17 November 2013

Movie Review: Gloria (2013)


Apakah hal sederhana ini pernah terlintas di pikiran anda, sebuah kondisi dimana kelak ketika berada pada usia senja anda sudah tidak lagi memiliki pasangan hidup, semua anak anda sudah hidup mandiri, menikah dan menjalani kehidupan masing-masing, mulai kekurangan perhatian dan perlahan merasa kesepian. Mengerikan bukan? Wakil dari negara Chile pada pertarungan Best Foreign Language Film Oscar 2014 ini mencoba menggambarkan konsep tersebut, sebuah studi karakter yang dipenuhi dengan observasi mengasyikkan, Gloria.

Gloria Cumplido (Paulina García), wanita tua ini punya jiwa yang sebenarnya kurang cocok untuk menggambarkan usianya yang telah 58 tahun itu. Gloria bernyanyi didalam mobil dengan riang gembira, hingga menari yang kerap ia gunakan sebagai sarana untuk menarik perhatian para pria. Ya, wanita yang menyandang status janda ini merupakan sosok yang kesepian, semua merupakan dampak dari ironi dimana ia tidak lagi memperoleh feedback dari perhatian yang ia berikan pada kedua anaknya, Pedro (Diego Fontecilla) dan Ana (Fabiola Zamora), yang kini telah hidup mandiri.

Suatu malam Gloria bertemu dengan Rodolfo Fernández (Sergio Hernández), seorang mantan perwira angkatan laut yang kini harus terus menggunakan korset. Hubungan intim dengan cepat dan singkat terbangun diantara mereka, namun celakanya Rodolfo yang juga merupakan seorang duda masih belum mampu lepas dari jeratan ketergantungan anak dari pernikahannya terdahulu. Hubungan mereka bahkan masih dijadikan sebuah rahasia oleh Rodolfo, hal yang kemudian semakin menghadirkan rasa ragu pada Gloria terkait komitmen dari Rodolfo. Namun uniknya petualangan tersebut juga menjadi kesempatan bagi Gloria untuk memahami dirinya sendiri.


Gloria bukanlah sebuah film yang rumit, ini hanya kumpulan isu-isu menarik yang mayoritas berada dalam level umum, dengan menggunakan cara mencoba mengeksplorasi hasrat dari seorang wanita tua kesepian yang belum mampu lepas dari semangat muda yang ia miliki, yang juga menjadi penyebab dari upaya ia untuk lepas dari kurungan batin yang menyakitkan (Skeleton dance yang menyayat hati itu). Sederhana, bagaimana ketika wanita yang kerap kali digambarkan sebagai sosok yang menggunakan perasaan dalam mengambil tindakan harus menghadapi gejolak pada kehidupan seorang diri di hari tuanya.

Benar, sederhana, namun script yang ditulis oleh Sebastián Lelio bersama Gonzalo Maza ini justru terasa berat di dalam. Ini seperti menyaksikan kombinasi antara drama dan sedikit komedi yang dijalankan dengan nafas tragedi penuh ironi. Tampak ringan di luar, namun kompleks didalam. Sebastián Lelio berputar pada konsep kematangan dan konsistensi individu, dikemas dalam narasi yang padat dan efisien, menciptakan intimitas yang kuat dari sebuah studi karakter yang dijalankan dengan cermat. Anda diajak bergembira dalam tawa dan lagu mengasyikkan, kemudian masuk ke momen penuh rasa kecewa, kombinasi memikat keduanya akan membuat penonton berakhir pada proses membandingkan yang hebatnya selalu meninggalkan pesan menarik.   

Film ini bahkan sebenarnya tidak punya sebuah jalur yang jelas dengan garis finish di penghujung cerita, ia juga punya banyak bagian yang mungkin akan terkesan bertele-tele dan tidak menciptakan perkembangan yang berarti pada cerita. Namun di situ justru kunci dari kenikmatan yang Gloria berikan, Sebastian Lelio ingin menciptakan ruang agar penontonnya dapat dengan seksama mengamati pertumbuhan dari karakter utama, memahami setiap tindakannya yang uniknya berhasil menggambarkan sisi gelap dan terang dari banyak fakta yang punya peluang cukup besar untuk berputar pada pikiran setiap orang.


Gloria semakin terasa nikmat karena semua hal tadi di bangun dengan cara yang ringan, bahkan untuk konflik berat sekalipun. Petualangan singkat yang bergerak dalam tempo yang dinamis itu dengan cerdas berhasil menciptakan begitu banyak isu lewat pertanyaan, contohnya seperti “apakah dua orang yang masing-masing pernah gagal dalam pernikahan mereka dapat bersatu dalam kebahagian?” atau “apakah anda harus memiliki pasangan untuk merasa bahagia?” Ia bahkan sanggup memprovokasi kaum muda dengan cara implisit yang memikat perihal seberapa besar kasih dan cinta mereka kepada orang tua, apakah mereka pernah merasa khawatir sama seperti apa yang orang tua mereka selalu rasakan pada mereka.

Ya, Gloria berhasil menggambarkan bagaimana kehidupan setiap manusia tidak sesederhana yang mereka pikirkan, kompleks, dan terus belajar dengan bermain bersama sensitifitas pada opsi serta kehancuran yang muncul dari tindakan ceroboh. Ini bahkan mampu menjadi alarm bagi kaum muda lewat penggambaran masa tua yang tidak indah dan mungkin akan mulai menyusun rencana masa depan, namun juga tidak lupa menyentil kaum lanjut usia contohnya dengan satu pernyataan sederhana, “anda tidak dapat selamanya merasa muda.” Semua disampaikan lewat proses mengamati, jauh dari kesan menggurui, dan dikemas dengan lembut, jujur, cerdas, lucu, dan menyenangkan.

Elemen lain yang membuat film ini terus hidup dan menarik hingga akhir padahal isu dan konflik yang ia bangun tidak begitu megah adalah kemampuan Paulina Garcia membentuk sosok Gloria menjadi sangat-sangat menarik. Ia berhasil membuat penonton terus menaruh simpati dan empati pada konflik dan gejolak batin yang dialami oleh Gloria, menyampaikan perasaan yang ia miliki hanya dengan cara sederhana seperti ekspresi wajah dan tawa kecil, dan tidak ada satupun bagian dimana ia tampak overdo dalam membangun karakternya. Memukau.


Overall, Gloria adalah film yang memuaskan. Ketika ia berakhir, film ini terasa seperti sebuah hiburan yang biasa, namun ketika mencoba mengulas kembali semua pesan tentang kehidupan bagi kaum muda dan tua dalam skala kecil yang ia tinggalkan di banyak bagian, menyatukan mereka dengan konsep utama, saya merasa penilaian awal tadi adalah sesuatu yang memalukan. Gloria bukanlah sebuah petualangan dimana anda akan memperoleh angka sepuluh yang utuh di garis finish, namun sebuah proses mengumpulkan banyak point kecil di sepanjang cerita melalui observasi karakter utama, kemudian merangkai mereka di akhir cerita. Segmented. 



0 komentar :

Post a Comment