31 August 2014

Movie Review: The Admiral: Roaring Currents (2014)


"If a man desire to life, he will surely die, but if he fights to the death, then he will surely live"

Bisa dikatakan ini merupakan salah satu film di tahun 2014 dengan hype yang sangat besar menjelang rilis. Wajar memang jika menilik dua pemeran utama miliknya yang sangat menjanjikan itu, terlebih dengan dibantu cerita yang diambil dari salah kisah penting bagi eksistensi bangsa Korea, faktor di balik keberhasilannya meraih posisi tertinggi sebagai the most-watched film of all time di Korea mengalahkan The Host, serta the biggest grossing movie in Korea dengan mengalahkan Avatar. The Admiral: Roaring Currents (Myeongryang), very important movie for Korean.

Empat abad yang lalu tepatnya pada tahun 1597, setelah sempat ditahan karena sikap yang ia tunjukkan dinilai melawan perintah dari raja, komandan militer yang sangat dihormati bernama Yi Sun-sin (Choi Min-sik) kembali ditugaskan untuk memimpin angkatan laut Dinasti Joseon. Penyebabnya adalah kondisi darurat dimana Jepang dibawah komando Kurushima Michifusa (Ryu Seung-ryong) dan Wakisaka Yasuharu (Cho Jin-woong) berniat melancarkan invasi kedua mereka dengan berupaya menduduki pantai milik Dinasti Joseon.

Masalah besar bagi Dinasti Joseon tersebut ternyata tidak hanya datang dari kubu musuh, karena setelah mengalami kekalahan telak di Pertempuran Chilchonryang armada angkatan laut milik mereka telah hancur berantakan. Hanya 12 kapal yang tersisa dari perang tersebut, jumlah yang kalah telak jika dibandingkan dengan 330 kapal milik pasukan Jepang, hal yang kemudian menciptakan sikap putus asa dipenuhi rasa takut, serta opsi untuk menyerah karena kesempatan yang sangat kecil untuk menang di medan pertempuran. Namun Yi Sun-sin tetap teguh pada sikapnya, menolak menyerah untuk kalah sebelum berperang.


Beberapa fakta terbaru di paragraf pembuka tadi sebenarnya bukanlah sebuah kejutan yang besar bagi saya karena sejak awal film ini pada dasarnya telah memiliki kemampuan yang sangat mudah untuk mencuri atensi dan minat penonton, bahkan imo jika harus mengesampingkan faktor dari kisah sejarah penting yang ia bawa dengan bersenjatakan Choi Min-sik dan Ryu Seung-ryong (dua aktor yang menjadi bagian dari bankable movie actor di Korea) di posisi terdepan jajaran cast tidak diragukan lagi akan sangat mudah bagi masyarakat Korea untuk bersedia menyisihkan sedikit waktu mereka bagi film ini di dalam cinema. Lantas apa masalahnya? Masalahnya terletak pada hype yang mereka hasilkan.

Saya terjebak di dalam hype tersebut, dua pemeran utama yang menjanjikan, semakin heboh dengan keberhasilan meraih 16 juta penonton dalam negeri, ekspektasi semakin tinggi yang sayangnya tidak berhasil terpenuhi. Ya, ini memuaskan, namun tidak mencapai apa yang saya harapkan, dengan penyebab utama berasal dari terbaginya film menjadi dua bagian yang celakanya tidak tampil sama menariknya. Kisah yang dibentuk kembali oleh sutradara Kim Han-min bersama dengan Jeon Cheol-hong ini ternyata bukan merupakan sebuah pencampuran dari action dengan drama secara beriringan dengan menggunakan gesekan tingkat tinggi seperti yang ditampilkan oleh trailer miliknya, karena Roaring Currents justru mengajak penontonnya untuk terjebak, menunggu, dan berpesta.

