03 October 2013

Movie Review: Runner Runner (2013)


Apakah anda pernah mengalami hal ini, menyaksikan sebuah film yang di setiap adegan baru yang ia tampilkan selalu tersirat upaya untuk terus menerus menjadikan anda melihat ia sebagai sesuatu yang impresif, atau setidaknya menjadi semakin tertarik pada cerita yang ia bahas. Runner Runner masuk kejalur tersebut, namun celakanya justru terjerumus menuju arah negative dari upaya tadi yang ia coba terapkan, bekerja keras namun gagal, an uncompelling crime drama thriller.  

Richie Furst (Justin Timberlake), seorang mahasiswa di Princeton University, menghadapi fakta bahwa ia terancam untuk di keluarkan dari kampusnya karena menggunakan uang kuliahnya pada permainan yang semakin marak sekarang ini, poker online. Berawal dari jiwa pemberani Richie yang dengan penuh keyakinan menggunakan semua uangnya pada sebuah situs bernama Midnight Black justru berakhir bencana, walaupun pada akhirnya Richie tetap bersikukuh bahwa ia tidak salah, melainkan telah ditipu oleh website tersebut, yang kemudian membawa ia masuk kedalam misi yang lebih besar.

Menuju Kosta Rika, melalui bantuan Rebecca Shafran (Gemma Arterton), Richie bertemu dengan Ivan Block (Ben Affleck), seorang jutawan kaya raya pemilik bisnis poker. Tapi bukannya kesal, Ivan melihat ada sesuatu dalam diri Richie yang dapat membawa ia menuju kesuksesan yang lebih besar, dan kemudian menawarkannya pekerjaan dengan tanggung jawab dan keuntungan yang berdiri sejajar. Ya, singkatnya Richie sukses, namun tanpa ia sadari ia adalah pion yang berada diantara dua kubu, antara Ivan dan seorang pria bernama Shavers (Anthony Mackie).


Premis diatas cukup menarik bukan? Ya, bahkan sulit untuk mengatakan bahwa pondasi yang ia lemparkan tidak memiliki potensi sedikitpun untuk dapat menghibur. Dan tidak seperti biasanya, sulit untuk mengisi bagian pembuka ini dengan kelebihan ataupun keunggulan yang dimiliki oleh Runner Runner, karena ia tidak memiliki hal tersebut dalam skala besar yang mampu tinggal di memori anda ketika ia berakhir. Semua itu akibat komposisi hambar dan datar yang ia berikan kepada anda sepanjang 91 menit, sebuah audisi yang membosankan. Benar, audisi, seperti yang saya katakan di bagian awal tadi, ibaratkan saja anda seorang juri, dan setiap kepingan materi yang dimiliki Runner Runner sebagai peserta yang mencoba membuat anda tertarik pada mereka.

Celakanya, setiap peserta tampil dengan lagu yang sama, dengan cara penyampaian yang semuanya tetap saja standard. Bukankah itu membosankan? Tidak, namun menjengkelkan, sebuah penantian pada sesuatu yang lebih menarik namun sayangnya tidak kunjung tiba. Ada mobil mewah, kapal-kapal yang impresif, hingga jet pribadi, Brad Furman justru menjadikan script lemah dan berantakan dari Brian Koppelman dan David Levien menjadi kemasan dengan nafas Ocean’s film tapi berakhir menjadi versi yang lebih bodoh.

Oke, sedikit nilai positif mungkin terletak pada setting yang cukup mampu membuat mata anda terhibur dengan memanfaatkan pemandangan, tapi selain itu ini adalah kemasan berantakan yang membingungkan, bahkan tanpa nyawa. Premis menarik itu diolah dengan cara yang dangkal, dari alur yang predictable, hingga karakterisasi yang tumpul dan tidak mampu menjadikan anda tertarik pada tokoh dalam cerita yang terasa tak bernyawa. Namun masalah utamanya berasal dari Brad Furman yang tampak tidak percaya diri, dan uniknya tidak mampu menutupi rasa bingungnya pada cerita yang kemudian menjadikan Runner Runner perlahan kehilangan nafas dan mati.

Ide yang ia miliki sama dangkalnya dengan premis yang ia punya. Anda akan sering menemukan cerita stuck di banyak bagian, narasi loyo yang tampak bingung untuk meneruskan petualangan itu dengan cara apa, dan kemudian menghadirkan elemen-elemen yang bukannya membuat ia tampak cerdas tapi sebaliknya. Satu pertanyaan yang kerap muncul selama menonton adalah, “apakah ini thriller?” Datar, dan itu dominan. Ketika party tidak tampak kebahagian, ketika mencekam tidak hadir suasana tegang, bahkan adegan seks saja tidak memiliki gairah yang mumpuni.

Ya, bagaimana bisa suatu film menjadikan penontonnya perlahan semakin merasa tertarik jika untuk membangun  antusiasme pada diri sendiri saja ia tidak mampu. Tidak perlu menunggu hingga akhir, sebelum paruh pertama saja film ini sudah mati. Yang tersisa hanyalah sebuah penantian bagaimana ia akan berakhir (yang celakanya juga tidak menarik, walaupun hal tricky itu punya potensi besar), menyaksikan seorang mahasiswa yang dengan penuh rasa bingung dan kurangnya percaya diri berjalan-jalan dalam masalah yang dikelilingi materi mewah dan uang berlimpah.

Justin Timberlake adalah pilihan yang tepat jika ia ditempatkan pada tugas sebagai sosok scene stealer, namun hal sebaliknya berlaku jika ia bertindak sebagai tokoh utama yang berjalan dalam cerita tanpa fokus utama pada elemen romantisme. Jangankan untuk menuntun penontonnya keluar dari misteri, ia menjadikan Richie justru tampak bingung dengan misteri yang ia miliki. Saya adalah fans Gemma, tapi disini ia tampil tidak memuaskan. Sedangkan Ben Affleck justru menimbulkan pertanyaan, apa tujuannya ikut serta dalam proyek ini jika pada akhirnya performa yang ia berikan lewat karakter Ivan tampak jauh dari kesan totalitas yang mumpuni.


Overall, Runner Runner adalah film yang tidak memuaskan. Kita mungkin akan mengalami hal yang sama, terkecoh dari pemeran yang berpotensi untuk mendongkrak film ini menjadi sebuah kemasan yang potensial. Jika anda salah satunya maka bersiaplah kecewa, bukan karena upaya ia untuk tampil megah namun gagal, apalagi tidak mampunya ia menciptakan dinamika sebuah film thriller, Runner Runner sudah gagal sejak bagian awal, tidak mampu menjadikan anda sebagai penonton dapat melihat bahwa cerita yang ia punya memiliki nyawa.



2 comments :

  1. Dari judulnya saja sudah terlihat sangat buruk..

    ReplyDelete
  2. @Yunus Sanusi: Imo sih gak buruk, tapi lebih jadi beban buat ceritanya. :)

    ReplyDelete