24 July 2014

Movie Review: Calvary (2014)


"Not everyone can carry the weight of the world!"

Selalu ada keunikan dari sebuah film yang di awal melemparkan sebuah konflik utama dan kemudian memberikan penontonnya banyak masalah-masalah skala kecil baru untuk datang menyokong atau menemani main issue tadi. Menjadi variatif dan berwarna, film ini mampu menghadirkan hal tersebut dalam sebuah petualangan sederhana yang sayangnya terasa sedikit “gemuk”. Calvary, haunting soul and faith destruction in a good & weird way.

Father James Lavelle (Brendan Gleeson), Pastor gereja Katolik di sebuah kota kecil di Irlandia, telah duduk dengan tenang menggunakan jubah berwarna hitam favoritnya di dalam bilik pengakuan dosa. Sikap tenang itu berubah dalam sekejap ketika seorang pria yang berada di bilik sebelahnya memulai pengakuan dosanya dengan sebuah pengakuan bahwa ia telah merasakan sperma saat berumur tujuh tahun. Pria tersebut mengatakan bahwa ia menjadi korban pelecehan seksual dari imamnya kala itu, hal yang meninggalkan luka dan menjadikan ia berniat untuk membalaskan dendam tersebut.

Celakanya Father James adalah sasaran tembak pria tersebut, dengan sebuah ultimatum yang terasa meyakinkan bahwa ia akan datang satu minggu kemudian untuk membunuh Father James, tepat dihari minggu. Pada awalnya Father James tidak menganggap serius ancaman tersebut, namun masalah dari orang-orang disekitarnya membawa efek negatif bagi James, dari wanita bernama Fiona (Kelly Reilly), konflik segitiga antara Jack (Chris O'Dowd), Veronica (Orla O'Rourke), dan Simon (Isaach de Bankolé), dokter atheis bernama Frank Harte (Aidan Gillen), hingga sikap anti-Katolik yang ternyata masih sangat kental, “kekuatan” Father James perlahan terganggu dalam perang internal yang harus ia hadapi.


Tidak dapat dipungkiri ada sebuah impresi yang sangat kuat dari bagaimana John Michael McDonagh membuka kisah yang pada dasarnya sangat sederhana ini. Aneh, bahkan anda dapat menyebutnya sedikit gila, dari sana mulai timbul pertanyaan apa yang kemudian harus dan akan dilakukan oleh karakter utama untuk menunggu datangnya revenge yang telah dijanjikan tersebut. Dan ini yang menarik karena setelah sebuah kejutan besar di awal tadi penonton kemudian akan dibawa kedalam petualangan yang terasa tenang tapi dipenuhi dengan berbagai masalah dan gesekan intens, yang dengan liciknya akan membawa kita masuk kedalam misteri-misteri lain yang tidak kalah dalam memberikan ambiguitas.

Yap, itu mengapa ada kata weird di paragraf pembuka tadi, karena meskipun harus diakui ia punya materi yang mumpuni McDonagh tidak pernah berhenti menghadirkan mereka dengan cara yang terus berada di zona abu-abu. Mengapa begitu, apa maksudnya, ini bahkan akan terkesan sebagai sebuah petualangan pointless bagi mereka yang menunggu sebuah jawaban konkrit diakhir cerita, problem, waiting, and boom, end. Bersama misteri yang menyenangkan penonton terus dibawa untuk masuk kedalam dunia James, merasakan situasi asing lengkap dengan tekanan yang ia miliki, kemudian mulai merasa intim dengan ikut merasa kesal dan jengkel pada karakter lain yang dipenuhi hal negatif dunia seperti sikap keji dan egois.

Dengan segala perlakuan yang ia berikan kepada penontonnya tadi sangat mudah untuk menangkap maksud dari film ini, character study. Loncat dari satu masalah ke masalah yang lain dengan terus diselimuti oleh clue terkait kematian, dan mencampur krisis umum terkait agama dengan cara yang bijak tanpa menimbulkan kesan khotbah didalamnya. Disini kita dapat melihat pertarungan yang menarik antara problems dan faith, sebuah ketidakpastian yang ditampilkan dengan cara yang berani lengkap dengan sorotan terkait obsesi dan dosa serta pengampunan pada hubungan antara agama dan manusia. Yang menjadi masalah adalah materi menarik serta potensi yang banyak tadi hadir dengan kuantitas seadanya.


Tidak buruk, tapi seadanya, sinopsis diatas tadi bahkan belum mengikut sertakan berbagai masalah kecil lainnya yang harus dihadapi oleh Father James. McDonagh seperti punya banyak ide dan ingin semuanya dapat tersampaikan, banyak subplot untuk banyak menampung banyak ide dan isu, celakanya ketika ia digabungkan dengan setting suram dan gerak lamban ada penurunan skala kecil dalam hal daya tarik. Mayoritas plot pada script yang padat itu kurang mampu menarik masuk penonton untuk terjerat lebih dalam, hanya sekedar masuk dan keluar dengan meninggalkan sebuah pesan moral yang membekas kurang tajam, dan itu semakin bermasalah ketika ia mulai sedikit menerapkan aksi reflektif bersama sinematik yang cantik namun sayangnya beberapa diantara mereka terasa kaku.

Segala potensi besar yang muncul diawal perlahan tergerus akibat ambisi dari John Michael McDonagh untuk menuangkan semua ide yang ia punya. Buang satu atau dua konflik kecil, perdalam sisanya, mungkin ini akan menjadi sebuah karakter studi yang mampu meninggalkan kesan yang sangat dalam pada misinya karena akan memperjelas dan mempertajam kepentingan utama di dalam cerita, bukannya justru dipertengahan paruh kedua mulai terkesan tersesat dan melayang-layang karena terlalu banyak melemparkan penggambaran terkait dosa, hal yang akhirnya juga menggerus kesan satir dan potensinya untuk tampil lucu serta daya tarik dari hubungan antara agama dan manusia yang menjadi fokus utama.

Namun jika anda bertanya film apa saja yang akan saya kenang di tahun 2014 ini, Calvary adalah salah satunya. Brendan Gleeson adalah alasannya. Di kali keduanya bekerja sama dengan McDonagh setelah The Guard, Gleeson berhasil memanfaatkan dengan sangat baik materi yang memang diciptakan untuknya ini lewat tampilan performa yang sangat impresif. Ada kegairahan yang hidup pada James, gejolak yang intens namun halus, serta pertanyaan-pertanyaan penuh warna-warni yang di ekspresikan dengan mumpuni. Andai saja Brendan Gleeson tidak tampil sedemikian baiknya mungkin Calvary akan sulit untuk meninggalkan memori bagi penontonnya, karena cast lain tidak punya kesempatan lebih untuk mencuri atensi.


Overall, Calvary adalah film yang cukup memuaskan. Faith dan moral, agama dan manusia, Calvary berhasil memberikan sebuah petualangan yang tenang dan sederhana dipenuhi berbagai isu yang mungkin akan lebih membekas ketika penonton telah pergi meninggalkannya. Sayangnya potensi yang sangat besar diawal untuk menjadi sebuah character study cemerlang harus tergerus dalam level yang cukup kecil akibat ambisi John Michael McDonagh untuk menjadikan ini tampak kompleks sehingga terasa sedikit kaku menjelang akhir, walaupun performa yang sangat impresif dari Brendan Gleeson sangat cukup untuk menutup luka kecil itu. Segmented.








0 komentar :

Post a Comment