13 July 2014

Review: Earth to Echo (2014)

 

"Having a friend light years away taught us that distance is just a state of mind."

Film seperti Earth to Echo ini sebenarnya menjadi salah satu bagian wajib dari pengisi liburan musim panas layar-layar bioskop, bukan hanya film superhero, komedi, action, dan film animasi. Penting, karena dengan luas cakupan yang sempit film seperti ini jelas menyasar para remaja dengan berbagai pesan yang sederhana tapi tetap menarik. Tapi sayangnya Earth to Echo punya itu dalam kualitas yang kurang besar, terasa seperti ET grade E.

Sebelum berpisah, Alex (Teo Halm), Tuck (Brian Bradley), dan Munch (Reese C. Hartwig) memutuskan untuk mengisi malam terakhir mereka bersama-sama. Tapi sebuah sinyal aneh yang hadir di smartphone mereka justru membawa tiga anak laki-laki ini bergerak bersama rasa penasaran mereka untuk menyelidiki apa yang terjadi. Mereka menemukan alien dalam bentuk robot kecil yang mereka namai Echo, tapi bersama seorang anak perempuan bernama Emma (Ella Wahlestedt) mereka justru menjadi sasaran agen federal yang menginginkan Echo dengan tujuan yang jahat. 

Tidak perlu waktu lama untuk menilai kalau cerita yang ditulis oleh Henry Gayden akan mengingatkan kita dengan E.T. karya Steven Spielberg. Kurang yakin juga sebutan apa yang layak diberikan, penghormatan, hanya sebatas terinspirasi, atau justru copy paste murni dengan memberikan sesuatu yang segar dengan penggunaan format found footage dalam teknik pengambilan gambar. Tapi ada satu hal yang pasti, Dave Green membawa Earth to Echo terjebak dalam rasa berbagai film terdahulu seperti The Goonies, Super 8, dan menyebabkan pilihannya untuk mengikuti metode Chronicle tidak memberikan hasil yang baik. 

Ya, ini terasa seperti kombinasi dari berbagai film sci-fi, dan itu jelas bukan sesuatu yang salah dan taboo, asalkan dia memenuhi satu syarat penting, ia punya identitas sendiri. Earth to Echo tidak punya itu, penghormatan kepada ET ia justru tidak punya hal-hal positif dari ET, menggunakan gaya found footage justru lebih terasa seperti usaha untuk menutupi nilai minus yang dimiliki script. Terlalu sadis mengatakan ini super bodoh dengan beberapa materi yang tampak dimasukkan tanpa perhitungan, lagipula karena sasaran utamanya pada penonton muda, tapi referensi yang banyak banget tadi itu membuat Earth to Echo seperti bingung sendiri ia ingin menjadi apa. 

Terlalu berambisi mungkin ya, ingin kelihatan wah dengan gaya sinematik tapi harus berakhir unimpressive karena berbagai ide yang tidak di eksekusi dengan baik. Ini bisa menjadi tontonan yang intim menurut saya, tapi pendekatan yang mengganggu terlebih dengan kamera yang kurang “sehat” merusak potensi itu. Ini juga bisa menjadi sebuah film bertemakan persahabatan dengan obsesi pada teknologi apalagi jika melihat chemistry ketiga pemeran anak laki-laki yang dapat dikatakan tidak begitu buruk, tapi kurang mampunya Dave Green mengontrol alur yang dari awal hingga akhir terus bergerak turun daya tariknya juga mengubur potensi tadi. 

Tidak ada yang salah dengan aksi meminjam referensi dari berbagai film yang sebelumnya pernah eksis dan terkenal, tapi Earth to Echo ternyata sebuah film pemalas yang antara tidak mampu atau tidak mau untuk menciptakan identitasnya sendiri sebagai film remaja yang ringan dengan isi pesan-pesan positif. Hal terkahir tadi kurang penting? Untuk menjadi sebuah petualangan sederhana yang bodoh tapi menyenangkan saja ini masih kurang memuaskan. Jika kelak ada orang yang menanyakan tentang Earth To Echo kepada saya, mungkin hal pertama yang terlintas dipikiran saya adalah ET grade E.








0 komentar :

Post a Comment