi the Receiver berikutnya, satu-satunya sosok yang akan mengingat semua memori yang sebelumnya pernah terjadi di The Community ketika mereka memutuskan untuk menghapus semua yang pernah terjadi dari ingatan mereka. Dibawah bimbingan receiver terkini, The Giver (Jeff Bridges), Jonas dilatih untuk kelak dapat terlibat dalam keputusan yang diambil pemerintahan yang dipimpin oleh The Chief Elder (Meryl Streep), tapi proses belajar itu pula yang membuka mata Jonas pada sejarah kelam, sadar pekerjaan itu berbahaya, dan berupaya untuk bergerak lebih jauh. 

Tentu menarik ya ketika kita tahu bahwa novel karya Lois Lowry ini merupakan bagian dari pendidikan di negara-negara yang disebutkan tadi, yang sederhana dapat menunjukkan betapa pentingnya materi yang dimiliki oleh novel tersebut. Sayangnya Phillip Noyce sebagai sutradara, serta Michael Mitnick dan Robert B. Weide di bagian screenplay seolah merusak daya tarik tadi. Apa yang saya rasakan ketika menyaksikan film ini seperti kombinasi antara  Magic in the Moonlight dan juga Lucy, hiburan yang bingung cara menyatukan dua misi yang ia bawa, menjadi film yang memberikan pesan kuat penuh makna, atau justru sekedar petualangan bersenang-senang yang ringan.

Itu dia masalah terbesar dari The Giver, ia seperti upaya kepahlawanan yang berjalan pincang. Kita seperti dipengaruhi dan diajak untuk menyoroti masalah dari rekayasa sosial itu, potensi permasalahan yang mungkin terjadi di masa depan, hal yang jujur saja sudah terasa umum dengan keberadaan film-film young-adult dystopian yang telah beredar. Disisi lain mereka juga seolah ingin agar tidak kehilangan unsur blockbuster didalamnya, adegan aksi dalam plot yang bergerak lamban. Kedua hal tadi tidak mampu disatukan dengan baik, hasilnya meskipun punya kualitas akting tidak begitu buruk, ide-ide menarik itu lebih banyak hilang bersama dialog-dialog hampir mengerikan. 

Bagi mereka yang telah membaca novelnya mungkin bisa merasakan sesuatu yang menarik dari film ini, tapi sebagai penonton non-reader saya cukup sering mendapatkan momen membosankan. Hal menarik mungkin dari teknik visual dengan penggunaan dalam penerapan warna, tapi disamping itu apa yang mereka ciptakan tidak mampu menjadi sebuah arena untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan, sering banget bergerak terburu-buru, karakterisasi lemah yang tidak mampu menunjang dramatisasi terlebih pada romansa, serta plot yang kurang liar untuk memberikan petualangan yang menyenangkan. 

Tidak masalah memang untuk meniru apa yang orang lain telah lakukan, tapi akan terasa memalukan jika mereka tidak mampu membangun ulang dengan formula yang sama untuk mencoba meraih hasil yang jangankan dapat menjadi lebih baik untuk bisa menjadi sama baiknya atau sekedar mendekati kualitas apa yang ditiru tadi saja mereka tidak bisa. Kurang bernyawa, monoton, kurang semangat, The Giver terasa seperti Divergent 2.0, atau mungkin sebaliknya.






0 komentar :

Post a Comment