05 June 2014

Movie Review: Maleficent (2014)


"But if I know you, I know what you’ll do."

Lupakan sejenak keberadaan Angelina Jolie di posisi terdepan, pertanyaan pertama yang hadir dari Maleficent adalah apa yang ia ingin gambarkan mengingat statusnya sendiri yang merupakan seorang villain? Kejahatan? Ternyata tidak, ini bukan film dimana penjahat murni hanya menjalankan tugasnya sebagai penjahat di panggung utama, karena secara mengejutkan ia punya kehangatan sederhana sebuah cinta pada dongeng yang telah mendapat sedikit perputaran kecil itu. Maleficent, a good enough brave and modern fairytale reimagining.

Ketika ia masih muda Maleficent (Isobelle Molloy) memiliki sebuah mimpi untuk menyatukan kesenjangan antara dua kerajaan besar yang terpisahkan oleh sebuah lembah, kerajaan berisikan para manusia dan kerajaan tempat ia tinggal, The Moors, alam para peri. Tekad tersebut semakin besar ketika Maleficent bertemu dengan manusia yang tersesat di hutan mereka, Stefan (Michael Higgins), anak Raja Henry yang langsung menghadirkan rasa cinta di hati Maleficent, bahkan telah bergerak serius dengan memberikan sebuah ciuman yang ia sebut “ciuman cinta sejati.” Namun kisah mereka kandas setelah Stefan menghilang dalam jangka waktu yang sangat lama.   

Stefan (Sharlto Copley) kembali datang ke The Moors ketika ia telah dewasa, namun sayangnya dengan membawa niat berbeda, yang kemudian membuat Maleficent (Angelina Jolie) murka. Rasa patah hati itu berujung niat balas dendam, bersama dengan orang kepercayaannya, Diaval (Sam Riley), Maleficent mendatangi kerajaan para manusia dan kemudian memberikan kutukan pada sasaran utamanya, putri Stefan. Maleficent menyihir Princess Aurora (Elle Fanning) akan jatuh kedalam sebuah tidur panjang menjelang ulang tahunnya yang ke 16, dan hanya dapat bangun setelah mendapatkan sebuah ciuman cinta sejati, hal yang dipercaya oleh Maleficent tidak pernah eksis dan turut menciptakan rasa ragu didalam dirinya.


Naskah merupakan sumber utama yang menyebabkan daur ulang dengan sedikit sentuhan berbeda dari kisah Sleeping Beauty yang terkenal itu gagal mencapai potensi yang ia punya. Ya, sesungguhnya jika berbicara potensi Maleficent berada pada level yang cukup besar terlepas dari hadirnya Angelina Jolie sebagai “power” di sisi lain, bagaimana ketika semua alur yang mungkin telah menjadi hafalan bagi mayoritas penontonnya dari kutukan hingga ciuman sejati itu coba untuk sedikit dilukai dengan memutar posisi dari para karakter, menempatkan si baik yang kini harus puas hanya memegang peran pendukung dengan segala keterbatasan gerak dan kontribusi, dan kemudian menaruh si jahat dengan peran fokus utama sebagai pusat dan juga subjek yang menggerakkan cerita.

Menarik, terlebih dengan kehadiran narator lewat suara Janet McTeer, Robert Stromberg berhasil menciptakan impresi awal yang memikat. Pergantian point of view itu tidak mengganggu, Mistress of All Evil itu langsung klik pada posisinya dan dari sana sosok yang pernah terlibat pada Avatar, Alice in Wonderland, dan Oz the Great and Powerful ini mulai merajut cerita yang ditulis ulang oleh Linda Woolverton kedalam sebuah dunia yang bukan hanya mampu membawa kembali fantasi itu namun juga memberikan posisi yang sangat nyaman bagi penontonnya. Yang terakhir itu saya suka, ini seperti mendengarkan sebuah dongeng tradisional yang dibalut bersama petualangan fantasi dengan urgensi cerita yang liar.


