18 April 2014

[Special Feature] Fargo, smart and funny morally ambiguous


"Some roads you shouldn't go down because maps used to say there'd be dragons there. Now they don't, but that don't mean the dragons aren't there."

Hype yang ia ciptakan memang tidak begitu besar, namun sejak tahun lalu Fargo telah menjadi bagian dari rorypnm’s most anticipated tv-series. Yap, Fargo yang itu, black-comedy crime pemenang Oscar tahun 1996, menjadi basic dari jagoan terbaru FX ini. Enam episode pertama berada dibawah kendali sosok berpengalaman yang telah bermain-main di berbagai tv-series seperti Californication, It's Always Sunny in Philadelphia, Parks and Recreation, The Office, Scrubs, 30 Rock, hingga Breaking Bad, dengan cerita disusun oleh novelis yang pernah berkontribusi di Bones, serta yang terpenting ikut melibatkan Coen Brothers, baik di bagian produksi hingga writing credit. So, is it that great? Not yet, but the first impression is absolutely impressive. It’ll be easy to love "Fargo" if you already love "Fargo".

Cerita yang ditawarkan disini sebenarnya tidak keluar secara frontal dari apa yang pernah hadir hampir dua dekade lalu, dicanangkan untuk menjadi sebuah antologi layaknya True Detective dengan berisikan pertumpahan tindak kekejaman yang berawal dari Bimidji, sebuah kota di Minnesota, pada tahun 2006. Karakter yang hadir juga masih menerapkan tipe yang sama, ada pria psikopat yang layak diberikan label sebagai seorang pembunuh bayaran bernama Lorne Malvo (Billy Bob Thornton), ada pula pria lemah dalam diri Lester Nygaard (Martin Freeman), hingga seorang polisi wanita yang cerdik dan semangat bernama Molly Solverson (Allison Tolman). Secara garis besar ini memang sama, namun apa yang menjadikan Fargo terasa impresif adalah ketika Noah Hawley mampu menciptakan daya tariknya tersendiri tanpa melukai sisi eksentrik yang telah melekat dari sumber bahannya itu.


Same taste in different fresh package. Film itu dengan cerdik berhasil diperluas tanpa menghadirkan kesan sebagai sebuah upaya untuk menjadi pengganti. Humor dan drama kembali melakukan perkawinan yang mumpuni, misteri bersama violence juga tidak pernah luput memberikan kejutan secara konsisten, mereka bersatu dalam pergerakan cerita dengan sedikit sentuhan absurd yang terstruktur, dan berbagai isu yang bertumpu pada moral disampaikan secara implisit tanpa mencoba tampil bergaya filosofis dengan alur prosedurial yang menjadikan penceritaan sangat jauh dari kesan berat dan keruh. Yap, ini ringan, sangat santai tapi tetap berisi, sebuah kombinasi yang cukup sulit untuk dilakukan, menghadirkan perputaran penuh liku-liku yang menyenangkan tanpa melupakan point yang ia bawa, dan itu dikemas dengan sentuhan sinematik yang baik dan solid. 

Oh ya, solid mungkin kata lain yang tepat untuk menggambarkan pilot milik Fargo. Ruang yang luas berhasil dimanfaatkan oleh Noah Hawley untuk mempermainkan bahan yang padat itu, setelah dengan cepat dan kuat membentuk atmosfir utama cerita ia kemudian menghadirkan materi yang berhasil diolah oleh sutradara untuk membangun ketegangan secara bertahap. Ini tampaknya sengaja di set untuk menjadi sedikit lebih gelap, tampil misterius meskipun sesungguhnya tidak menyajikan misteri di dalam cerita. Faktor lain yang menjadikan pilot ini menarik adalah ketika ia menggambarkan salah satu ciri Coen Brothers yaitu bermain dengan kebodohan manusia  tanpa adanya kesan menggurui dan juga warna melodrama, seolah menertawakan karakter yang punya karakterisasi kuat dan halus sembari mengantisipasi apa yang akan hadir selanjutnya sembari menyaksikan aksi memuja kekerasan dalam kegelapan yang lembut itu.


Unik memang, ini lembut, dan itu eksis dalam alur yang walaupun berisikan kekerasan tetap menawarkan suasana yang tampil halus ketika penontonnya mengamati studi karakter yang ia tampilkan. Puppy becomes a monster, sisi sensitif dari jiwa setiap manusia dengan percaya diri yang kurang kokoh dimanipulasi ketika tekanan menghantui, dan membuka pintu masuk bagi bencana. Hanya dengan menggunakan permainan kalimat dalam percakapan santai Lorne Malvo dapat merubah arah berpikir milik Lester Nygaard, seorang salesman yang sudah bosan dengan tekanan dari sang istri yang kerap membanding-bandingkan dirinya dengan saudara prianya yang lebih sukses. Kualitas yang sama juga hadir dibanyak dialog, seperti yang dimiliki oleh Molly Solverson ketika ia menyelidiki kasus.

Naskah berkualitas, cerita yang kuat dan terarah, sisi lain yang menarik dari Fargo adalah karakter. Kinerja mereka memuaskan, tidak hanya main cast namun juga beberapa peran kecil, dan mengingat ada unsur studi karakter didalamnya kemampuan mereka untuk menciptakan daya tarik bagi karakter untuk diamati dapat dikatakan memuaskan. Martin Freeman tampil ekspresif, gerak tubuh dan aksennya juga aman, sama halnya dengan Allison Tolman yang mampu membangun kepribadian menarik bagi Molly. Tapi kuncinya tentu saja Billy Bob Thornton, tenang dalam sebuah pengamatan yang gelap dan mencekam tidak pernah gagal menjerat atensi. Aksi mereka juga ditangkap dengan sinematografi sederhana yang baik dalam membentuk atmosfir, serta bantuan musik yang efektif dibalik kesan biasa yang ia berikan. 


Terlalu dini untuk mengatakan Fargo sebagai tv-series yang kuat, karena semua penjelasan tadi lebih kepada impresi yang pilot miliknya berikan, dua episode lagi mungkin ada sebuah kepastian apakah ia akan menyandang status “must see”, namun jika anda bertanya perbandingan pilot antara Fargo dengan salah satu jagoan baru True Detective, I’ll stick with Fargo. Humor dan drama dalam satu paket, berisikan rangkaian pembunuhan dalam alur cerita yang bergerak penuh ketenangan dengan daya tarik yang kuat, ini adalah sebuah studi karakter yang padat bersama kerumitan bertumpu pada moral yang tersampaikan dengan efektif tanpa mengikut sertakan upaya manipulasi, semua dikemas dengan cerdas secara ringan dan santai. It's officially fresh, but can it became an excellent one? Let's see.




0 komentar :

Post a Comment