Ada jenis film yang saya sebut dengan hypnotic movie,
film yang secara konsisten mampu untuk terus membuat penontonnya terjebak dan
kemudian bermain-main bersama dengan mata serta pikiran yang sulit teralihkan
dari layar dan juga cerita. Salah satu dari mereka kembali sukses disajikan oleh Gareth Evans, seperti apa yang ia
lakukan dua tahun lalu pada The Raid:
Redemption. Consistent but formulaic, The Raid 2: Berandal, a phenomenal
over-the-top action show off parade in extraordinary technique, and ordinary
storytelling. Brutal version of Lego World. (warning: it's much longer than
rorypnm's normal review)
Tepat setelah selesai membuat kekacauan di blok
apartement, Rama (Iko Uwais) justru
harus jatuh ke tangan seorang pimpinan polisi bernama Bunawar (Cok Simbara), sosok yang menjanjikan bahwa keluarga Rama
akan selamat jika ia mau menjadi mata-mata bagi kepolisian. Rama akan diberikan
status meninggal dunia, menyandang identitas baru, masuk kedalam penjara dan
kemudian akan dibebaskan dalam hitungan bulan. Tugasnya adalah mengawasi dan
mencoba berteman dengan Uco (Arifin
Putra), anak dari seorang bos mafia penguasa Jakarta, Bangun (Tio
Pakusdewo).
Namun ternyata fakta yang Rama temukan ketika akan
menjalankan misinya diluar penjara tidak sederhana. Ada pertarungan multi arah
yang telah menanti, dari kepolisian, kubu mafia Jepang dibawah kendali pria
bernama Goto (Kenichi Endo), dan
gangster lainnya dengan komando Bejo
(Alex Abbad) yang punya dua assassin mematikan, Hammer Girl (Julie Estelle) dan Baseball
Bat Man (Very Tri Yulisman). Tidak cukup sampai disitu, karena sosok yang
selama ini Rama lindungi ternyata juga memiliki ambisi pribadi, keluar dari
rasa sabar yang selama ini ia hadapi bersama Eka (Oka Antara) untuk meraih puncak kekuasaan.
Umpamakan saja The
Raid: Redemption seperti menempatkan ratusan orang dalam sebuah ruangan
tertutup, saling hajar dalam survival battle, berbagai bunyi hadir kemudian
menghasilkan sebuah gema yang sangat nyaring, kokoh, dan akhirnya berhasil
tampil menyenangkan bagi penontonnya. Nah, The
Raid 2 tidak murni tampil seperti itu, formula yang digunakan memang masih
sama namun kali ini ia hadir dengan banyak ruangan bersama jalur transisi yang
sedikit lebih kompleks. Tentu saja logikanya dengan luas arena bermain yang
lebih besar tersebut berpotensi untuk ikut pula menghadirkan sesuatu yang lebih
besar, namun disisi lain juga secara otomatis menciptakan resiko pada
kemungkinan berkurangnya kuantitas dan kekuatan dari gema yang ia hasilkan.
Boom, itu yang terjadi pada The Raid 2.
Dengan begitu banyaknya label yang ia peroleh sebagai
salah satu film aksi terbaik yang pernah diciptakan tentu saja sudah menjadi
keharusan dan kewajiban bagi Gareth Evans
untuk membangun sesuatu yang lebih besar dari pendahulunya, dan itu ia
tunjukkan dengan mencoba memperluas teritori cerita. Implisit memang namun kita
akan dapat melihat sedikit perubahan image pada kemasan ini, jika The Raid dibentuk sebagai sebuah film
seni bela diri kali ini penceritaan mulai menekan elemen pendukung lainnya
untuk menjadikan Berandal sebagai film bertemakan kejahatan yang lebih rumit.
Hasilnya, walaupun tetap tidak mendominasi tapi at least eksistensi plot yang
di film pertama terasa sangat minim itu ikut membentuk ekspektasi yang semakin
besar, seperti sebuah bisikan "hey, mari ikut bersenang-senang dalam pesta
bersama aksi boom-boom-boom yang punya cerita mumpuni."
Fun feast itu memang hadir, namun sayangnya tidak
berimbang. Pasti akan ada yang bergumam, "bukankah penonton datang
menyaksikan The Raid memang hanya
ingin melihat kumpulan adegan aksi?", itu benar, ekspektasi awal juga
seperti itu, tapi bukankah Gareth Evans sendiri pula yang sejak
tampilan awal seolah menjanjikan akan ada penceritaan mumpuni pada kemasan ini?