Bukan sebuah skema yang salah memang, tapi sebelum mencapai peperangan yang menyenangkan di bagian akhir itu kisah terbangun dengan cara yang kurang menyenangkan. Paruh pertama cukup monoton, bahkan dapat dikatakan cukup canggung dengan dramatisasi terkait berbagai keputusan buruk yang dilakukan oleh banyak karakter dengan berisikan upaya menampilkan sisi kepahlawanan, martabat, hingga loyalitas yang dibalut bersama rasa takut dan putus asa. Bahkan salah satu hal taboo ketika menonton film muncul disini, berulang kali mengecek jam tangan, karena pada bagian ini cerita seperti terbebani, seolah ingin tampak rumit yang akhirnya tidak menciptakan dinamika yang lembut dan cenderung terseret.


Itu yang mengecewakan, karena dampaknya kesan penting dari point utama terkait sikap pantang menyerah itu pada akhirnya tidak tampil sangat kuat ketika ia mencapai garis finish. Kim Han-min seperti ingin agar peran dari hal-hal kecil dari intrik hingga hal implisit seperti strategi menggunakan arus air laut itu mampu memperkuat penceritaan, tapi celakanya keputusan itu yang menjadikan narasi tampak terlalu sibuk dan terasa kurang fokus, hal yang menyebabkan memudarnya potensi Roaring Currents untuk tidak hanya sekedar menjadi sebuah film peperangan yang familiar, namun juga karakter menarik yang mampu memberikan dramatisasi mumpuni untuk mengaduk-aduk emosi penontonnya. Itu tidak ada, hasil dari karakterisasi dan jalinan konflik yang kurang dalam sehingga daya tarik mereka tidak berhasil terbangun dengan maksimal.

Lantas bagaimana dengan paruh akhir? Dinamika dan alur yang kurang lembut, daya tarik yang tampil kurang maksimal, nilai minus di babak awal itu berganti wajah di babak kedua. Sangat suka pada bagian ini, sebuah aksi bersenang-senang yang intens dan fokus, ditunjang detail produksi yang mumpuni serta teknik sinematik yang terasa berani namun tetap manis, dari replika kapal hingga bantuan CGI serta score yang terus menyuntikkan kesan meriah, ketegangan yang dihasilkan terasa mengasyikkan disini, dari aksi tembak jarak jauh, hingga pertarungan jarak dekat yang mampu dikemas dengan cermat dalam gerak cekatan, dan akhirnya akan sulit untuk tidak menyambut hadirnya senyuman ketika mendapatkan urutan pertempuran yang tampil layaknya sebuah pesta menegangkan tersebut. 

Dilema mungkin hadir dari divisi akting. Sulit untuk mengatakan kinerja dari Choi Min-sik disini tidak memuaskan, karisma yang ia miliki masih muncul dalam kemarahan yang tampil tenang itu, tapi jika ditanya apakah sangat impresif atau mengesankan, jawabnya adalah kurang. Hal yang sama juga berlaku pada Ryoo Seung-ryong, yang kali ini ternyata punya peran cukup minim dan lebih sering tampil muram sembari merenung, terasa datar, dan itu cukup disayangkan karena ia memiliki peran penting untuk menciptakan gesekan konflik antara Korea dan Jepang yang di sepanjang film terasa kurang intens, kurang dalam, sehingga tidak mampu menunjang konsistensi pada daya tarik cerita.


Overall, The Admiral: Roaring Currents (Myeongryang) adalah film yang cukup memuaskan. Let’s make it clear, Roaring Currents berhasil menjalankan salah satu tugasnya sebagai film perang, impresif dan menyenangkan, tapi saya yakin misi yang dibawa oleh film ini tidak sesederhana itu. Ini telah di set agar mampu membakar semangat penontonnya untuk tidak mudah menyerah, percaya diri, dan berani mencoba, hal-hal yang di selipkan dalam aksi kepahlawanan itu memang hadir, namun tidak dalam kualitas yang sangat kuat dan mencapai potensi mereka, narasi yang kurang fokus serta cara cerita yang terbentuk dengan canggung di paruh pertama menjadi penyebabnya. Heroik, tapi kurang epik.







1 comment :

  1. Film sejarah yang menarik, apalagi di laut peperangannya.

    Makasih banget ulasannya.

    ReplyDelete