24 November 2013

Movie Review: 12 Years a Slave (2013)


"I don't want to survive. I want to live."

Rasisme sebenarnya bukan sebuah masalah, melainkan suatu budaya yang sudah lahir sejak ratusan tahun yang lalu, sebuah penyakit yang tidak bisa hilang dalam sekejap. Butuh proses, butuh alarm yang berfungsi untuk terus mengingatkan kita pada betapa kejinya tindakan tidak manusiawi tersebut. 12 Years a Slave sukses besar dalam menjadi alarm paling baru, seperti menyaksikan Django Unchained dalam warna yang lebih gelap, dengan cara sederhana menghadirkan pengamatan yang intens dan mengerikan dari isu kemanusiaan. Oscar?  

Pada tahun 1841, ketika bangun dari tidurnya, Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) mendapati ia telah terkurung pada sebuah ruangan gelap gulita dalam kondisi terikat. Itu mengejutkan, karena ia tahu persis bahwa kedatangannya ke Washington (setelah sebelumnya melepas istri dan dua anaknya yang juga keluar kota meninggalkan kediaman mereka di Saratoga, New York) untuk menerima tawaran pekerjaan. Northup kini menjadi tawanan, siap diperjual belikan menjadi budak, menyandang nama baru “Platt”, dan berakhir ditangan William Ford (Benedict Cumberbatch) yang membelinya dari pedagang bernama Theophilus Freeman (Paul Giamatti).   

Northup selalu mengatakan bahwa ia berstatus sebagai seorang free man, sebutan bagi kaum kulit hitam yang bukan budak. Memang benar, Northup bahkan merupakan seorang pria yang cerdas, hal yang kemudian memicu rasa benci dari John Tibeats (Paul Dano). Namun sayangnya ketika perlahan mulai mendapatkan atensi dari Ford, Northup harus berhadapan dengan sosok baru bernama Mary Epps (Sarah Paulson) serta Edwin Epps (Michael Fassbender), seorang pengusaha perkebunan kapas yang sangat kasar dan rasis, sosok yang menilai bahwa ia punya hak untuk menyiksa budak yang ia miliki karena hal tersebut tertulis dalam kitab suci.   


Film dengan tema perbudakan yang mencoba menggambarkan bagaimana kejamnya perlakuan yang diterima kaum kulit hitam memang tidak akan pernah mati. Itu mengapa diawal tadi saya menyebut 12 Years a Slave sebagai “Django Unchained dalam warna yang lebih gelap”, karena tujuan utama mereka sebenarnya sama saja, ingin mencoba membawa penontonnya mengamati isu yang pada dasarnya sama, tentang kemanusiaan dalam petualangan penuh siksaan dan tekanan. Namun apa yang menjadikan 12 Years a Slave terasa lebih menarik adalah ia memilih untuk mengolah isu tadi dengan cara yang jauh lebih serius, yang kemudian membuat film ini sangat sulit untuk diberikan label sebagai sebuah kisah yang menyenangkan.

Ini jelas menarik, bagaimana isu yang sebenarnya sudah terlalu umum tersebut berhasil ditulis ulang oleh John Ridley dari sebuah autobiography berjudul Twelve Years a Slave karya Solomon Northup, dalam struktur yang tidak hanya halus namun juga berani. Ridley tidak ingin membuat penontonnya lepas dari cengkraman tekanan yang di miliki cerita, ini seperti masuk ke dalam sebuah ruangan gelap dan kemudian terus ditekan dalam permainan psikologis penuh rasa takut yang tidak hanya membuat sakit mata penontonnya, namun terus berjalan hingga mencapai pikiran dan perasaan. Ia bahkan sengaja bergerak mondar-mandir untuk memberikan ruang observasi, yang kemudian di eksekusi dengan baik oleh Steve McQueen.   

Steve McQueen kembali melakukan apa yang ia berikan pada Hunger dan Shame, berupaya menjadikan penonton semakin tenggelam dalam konflik utama. Dengan penuh rasa percaya diri McQueen sukses membentuk hal-hal mengerikan dengan cara sengaja melepas mereka untuk berjalan lambat dan sedikit berlama-lama agar penindasan yang ia hadirkan secara perlahan mencuri rasa bahagia penonton dan menggantinya dengan situasi yang jauh lebih gelap. Ini memang sedikit terkesan dipaksa, namun anehnya tidak berubah menjadi sesuatu yang menjengkelkan karena ia dibentuk dengan cara yang cerdas, ditemani score karya Hans Zimmer  yang menghantui, ia tahu bermain dengan dinamika serta memanfaatkan momentum cerita, secara bertahap membuat penonton terperangkap dalam kisah penuh kebrutalan torture porn tanpa henti, dari pukulan, cambuk, digantung di pohon, hingga cara paling halus dengan menggunakan lagu.