Jika dia memang ingin menjual apa yang penonton harapkan tadi tentu ia bisa
saja mengulang apa yang ia lakukan pada film pertama, kenikmatan visual
sederhana yang minim plot. Hasilnya, ini memang lebih megah, lebih brutal,
lebih rumit, bahkan lebih artistic, namun jika menilik core cerita ini tetap
sama hampanya, jika anda bisa lepas dari hipnotis pada adegan aksi memukau, memikat,
menawan, apapun itu sebutan untuk sesuatu yang mengasyikkan, dan kembali
teringat bahwa awalnya ini dibentuk untuk menjadi lebih kompleks dan padat.
Kurang padat, sederhananya mungkin seperti itu.
Terlalu banyak ide yang kurang terbangun dengan baik disini, adegan non-action
seperti gesekan kingdom fight, spying, revenge, sampai dad-son relationship,
mereka kurang terbentuk dengan mumpuni, kurang bernyawa, kurang intens. Yang
menjadi masalah disini adalah faktanya mereka juga punya peran besar dalam
cerita, sebut saja sebagai rest area
ketika kita akan berpindah antar adegan aksi, sehingga saat mereka muncul tensi
cerita kerap kali dalam seketika runtuh. Yap, dinamikanya kurang kokoh dengan momentum kurang
mumpuni sehingga ada kesan terputus yang hadir di beberapa bagian, hal yang
juga memberikan dampak negatif pada penceritaan, dari pace cerita yang terasa kurang mengalir serta konflik yang kerap
tampak seperti tersesat mencari rekan penerusnya untuk memberikan baton
marathon.
Ya, ini seperti team relay marathon, plot dasar sebagai lintasan, dan tiap adegan aksi sebagai
seorang pelari dengan kecepatan tinggi yang punya tujuan sederhana,
menyelesaikan tugasnya dan berharap rekan berikutnya untuk meneruskan. Kompilasi
absurd aksi pembantaian, dari ledakan, bunyi tengkorak dan tulang patah,
dipenuhi dengan tumpahan darah yang sangat total, memang tidak mempermasalahkan
durasi yang beberapa terasa cukup panjang namun banyak dari mereka celakanya
hadir tanpa membawa point yang menarik dan meninggalkan sesuatu yang penting
pada cerita, terkesan cuma numpang lewat, tidak dimanfaatkan untuk membuat
penonton peduli dengan cerita dan karakter. Atau mungkin Gareth Evans juga pada dasarnya tidak begitu peduli dengan cerita
dan karakter, karena ia tampak lebih percaya diri dan lebih asyik membentuk
sisi teknis, tempat dimana ia sukses memetik hasil sangat memuaskan.
Nah ini yang akan membuat kata "damn"
muncul, dari segi cerita ia terasa kurang, namun disisi lain elemen teknis
sukses tampil gemilang. The Raid 2:
Berandal seperti Lego World versi
brutal, Gareth Evans punya arena
besar tempat dimana ia dapat dengan sepuasnya mempermainkan karakter yang ia
punya, ia mengerti apa yang ingin ia bangun, ia mengerti bagaimana cara untuk
mewujudkannya, dan ia fokus pada tujuan utama di sektor ini: menghibur dengan
kekejaman ekstrim. Meskipun kuantitasnya terkesan berlebihan serta mayoritas
kehilangan kepadatan dan sisi intens yang dimiliki oleh film pertama, adegan
aksi kembali sukses tampil menghibur. Ini seperti sedang menjadi bagian sebuah
tour, mengelilingi museum berisikan koreografi adegan aksi yang mampu
mengundang senyum puas, dan uniknya di bagian ini Gareth Evans juga cerdik menjadikan hal-hal kecil tampak menarik,
dampak terbesar dapat terlihat pada Hammer
Girl dan Baseball Bat Man yang
berakhir pada level ikonik.
Perhatian pada detail di bagian adegan aksi yang presisi seperti
variasi pukulan dan tendangan juga hadir pada cara Gareth Evans bermain-main dengan gambar, stylish dan eye-catching.
Jujur saja elemen ini justru terasa lebih menarik bagi saya untuk diamati
ketimbang adegan pertarungan, yang tidak tahu mengapa selain mud fight dan
kitchen fight sisanya tidak berada di level tinggi, hanya efektif berkat
kemampuan mempermainkan shock moment. Dari hamparan hijau dibagian pembuka,
perkelahian ruang sempit, dari sana akhirnya sering hadir gumaman "hmm,
manis", dimulai sejak shoot dari atas ketika Rama hendak keluar dari
penjara, itu terus berlanjut hingga akhir dan mayoritas dari mereka terasa
sangat menyenangkan, termasuk di dalamnya penggunaan salju dengan kehadiran
gerobak yang berani itu. Kinerja bagian ini sering menyelamatkan bagian lain
yang kadang terlalu stabil dan longgar, seperti dialog berlarut-larut tanpa
point penting yang pada dasarnya hanya hadir untuk membuka jalan untuk arena
pertarungan berikutnya.
