29 December 2013

Movie Review: All Is Lost (2013)


"I fought 'til the end, I'm not sure what this worth, but know that I did."

Jangan menyerah. Ya, anda pasti sudah sangat familiar dengan kalimat tadi, sebuah ajakan sederhana yang mampu menghadirkan semangat tidak peduli darimana ia berasal, eksternal maupun internal. All Is Lost mencoba menggambarkan power dari kalimat tadi yang berasal dari internal, satu jalur, satu tokoh, a segmented and solid survival stories.   

Pria tua tanpa nama yang akan kita kenal dengan sebutan Our Man (Robert Redford) ini menyampaikan sebuah pesan berisikan betapa ia telah mencoba semaksimal mungkin untuk menjadi kuat dan bertahan hidup, namun pada akhirnya semua hilang. Our Man baru saja mengalami sebuah peristiwa menakutkan, dimana selama delapan hari ia terombang-ambing seorang diri di luasnya samudera hindia ketika sedang berlayar menggunakan yacht pribadi.

Tidak sesederhana itu karena disaat bangun pagi ia telah menemukan aliran air yang masuk kedalam kabin kapalnya. Penyebab dari robekan di lambung kapal itu adalah sebuah peti kemas, yang dengan akal yang ia miliki berhasil diatasi dengan mudah oleh Our Man. Yang menjadi masalah utama adalah peristiwa tersebut merupakan awal dari berbagai rintangan yang telah menanti Our Man, membawa ia masuk kedalam pertarungan antara manusia dan alam, dari navigasi, sistem komunikasi, hingga hanya mengandalkan naluri.


All Is Lost adalah sebuah kemasan mentah yang terasa nikmat. Film ini tidak mencoba untuk keluar dari formula film tipe serupa layaknya Cast Away, 127 Hours, Life of Pi, hingga Gravity, namun hal utama yang menyebabkan ia terasa seperti sebuah kemasan segar ditahun ini adalah keputusan J. C. Chandor untuk mengurung karakter utama seutuhnya. Ya, seutuhnya, sejak awal hingga akhir kita hanya disuguhkan upaya bertahan hidup dari seorang pria tua, yang di titik awal sudah memberikan sebuah clue, tanpa ditemani karakter lain. Tidak ada ancaman seperti Richard Parker, atau hiburan kecil seperti yang diberikan oleh Mr. Clooney di Gravity, penonton hanya dilemparkan sebuah objek observasi tunggal yang celakanya bahkan hanya dibekali dialog yang minim.

Mungkin lebih tepatnya sangat minim, karena Robert Redford lebih banyak bermain di ekpresi tubuh dan wajah untuk membawa penonton masuk kedalam proses survival bertahap yang ia hadapi, dan celakanya hal tersebut berhasil bekerja dengan baik. Semangat, tekad, rasa sakit, hingga frustasi, semua berhasil tergambarkan dengan cantik oleh Redford, dan kemudian berpadu dengan kemampuan J. C. Chandor dalam mengendalikan cerita. Ya,seperti yang pernah ia lakukan pada Margin Call, Chandor kembali membuktikan kemampuannya dalam mengubah konflik sederhana menjadi sebuah petualangan kompleks yang padat dan tidak overdo.

Padat, dalam satu jalur lurus ide yang simple itu dibangun dengan cermat dan cekatan. Ada sebuah tempo yang memikat dari dinamika cerita yang ia tampilkan, ketegangan tingkat tinggi yang kemudian diselingi dengan kelembutan dari proses merenung karakter utama. Memang sedikit kacau, namun ada nafas kehidupan yang menawan dari irama yang ia suntikkan pada kisah isolasi ini. Ya, kesuksesan terbesar yang berhasil diciptakan All Is Lost adalah kemampuan dari Chandor mengeksekusi upaya utama dari tipe film seperti ini, membuat penontonnya terjebak bersama karakter, semakin dalam rasa terjebak yang anda rasakan, semakin besar kenikmatan yang anda peroleh.

Yang menarik disini adalah seperti yang disebutkan sebelumnya ada sebuah kompleksitas dibalik tampilan sederhana yang All Is Lost miliki. Dengan cara yang berani film ini mampu menghadirkan sebuah pertumbuhan yang mumpuni, intens, dan intim dari perjuangan inspiratif. Petualangan emosional bersama kedalaman karakter sukses menghantarkan semangat untuk tanpa lelah mencoba berbagai upaya untuk bertahan hidup hingga harapan terakhir dengan disertai pergeseran warna cerita yang terasa halus, dari penuh energi menuju lelah, kemudian rasa sabar hingga putus asa. Andai saja Chandor mau sedikit menambahkan monolog dari karakter utama kisah ini akan terasa semakin mematikan.

Benar, semakin mematikan, bahkan All Is Lost imo punya potensi yang sama besar jika dibandingkan dengan Gravity pada sektor cerita dasar. Hal tersebut yang menjadi penyebab kurangnya rasa klimaks dibagian akhir, walaupun sangat suka dengan keputusannya untuk tampil ambigu, sama halnya dengan cinematography mumpuni dari G. DeMarco dan Peter Zucarini, visual yang tepat guna dan berhasil menyuntikkan sisi lain terkait sang pencipta, serta scoring dari  Alex Ebert yang banyak membantu mempertebal makna dari ekspresi menawan yang ditampilkan Robert Redford. Ya, menawan, hanya dengan mengandalkan dominasi ekspresi tubuh dan wajah untuk bercerita Robert Redford berhasil menampilkan salah satu performa yang memorable di sektor actor pada tahun ini.


Overall, All Is Lost adalah film yang memuaskan. Sebuah pembuktian terbaru dari J. C. Chandor, menghadirkan kompleksitas terselubung dibalik tampilan sederhana yang berani, minim dialog, performa kuat dari Robert Redford, sukses menghadirkan semangat kehidupan dan sikap pantang menyerah. Ini adalah film yang sangat menuntut penontonnya untuk melakukan investasi emosi bersama karakter, karena kepuasan utama bersumber dari sana. Segmented.



3 comments :

  1. Baru nonton filmnya kemarin di HBO, ikut membayangkan betapa sulit si karakter berjuang keras tetap hidup melawan alam

    ReplyDelete
  2. baru nonton td di hbo. film ini perenunggan sy ketika menghadapi kondisi yg sukar apa tetap berahan at menyerah, di sini sy di lihatkan sebagai manusia sy sangat kecil tiada arti.. terus berjuang bahkan di saat yg paling tersulit pertolongan Tuhan sedang menguji iman ku

    ReplyDelete