Mengejutkan, Maleficent mampu menghadirkan alur cerita yang terus mengalir dengan baik meskipun di lain sisi tampak sangat jelas ia menunggu datangnya babak akhir dengan berjalan mondar-mandir seolah tanpa tujuan yang kuat. Hal tadi setidaknya mampu membuang kesempatan bagi hal-hal minus minor lain seperti dinamika cerita yang liar dan sering terputus-putus serta pengembangan karakter yang gelap itu untuk menghancurkan perhatian penontonnya pada point utama yang ia usung, hati nurani. Ya, ini bukan sebatas pertarungan antara si jahat dan si baik yang ditempatkan hanya sebagai cover, Robert Stromberg merubahnya menjadi sedikit lebih dewasa dengan sentuhan feminism yang kuat, menempatkan kompleksitas emosi terhadap masalah yang dimiliki oleh karakter Maleficent untuk menarik simpati penontonnya.

Maleficent seperti gabungan antara Despicable Me dengan Frozen, punya unsur hitam pada karakter lengkap dengan misteri dangkal, berupaya untuk memanusiakan karakter jahat sembari mencoba menggambarkan makna cinta dari sudut yang berbeda. Sangat mudah untuk masuk dan terlibat dalam cerita, penyebabnya adalah Robert Stromberg paham bagaimana menjadikan kisah ini terus tampil mengkilap, terus membuat penontonnya terjaga saat mengikuti plot cerewet yang terlalu sibuk untuk mengemis atensi, dari tingkah komikal konyol tiga peri (Imelda Staunton, Juno Temple, Lesley Manville) yang menjadi versi imut dari Three Stooges dengan kontribusi tidak kuat, hingga aksi bermain-main yang sebenarnya disengaja untuk mempertebal gejolak emosi Maleficent tapi sayangnya tidak semua terasa penting.


Ya, mixed memang, ia punya inti yang kuat meskipun predictable, tapi cara Linda Woolverton memanjangkan cerita untuk memperdalam senjata utamanya itu yang terasa lemah, memasukkan nafas modern kedalam cerita asli terasa kurang klik di beberapa bagian. Ada pula kesan ambigu yang kuat disini, pergeseran pada motif utama yang seperti dibiarkan bergerak bebas oleh Robert Stromberg, berubah secara berkala yang sayangnya tidak dibantu dengan kontrol yang baik pada kombinasi kecepatan gerak dan juga naskah, penceritaan sering kali terasa kurang intens yang menyebabkan resolusi terasa canggung. Hal yang sama juga terjadi pada adegan aksi yang tidak semua mampu menjadi bumbu yang mengesankan bagi cerita.

So, what makes it work? Angelina Jolie. Terlepas dari naik dan turunnya performa dari karakter miliknya sepanjang cerita, dengan tulang pipi prosthetics yang terinspirasi dari cover album Lady Gaga, mata tajam, dan tanduk di atas kepala Angelina Jolie mampu menjalankan tugasnya sebagai tumpuan utama untuk terus membawa maju cerita, ia mampu menghadirkan kompleksitas dari perasaan seorang wanita yang ditemani dengan kedalaman emosi yang mumpuni, hal yang mampu menarik simpati penonton pada konflik internal yang ia punya. Kinerja yang baik mengingat Jolie hanya sedikit dibantu oleh Elle Fanning dan Sam Riley, dan harus kehilangan Sharlto Copley yang tidak punya kesempatan lebih untuk menjalankan tugasnya sebagai “real enemy.”


Overall, Maleficent adalah film yang cukup memuaskan. Punya keseimbangan dalam plus dan minus, Maleficent sangat bergantung pada interpretasi penonton terhadap cerita yang telah sedikit diputar ini. Ini bukan tentang penjahat melakukan tugasnya sebagai penjahat, Maleficent mencoba membawa dongeng klasik itu menjadi sebuah pertarungan internal yang sedikit dewasa dan sedikit kompleks dengan bertumpu sepenuhnya pada sisi emosional, ia kemas dengan sedikit bersenang-senang bersama elemen teknis yang cukup terampil dan gerak mondar-mandir yang canggung. Petualangan cukup menyenangkan yang gagal meraih potensi penuh pesona yang ia punya.








0 komentar :

Post a Comment