12 Years a Slave seperti sebuah proses dari studi psikologis. Terus bergerak stabil dengan irama yang terkendali, ia sangat menuntut penonton untuk setidaknya bersedia menaruh sedikit investasi emosi mereka bersama karakter, seolah ikut merasakan apa yang karakter rasakan, bukan hanya sekedar mengamati. Ya, karena McQueen tidak menggunakan teknik bercerita yang menjelaskan dan mengurai secara mendetail, bukan sekedar menghadirkan pertanyaan dengan dua opsi benar atau salah, melainkan bagaimana penontonnya menilai aib sosial ini jika hal tersebut terjadi pada mereka, dari rasa putus asa, perjuangan mempertahankan harga diri, rasa takut melakukan tindakan benar karena berada dalam sisi minor, hingga kombinasi rasa takut dan nafsu yang dapat memberi dampak kehancuran emosi.   

Cukup riskan untuk mengurai film ini terlalu jauh, karena pada dasarnya konflik yang ia miliki sangat sempit, seorang pria yang menjadi budak selama 12 tahun. Perputaran cerita bahkan hanya berisikan kekejaman demi kekejaman yang saling menyambung, di bentuk dengan teliti, intens, dan sangat stabil. Sedikit kehabisan kata-kata memang untuk menggambarkan film ini, ketika ia hadir dilayar ia mampu membuat saya terdiam selama dua jam lebih, dan ketika berakhir kekacauan menawan yang ia tampilkan itu masih terus menghantui. After effect yang ia berikan sangat kuat, sama kuatnya dengan totalitas Steve McQueen dalam membangun kisah ini, ia seperti ingin menunjukkan penderitaan dengan cara tunggal, benar-benar membuat karakter merasa menderita. Itu mengapa ketika penontonnya telah menaruh simpati pada karakter, ending yang terkesan netral itu justru terasa seperti sebuah grand prize yang membahagiakan.   

Divisi akting menjadi kekuatan utama lainnya, salah satu ensemble cast paling memikat tahun ini. Bintang utamanya tentu Chiwetel Ejiofor, melalui ekspresi mata dan wajah ia mampu menghadirkan kegigihan dan kehancuran dengan sama baiknya. Oscar? Titik tertinggi mungkin belum pasti, namun sekedar nominasi Chiwetel Ejiofor berada di posisi terdepan. Cerita yang berjalan stabil juga selamat berkat kemampuan cast lain mencuri atensi, dari Benedict Cumberbatch, Brad Pitt, Alfre Woodard, Paul Giamatti, Paul Dano, mereka menarik, hingga Sarah Paulson dengan sikap kurang manusiawi. Lupita Nyong'o muncul sedikit berada didepan mereka, bagian dari sebuah scene memilukan. Namun sosok selain Ejiofor yang terus memukau setiap kali ia muncul ialah Michael Fassbender, aksi gila penuh obsesi yang sangat meyakinkan. Quvenzhané Wallis hanya tampil sesaat.


Overall, 12 Years a Slave adalah film yang memuaskan. Ini adalah Lincoln tahun 2013, menghadirkan proses berisikan pengamatan yang sangat mudah untuk di cintai, punya divisi akting yang kuat serta tatanan produksi memikat, totalitas yang berkualitas, serta eksekusi powerfull dan kokoh pada pesan utama. Mudah untuk mengatakan bahwa 12 Years a Slave pasti akan menjadi salah satu bagian terkuat pada Oscar tahun depan, namun yang menjadi pertanyaan apakah ia mampu meraih tampuk tertinggi, karena sama seperti Lincoln ia tidak punya kejutan yang mengagumkan, menghadirkan siksaan secara stabil sejak awal hingga akhir, beresiko besar tergusur oleh film yang memperoleh ledakan buzz dari faktor x yang mereka miliki dalam perlombaan menuju garis finish, layaknya Argo tahun lalu. Segmented. 








Screened at 2013 Jakarta International Film Festival

0 komentar :

Post a Comment