Divisi akting juga memberikan kinerja yang mumpuni. Team stunts mungkin memberikan kinerja paling kuat, koreografi yang memikat dari Yayan Ruhian sangat banyak membantu Iko
Uwais dan untuk menopang beban sebagai pusat adegan aksi. Di bagian tersebut Iko Uwais memang tampil kuat, namun jika
berbicara akting yang sebenarnya justru Arifin
Putra dan Oka Antara yang lebih
banyak menghadirkan nilai positif. Ambisi dan rasa kesal dari Uco tergambarkan
dengan baik oleh Arifin Putra, sifat
angkuhnya juga pas dan tidak jatuh menjadi menjengkelkan. Sedangkan Oka Antara menjadikan mata Eka sebagai
mata penonton, seolah kita ikut mengamati bersamanya. Selain mereka tidak ada
yang berada dalam level sama, termasuk Julie
Estelle dan Very Tri Yulisman
yang memperoleh kesuksesan karena lebih terbantu faktor keunikan karakter
mereka.
Overall, The
Raid 2: Berandal adalah film yang memuaskan. Koreografi cantik,
sinematografi menarik, mereka menghasilkan daya hipnotis yang sangat besar,
sekali saja terjebak dalam rangkaian adegan aksi yang memang lebih besar, lebih
brutal, dan lebih artistik dari film pertamanya itu maka akan sulit untuk
keluar dan bertemu dengan fakta bahwa kegembiraan yang ia berikan sebenarnya
tidak jauh lebih besar dari pendahulunya. Jika dinilai sebagai potongan adegan aksi
yang berdiri sendiri mayoritas dari mereka berhasil menjadi arena show-off yang menyenangkan, namun tidak
sebagai sebuah kesatuan bersama teknik bercerita. Efektif namun kurang efisien. My best action movie of the year so far, and really doubt there's one upcoming to beat The Raid 2.
the blood and the fight makes you wanna learn about "pencak silat", eh?
ReplyDeleteNope, just wanna be a gun owner. Dor, one-two-three, end. Simple is better. :p
DeleteSampai sekarang masih tidak habis pikir, kenapa ada salju di Indonesia. Mungkin akan jadi lebih dramatis ya, tapi nampak tidak masuk akan dan jadi cacat besar. Mungkin akan lebih epic bila kejadian tersebut terjadi saat hjan, nah, itu lebih masuk akal.
ReplyDeleteIko uwais di the raid 2 nampak tidak terlihat kharismanya, yg justru mencuri perhatian adalah uco dan dua hammer girl-baseball man.
Benar, tujuannya memang untuk membantu feel dramatisasi, jadi cantik. Lagipula sejak awal mereka ngak mengatakan itu Indonesia sih, semacam dunia fantasi milik Evans, meskipun tetap lucu ya mengingat adanya reog, plat mobil B, nama pusat perbelanjaan, hingga provider dengan awalan S itu.
DeleteTapi salut sih sama kamu, berani berpendapat. Karena di film dengan hype tinggi seperti ini, review positif, apalagi film Indo, mereka yang mencoba sedikit kritis justru bakalan di cecar, dianggap sok pintar lah cari cerita di film aksi, songong lah, etc. Good for you, and just keep smile karena memang pasti dan harus ada mereka yang punya pola pikir dangkal serta belum sanggup untuk menghargai pendapat orang lain seperti itu. :)
Setuju dengan komentar terkait Iko, levelnya dia ngak turun sih tapi kuantitas atensi banyak dicuri oleh beberapa karakter lain yang juga tampil baik.
Jadi panjang gini. Thanks. :)
Nice review mas, memang scene-scene fighting yang disajikan sangat menjanjikan plus adegan darah muncrat dimana-mana mengingatkan saya akan film-film slasher. Namun menurut saya dialog yang diciptakan masih sangat kaku saat dibawakan oleh para pemeran entah kesalahan itu terletak pada pemilihan kata atau memang saya saja yang merasa naskah ini masih ke cenderung bergaya kebarat-baratan. But overall I'm proud with the raid 2 :)
Delete(zakky) Benar, banyak yang canggung. Mungkin ini akan terdengar aneh, saya bahkan sempat mikir andai aja diberikan subtitle English/Indonesia, mungkin lebih ngalir. :)
Delete