28 July 2014

Review: Jersey Boys (2014)


"Everybody remembers it how they need to."

Sangat mudah untuk antusias dengan film ini, mengangkat perjalanan dari jukebox musical milik The Four Seasons, yang menurut The Vocal Group Hall of Fame merupakan the most popular rock band before The Beatles! Tidak hanya itu, karena ada Clint Eastwood pula didalamnya. Tapi jika ekspektasi anda sama dengan saya, maka tidak ada salahnya untuk mencoba menarik mundur mereka, karena Jersey Boys tidak mampu tampil sama besar seperti sejarah yang coba mereka gambarkan. 

Di tahun 1951, Tommy DeVito (Vincent Piazza) bersama adiknya dan juga temannya Nick Massi (Michael Lomenda) membentuk sebuah grup musik bersama sahabatnya yang lain, Frankie Valli (John Lloyd Young) sebagai lead singer, dan singer-songwriter bernama Bob Gaudio (Erich Bergen). Kelompok yang bernama The Four Seasons setelah beberapa kali berganti nama itu mulai mencuri perhatian dengan tiga hits mereka, Sherry, Big Girls Don't Cry, dan Walk Like a Man, tapi sayangnya ketika mereka menuju ke puncak berbagai masalah mulai hadir, dari yang bersifat personal hingga kriminal. 


Ini adalah film biografi, dan alasan penonton untuk datang menyaksikan tipe film seperti ini jelas untuk menikmati bagaimana perjalanan sejarah dari seorang atau sekelompok tokoh dari bawah menuju keatas hingga mungkin saja kembali kebawah dan sebaliknya. Cerita yang ditulis oleh Marshall Brickman dan Rick Elice memang berhasil sih memenuhi hal tadi, tapi sayangnya arah dari fokus yang mereka letakkan berpeluang untuk tidak memuaskan beberapa penonton, sebuah bisnis pertunjukan klise yang menciptakan tabrakan antara narasi dan musik yang menjadi daya tarik utamanya. 

Jersey Boys ternyata bukan film yang mengajak kita untuk bersama merayakan kebesaran The Four Seasons dengan bantuan masalah yang mereka hadapi, tapi sebuah film yang berusaha membawa kita terjebak lebih dalam di masalah karakter sehingga sulit untuk merayakan kebesaran dan kehebatan yang mereka capai. Cara Eastwood membangun masalah dan karakter terasa terlalu tenang disini, energi yang ia berikan baik itu pada cerita dan juga musik tidak berhasil membangun pesona dari The Four Seasons, sensasi broadway itu kurang menggigit dan longgar karena sering terhalangi sisi suram cerita yang seolah ingin lebih ditonjolkan. 


Setelah mereka tahu bahwa wajah yang ditampilkan Jersey Boys tidak seperti yang diharapkan, penonton bisa saja memaafkan keputusan tadi asalkan pendekatan yang dibawa Clint Eastwood dapat memberikan hiburan yang menghibur. Sayangnya tidak, karena meskipun menggunakan perspektif dari para anggota band image dari The Four Seasons seperti tidak menjadi inti yang paling penting disini. Kita lebih sering diajak berkabung dalam narasi tambal sulam yang sesekali mengandalkan emosi namun juga sering menggabungkannya dengan humor untuk menemani musik, yang memang harus diakui meskipun minim pesona tetap cukup kuat untuk mempertahankan atensi penonton padanya. 


Itu mengapa diawal saya mengatakan untuk menarik ekspektasi awal, karena apa yang saya harapakan adalah menyaksikan perjalanan dan perjuangan sebuah grup bernama The Four Seasons untuk bertarung dengan masalah dan kemudian bergembira dengan kesuksesan mereka. Jersey Boys tidak punya itu, gejolak masalah tidak membawa kita ke puncak yang besar, sisi teknis seperti teknik kamera yang sering terlalu sempit hingga irama dari perpaduan cerita dan musik yang canggung, disertai dengan pembagian fokus yang kurang mumpuni Jersey Boys tidak berhasil menjadi Jukebox musical yang menyenangkan.









0 komentar :

Post a Comment