11 January 2014

Movie Review: The Wolf of Wall Street (2013)


"Opportunity Is everything."

People create their own problems. Ya, berawal dari mimpi, kemudian hadir ambisi, disusul dengan nafsu untuk menjadi lebih besar dan lebih baik, kombinasi tiga hal yang berasal dari diri kita sendiri tersebut yang kemudian dapat menciptakan masalah apabila kita tidak mampu mengendalikan diri dengan baik. Hal tersebut digunakan oleh Martin Scorsese dalam karya terbarunya yang solid, liar, dan gila ini, The Wolf of Wall Street, a sweet over the top hedonism explosion. This is obscene.    

Dibawah bimbingan Mark Hanna (Matthew McConaughey), boss Wall Street dengan pola kehidupan bebas bersama seks dan kokain, dalam waktu singkat Jordan Belfort (Leonardo DiCaprio) berhasil berubah dari seorang pria biasa menjadi ahli stockbroker dengan penghasilan yang luar biasa tiap bulannya. Dari sana kehidupan Belfort semakin besar, berawal dari insiden Black Monday, Belfort mengikuti saran dari istrinya, Teresa (Cristin Milioti), hijrah ke Long Island dan masuk ke perusahaan yang justru memberikannya keuntungan jauh lebih besar.   

Keberhasilan tersebut menjadikan rasa percaya diri Belfort tumbuh semakin tinggi, dan bersama bantuan ayahnya, Max (Rob Reiner), serta Donnie Azoff (Jonah Hill) dan rekan lainnya, Belfort kembali menelurkan kesuksesan dengan menyulap perusahaan kecil yang ia namai Stratton Oakmont menjadi sebuah perusahaan investasi raksasa. Namun sikap agresif yang ia miliki semakin tidak terkendali, perlahan membawa Belfort kedalam masalah dengan melibatkan wanita cantik bernama Naomi Lapaglia (Margot Robbie), hingga Patrick Denham (Kyle Chandler).


Setelah ia bergerak tidak begitu jauh dari garis awal sangat mudah untuk kemudian menggumamkan satu kata: gila! Ya, ini gila, Martin Scorsese membuktikan bahwa ia merupakan sutradara yang selalu mampu bermain dibanyak warna cerita lewat upaya menghadirkan penggambaran dari drama bertemakan moralitas dengan cara yang sangat liar. Kecanduan narkoba, pelacur, perselingkuhan, aksi saling tipu saham dan investor ratusan juta dolar, dikombinasikan bersama ketelanjangan tanpa rasa takut, The Wolf of Wall Street bukan hanya menjadi biografi dari sosok nyata bernama Jordan Belfort, namun juga wujud sebuah sindiran tajam dari seorang Scorsese terhadap budaya keserakahan.

The Wolf of Wall Street adalah sebuah kemasan menyenangkan yang mencoba melemparkan tragedi tanpa sekalipun jatuh ke lingkup menghakimi. Penuh sesak dengan hadirnya pengulangan yang terkesan bertele-tele dan berlebihan, selama hampir tiga jam kita akan diajak untuk mengamati potret dari gaya hidup hedonistik dalam gerak cerita yang selalu dinamis dan cekatan, menelusuri kehidupan Jordan Belfort dari ketika ia hanya seorang pria biasa hingga menjadi sosok yang dikagumi lengkap dengan kegembiraan penuh pesta pora, kemakmuran dengan kemewahan melimpah, serta ujian yang menemani dalam balutan kombinasi antara mimpi, ambisi, dan self-control.

Ya, self-control, dibalik tampilan luas miliknya yang mungkin akan terkesan tidak memiliki tujuan yang kuat dan dipenuhi dengan omong kosong berlebihan itu The Wolf of Wall Street sesungguhnya hanya mencoba menggambarkan satu hal sederhana dari naskah yang ditulis ulang oleh Terence Winter ini, bagaimana pentingnya kemampuan kita untuk mengendalikan serta menyeimbangkan kehidupan. Sangat sederhana, bahkan Scorsese sejak awal seperti tidak ingin mencoba bergerak terlalu jauh saat membentuk pesan yang ia bawa, menghindari cara rumit dan kompleks, dan justru hendak membawa penonton mengerti niat utamanya lewat cara hanyut dalam aksi menertawakan perilaku buruk yang membawa mimpi buruk bersama dominasi kehadiran komedi hitam.


Konsep yang diusung Scorsese pada film ini adalah dengan menciptakan cerita yang terus mengalir dengan powerfull serta dipenuhi kegaduhan tanpa henti, menyapu penontonnya kedalam jeratan narasi konvensional yang terus mencuri atensi, struktur cerita yang cantik bersama sikap totalitas dan komitmen yang tampil tanpa rasa takut. Proses menghancurkan karakter ini berhasil menjadi sebuah alarm terkait sikap hedonisme, dengan gerak gelisah yang dipenuhi kepanikan dan ratusan F-word, terkadang juga terasa absurd, lewat sebuah refleksi menjijikkan dari sikap berlebihan yang tidak pernah puas.

Yang menjadi masalah disini adalah dengan keberadaan Martin Scorsese di bangku kendali, The Wolf of Wall Street sudah terlanjur dengan cara yang sangat mudah menghadirkan ekspektasi akan hadirnya sesuatu yang besar dalam kemasan yang besar. Hal tersebut menyebabkan pesan sederhana yang sesungguhnya sangat powerfull itu akan terkesan terlalu berlebihan pada proses penggambaran yang bahkan mungkin akan terasa melelahkan bagi sebagian orang, walaupun sepanjang durasi saya tidak menemukan momen membosankan meskipun ia punya momentum yang seperti melemah ketika kita mulai keluar dari pesta dan masuk kedalam duka. Keinginan Martin Scorsese untuk menghadirkan kekacauan yang liar dan terkendali juga sangat terbantu berkat kinerja memikat divisi akting.

Ini mungkin kinerja terbaik dari seorang Leonardo DiCaprio dari daftar film miliknya yang telah saya tonton, ia bersinar di dalam totalitas pada upaya menyeimbangkan sisi karismatik bersama sisi hitam yang dimiliki Belfort. Oscar? Hmmm. Begitupula dengan Jonah Hill dengan gigi putihnya, dan Margot Robbie yang secara mengejutkan bukan hanya tampil sebagai pemanis belaka. Scorsese juga cerdik dalam membentuk karakter kecil yang dimainkan dengan baik oleh deretan sosok yang sudah tidak asing lagi, dari Cristin Milioti, Jean Dujardin, Matthew McConaughey, Spike Jonze, Kyle Chandler, hingga Jon Favreau.


Overall, The Wolf of Wall Street adalah film yang memuaskan. Mungkin ia akan terkesan terlalu berlebihan serta tidak memiliki point utama yang begitu penting, karena pesan sederhana terkait self-control dengan menggunakan tema hedonisme itu disembunyikan oleh Martin Scorsese didalam struktur yang sengaja ia bangun kedalam sebuah studi karakter yang tampil penuh totalitas dan komitmen, berkilau dalam gerak yang terasa liar, namun tetap terkendali. Yay, segmented.



2 comments :

  1. pnmpilan terbaik kedua stlh shutter island.. just my opinion

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yeah, selevel dengan Aviator dan Departed. :)

      Delete