"My job is to hunt terrorists. I don't negotiate. Within three days, I will find you. You can start counting."
Pada awalnya ia menyebut dirinya sebagai sebuah film
action dan thriller, kemudian setelah jauh berjalan mereka akan ditemani oleh
sisi crime dan sedikit misteri, namun semakin jauh lagi ia berjalan kita akan
menemukan sebuah twist pada warna cerita yang melengkapi berbagai genre tadi.
Yap, warna-warni, tidak masalah jika berhasil dibentuk menjadi sebuah kemasan
yang solid, sesuatu yang tidak mampu dicapai oleh film ini. 3 Days To Kill, it’s stupid, it’s messy,
it's actually could be a sweet enough story about disposition.
Karena sebuah insiden, seorang agent CIA yang sangat
berpengalaman bernama Ethan Renner (Kevin
Costner) di diagnosis telah menderita kanker otak yang berkoneksi dengan
paru-paru, penyakit yang mungkin akan menyebabkan Ethan suatu ketika memperoleh
momen dimana ia kehilangan kontrol pada keseimbangan tubuhnya. Ethan bahkan
hanya punya kesempatan hidup dalam hitungan bulan, dan dengan otomatis
diberhentikan dari CIA. Ethan
kemudian mencoba memanfaatkan waktu tersisa yang ia miliki untuk menebus
kesalahan yang selama ini ia lakukan pada putri tercintanya yang selama ini ia
tinggalkan, Zoey (Hailee Steinfeld).
Momen yang tepat datang pada Ethan, ketika mantan
istrinya, Christine (Connie Nielsen),
harus meninggalkan Paris untuk urusan pekerjaan dan menitipkan Zoey kepada
Ethan. Namun proses upaya untuk membangun hubungan harmonis yang telah hilang
bersama Zoey ternyata mendapat rintangan. Sumbernya adalah Vivi Delay (Amber Heard), CIA’s
elite assassins, yang ternyata memiliki obat untuk membantu Ethan bertahan
hidup lebih lama, namun mengajukan sebuah syarat dimana Ethan harus membantunya
bukan hanya dalam menemukan tapi juga membunuh The Albino (Tómas Lemarquis) dan The Wolf (Richard Sammel).
Jika ada kategori yang berisikan film-film yang mampu
memberikan kejutan kepada penontonnya pada sisi warna cerita, mungkin 3 Days To Kill dapat menjadi salah satu
pilihan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, action dan thriller merupakan dua
genre utama yang ia usung, kemudian dibalut bersama sentuhan crime yang
berisikan misteri, bahkan poster yang diberikan juga cukup mampu menggambarkan
kesan gelap yang dengan otomatis membentuk ekspektasi penontonnya. Jika anda
merupakan salah satu dari mereka yang berharap mendapatkan sebuah cerita spy
dengan tensi tinggi penuh tembakan dan ledakan, segera buang jauh-jauh hal
tersebut, karena fakta yang akan anda dapatkan sangat berbeda, dalam konteks
negatif.
Permasalahan utama film ini terletak pada tone cerita.
Mungkin tidak akan menjadi sesuatu yang sangat mengejutkan ketika 3 Days To Kill pada akhirnya tampil
terlalu ringan jika anda terlebih dahulu mengenal tiga sosok yang berada
dibelakang kendali utama. Ada McG (Charlie's Angels, This Means War)
sebagai sutradara, kemudian cerita ditulis oleh Adi Hasak (From Paris with Love) dan Luc Besson (Taken, The Family). Boom, sebuah kombinasi yang
lengkap, tidak heran kita akan menemukan sebuah cerita dengan permasalahan
utama yang sederhana jika tidak ingin disebut dangkal, terus menggantung
sembari bergerak mondar-mandir tanpa arah yang kuat, serta unsur komedi yang
dipaksakan dengan beberapa pengulangan yang tidak bekerja dengan baik.
Dari segi cerita, akan sangat mudah untuk memahami
maksud dan tujuan yang ingin disampaikan dan dicapai oleh Adi Hasak dan Luc Besson,
namun yang menjadi masalah adalah mereka tidak mampu menyatukan dua cerita
menjadi sebuah kesatuan. Terlalu optimis mungkin lebih tepatnya, karena sejak
awal saja mereka sudah membangun banyak jalan tanpa menyertakan satu clue atau
plot tunggal dan kuat yang mampu menjadi pegangan bagi penontonnya. Ini film
apa? Thriller? Action? Atau justru Comedy? Semua dibangun dalam kapasitas yang
sama tapi tidak dibentuk dengan kepadatan yang mumpuni, menyebabkan tiap
pergeseran warna yang ia hadirkan terasa sangat kasar, dan dipaksakan.
Berantakan.
Sebut saja 3
Days To Kill adalah petualangan sempit yang bergerak random sesuka hati,
dan jika anda dapat memaafkan hal tersebut mungkin ini dapat menghibur.
Tumpukan sub plot yang canggung tanpa tujuan, tanpa urgensi, mencoba serius
namun juga mencoba tampil lucu secara bersamaan, ditemani karakter yang tipis
dalam cerita yang bergerak lambat dan kerap kehilangan momentum. Jika mereka
mau memilih untuk menjadikan salah satu plot sebagai inti utama, ini mungkin
dapat menjadi sebuah kemasan bodoh dan ringan yang menyenangkan, kita bahkan
mungkin akan sedikit memaafkan karakter yang kekurangan emosi dan chemistry
antara Kevin Costner dan Hailee Steinfeld, hingga Amber Heard yang kurang berhasil
mewujudkan feel dari seorang femme fatale yang seksi.
Overall, 3 Days
To Kill adalah film yang kurang memuaskan. Tentu bodoh mengharapkan sebuah
hiburan yang cerdas dari tipe film seperti ini, namun tidak salah untuk
mengharapkan hiburan bodoh yang mampu menghibur. 3 Days To Kill tidak mampu menyajikan hal tersebut, ia terlalu
sombong dalam menebar berbagai plot dengan warna yang berbeda, berupaya membuat
dirinya tampak megah namun justru disisi lain ikut menjadikan ia sebuah film
yang seperti tidak tahu ingin menjadi apa, film yang tidak punya identitas. Ini
tidak hancur, tidak membosankan malah, namun diluar adegan yang berisikan lelucon menarik seperti ringtone I Love It, serta kehadiran The Albino dan The Wolf,
ini adalah sebuah drama komedi yang datar.
0 komentar :
Post a Comment