21 October 2013

Movie Review: Wadjda (2012)


Apakah anda tahu bahwa Arab Saudi tidak memiliki tempat bersenang-senang yang biasa kita sebut bioskop? Saya juga baru tahu beberapa tahun yang lalu dari seorang sahabat, dan kala itu reaksi saya hanya sebuah kalimat, “Oh, oke,” karena pikiran saya langsung terarah pada sistem yang mereka terapkan. Itu mengapa ketika muncul berita bahwa Arab Saudi untuk pertama kalinya memutuskan ikut serta dalam pertarungan Best Foreign Language Oscar, Wadjda seketika menarik atensi dengan satu pertanyaan, apa yang ia miliki sehingga dapat meluluhkan salah satu negara konservatif yang sangat religius dengan aturan ketat tersebut.

Perempuan itu bernama Wadjda (Waad Mohammed), remaja putri berusia 12 tahun dengan kepribadian tomboy dan sedikit jiwa rebel, jiwa pemberontak. Banyak aturan ketat di lingkungan tempat tinggalnya yang tidak ia lakukan, dari tidak menutup wajah secara menyeluruh, hingga bersahabat dengan lawan jenisnya yang bernama Abdullah (Abdullrahman Al Gohani). Jiwa yang pemberani itu pula kemudian menjadi awal mula sebuah misi Wadjda untuk mencapai impiannya, memiliki sebuah sepeda, walaupun disana anak perempuan mengendarai sepeda merupakan hal yang tabu karena dirasa kurang pantas.

Bekerja keras dari menjual gelang buatannya hingga menjadi jasa pengantar surat antar lawan jenis, terus berhadapan dengan gurunya, Ms Hussa (Ahd Kamel), Wadjda tidak perduli dengan hal tabu itu, dengan percaya diri meminta pemilik toko untuk menyimpan sepeda tersebut untuknya, dan terus fokus untuk menabung walaupun ia tahu Ibunya (Reem Abdullah) punya uang dalam jumlah yang ia perlukan, namun berencana menggunakan uang itu untuk menarik kembali perhatian suaminya yang perlahan mulai sirna.


Dibutuhkan waktu selama lima tahun untuk menciptakan film berdurasi 98 menit ini, dimana kendala pada izin dan dana menjadi faktor utama. Haifaa al-Mansour mengalami kesulitan dana hingga akhirnya bergabung dengan perusahaan produksi asal Jerman, namun yang lebih sulit adalah permasalahan eksternal, izin untuk melakukan pengambilan gambar sepenuhnya di Arab Saudi, hingga tidak adanya industri perfilman di Arab Saudi. Tidak sampai disitu, Haifaa al-Mansour bahkan katanya harus mengendalikan proses produksi Wadjda dilapangan hanya melalui monitor dari dalam sebuah mobil akibat aturan yang melarang wanita bekerja di kawasan umum bersama para pria. Ketat.

Yap, ketat, kita sudah tahu bahwa beberapa negara semenanjung Arab masih menerapkan sistem sedikit tertutup, yang justru menjadi topik utama yang ingin disampaikan oleh Wadjda. Dari luar memang tampak sederhana, seorang gadis muda yang berjuang untuk memperoleh sebuah sepeda, namun ternyata di balik itu tersimpan banyak kritik implisit yang jika dicermati terasa cukup tajam dalam menyentil hal-hal konvensional yang berlandaskan pada satu tema, kebebasan, dengan objek utama kaum wanita yang sepertinya masih hidup dalam keterbatasan yang tidak mengijinkan mereka untuk memperoleh kesetaraan derajat dengan kaum pria.

Sulit untuk mengatakan ini sebagai sebuah film yang berniat untuk menghadirkan revolusi, namun dengan menggunakan kekuatan dari optimisme film ini mampu menjadi sebuah penggambaran fakta untuk mencoba menyadarkan, membuka mata, serta menjadi inspirasi kaum hawa. Wadjda sangat berhasil dalam hal tersebut, sangat suka dengan cara ia mengupas sistem ketat dalam lingkup moral pada masyarakat, menggunakan beratnya kehidupan wanita di Arab Saudi, hanya dengan bersuara keras dan tertawa bisa dianggap mengumbar aurat, tapi cerdik dalam menggunakan hal-hal tersebut untuk menunjukkan harapan yang mereka inginkan, dan hebatnya disisi lain tidak pernah membawa anda masuk kedalam pemahaman untuk menilai bahwa pencipta sistem tersebut sebagai sosok yang salah.

Benar, seimbang, dan mungkin hal itu pula yang menjadi alasan dari Arab Saudi untuk pertama kalinya mengirim sebuah film menuju kompetisi Oscar, karena di satu sisi Wadjda mampu menjadi inspirasi dengan tampil berani, namun di lain sisi ia tidak merugikan pihak lain karena tidak terkesan menghakimi. Moral, budaya, semua diolah oleh Haifaa al-Mansour dengan cerdas, mungkin sedikit terkesan bermain aman, namun secara efektif berhasil menyampaikan banyak ide yang ada pada konsep yang ia susun, dari tekanan, percaya, dan kerja keras yang merupakan bagian kehidupan untuk menuju kebahagian, bahkan dengan cermat menyuntikkan isu gender dan poligami.

Tapi pilihan untuk bermain sedikit aman dengan menjaga tiap konflik untuk tidak melewati batas yang tampaknya sejak awal telah ia tetapkan itu pula yang menjadikan Wadjda pada akhirnya terasa kurang “boom”. Ini seperti kumpulan banyak ide menarik yang merupakan percabangan dari tema utama, hingga bagian tengah cerita tampil sangat memikat secara individual dan berhasil menjadi topik yang menarik untuk dibahas, namun masuk kedalam bagian konklusi tanpa power yang lebih besar dan lebih kuat, terlalu sederhana dan mengakibatkan after impact yang sesungguhnya sangat potensial jika melihat cara ia dibangun itu tidak berhasil mencapai titik tertinggi.


Overall, Wadjda adalah film yang memuaskan. Ini sederhana, dengan beberapa gambar manis berhasil memberikan nyawa pada tema kebebasan yang ia usung, menjadikan Waad Mohammed yang tampil memikat hadir sama nyata dengan petualangan yang juga sanggup tampil lucu, dengan cara yang cerdas dan cerdik berhasil menjadi inspirasi maupun kritik yang memikat, walaupun sedikit terkesan bermain aman dibagian konklusi. Wadjda adalah film dengan ide modern yang dikemas dalam sentuhan klasik. Oscar? Maybe.



2 comments :

  1. wow keren......jadi penasaran siapa nanti yg menang Best
    Foreign Language Oscar :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. bakal keren kalau Wadjda yang menang, juara di percobaan pertama. :)

      Delete