23 March 2014

Movie Review: The Missing Picture (2013)


Kita pasti pernah mendengar kalimat yang mengatakan bahwa sejarah merupakan bagian penting dari sebuah bangsa, dan upaya yang harus dilakukan adalah mempertahankannya agar dapat terus hidup di lintas generasi, tidak peduli itu merupakan sebuah kesuksesan ataupun sejarah kelam. Seorang sineas asal Kamboja bernama Rithy Panh coba melakukan hal tadi, dan mengambil keputusan berani dalam mengatasi keterbatasan materi pendukung yang ia miliki untuk menghadirkan sebuah sejarah dengan cara yang unik, stop-motion animation. The Missing Picture (L'image manquante), an imaginative haunting history.

Ada sejarah kelam dibalik eksistensi bangsa-bangsa di dunia, tidak terkecuali negara Kamboja. Dimulai dari tahun 1970 hingga puluhan tahun berikutnya pernah terjadi gerakan dari kaum komunis di Kamboja. Mereka adalah Communist Party of Kampuchea (CPK), atau yang lebih kala itu dengan sebutan Khmer Merah, dibawah pimpinan Pol Pot. Upaya mereka berlangsung dari tahun 1975, untuk meraih tampuk kekuasaan dan mendirikan Democratic Kampuchea, hingga akhirnya harus lengser pada tahun 1979 setelah hadirnya People's Republic of Kampuchea.

Celakanya periode yang katanya dipenuhi dengan pembunuhan massal, kerja paksa, hingga kelaparan itu terus tertanam di ingatan Rithy Panh, pria yang kala itu telah berusia remaja. Rithy Panh ingin merekonstruksi kembali sejarah bangsanya tersebut, memori tentang betapa mengerikannya era Khmer Merah ketika harus menyaksikan keluarganya disiksa dan dipukuli. Yang menjadi masalah lain adalah tidak ada arsip yang dapat mendukung usahanya tersebut, tidak ada benda fisik seperti foto yang tersisa, hal yang memaksa Rithy Panh menggunakan cara lain untuk menggambarkan kisah kelam itu, sebuah panggung berisikan boneka tanah liat.


Jujur saja ketika pertama kali mendengar berita bahwa Kamboja mengirimkan sebuah film documenter sebagai wakil mereka ke ajang Oscar tahun lalu di kategori Best Foreign Language, ada sedikit rasa aneh yang muncul. Di satu sisi muncul pertanyaan seperti apakah mereka serius, apakah mereka memang tidak punya film drama lain yang mumpuni, dan disisi lainnya justru hadir rasa penasaran dibalik sikap percaya diri tersebut, apalagi setelah mengetahui bahwa karya tersebut bukan sebuah dokumentasi biasa. Ya, ini tidak biasa, menggunakan tanah liat sebagai boneka di panggung sandiwara rekaan, The Missing Picture justru terasa sangat imajinatif.

Sejarah sebuah bangsa menjadi pusat utama disini, namun ketimbang terbentuk seperti proses mengamati yang berisikan informasi sejarah yang berpotensi menjemukan, The Missing Picture justru terasa seperti sebuah puisi personal dalam panggung boneka. Penonton tidak terbebani oleh materi, ada narasi puitis dan perlahan membawa kita mendekat pada sebuah kebenaran yang disampaikan dalam cara yang sederhana. Ya, sangat suka dengan pendekatan yang diterapkan, ratusan boneka dengan berbagai ekspresi bersama pakaian warna-warni berputar-putar dalam skenario yang justru selalu didominasi warna kelam dalam upaya berbagi rasa sakit yang ia miliki.

Ini yang menarik, walaupun mata terhibur dengan patung atau boneka sederhana yang konon diukir dengan tangan itu, disisi lain pikiran kita seperti terus dijaga dengan baik oleh Rithy Panh agar tidak keluar dari konsep utama, masa kelam Kamboja yang dipenuhi dengan tindakan brutal dari pemerintah. Pilihan untuk menyelipkan klip-klip propaganda didalamnya juga memberikan nilai positif lain, seperti mencampur aduk sisi personal dengan hal-hal yang lebih luas terkait negara, menekan isu dengan cara implisit, dari melihat ayahnya mati kelaparan dan menolak makanan dari pemerintah, hingga terror yang dilakukan rezim lewat aksi kerja paksa. Harus diakui dari sisi teknis penyampaian yang dilakukan berhasil memikat.


Lantas apakah The Missing Picture tidak punya titik lemah? Ia punya. Sejak awal meskipun punya misi yang besar The Missing Picture seperti dibangun dibalik sebuah kesederhanaan di berbagai sektor, sebut saja seperti penggunaan boneka tadi dan minimnya arsip. Nah, disini masalahnya, disamping dramatisasi yang menghipnotis itu informasi yang tersampaikan terasa kurang kuat. Kita dapat melihat apa yang masyarakat Kamboja rasakan pada saat itu, namun gerak yang terbatas menjadi penghalang bagi semua boneka itu untuk mengekspresikan perasaannya. Konflik kelam tersebut kurang berhasil menyentuh dan mempermainkan emosi penontonnya, hal yang seharusnya hadir mengingat upaya awal yang ingin ia lakukan.

Pada akhirnya sulit untuk bertumbuh lebih jauh bersama konflik. Peristiwa mengerikan itu tergambarkan dengan baik, dan dokumentasi kekejaman nasional juga terbentuk dengan mumpuni bersama ritme penceritaan yang rapi dan intens, meskipun narasi kerap terasa kurang fokus. Namun disamping itu juga banyak rasa yang seperti berada di zona netral, suasana menyenangkan kerap mencuri kesempatan dari kisah kelam untuk menarik rasa simpati penonton. Tidak heran di beberapa bagian saya sering merasakan seperti sedang berada didalam sebuah show room berisikan boneka lucu dengan seorang tour guide yang menjelaskan informasi sejarah yang mereka miliki.


Overall, The Missing Picture (L'image manquante) adalah film yang memuaskan. Ya, memuaskan, ia memang punya beberapa nilai minus yang uniknya tidak begitu menjadi permasalahan mengganggu, sama uniknya dengan penggunaan panggung boneka sebagai media penggambaran. Ini combo, mendapatkan informasi baru terkait sebuah bangsa yang dipenuhi rasa putus asa, namun juga memperoleh sebuah pertunjukkan teatrikal yang imajinatif dan menyenangkan. Manis.










Screened at 2014 Indonesia Arts Festival

0 komentar :

Post a Comment