27 September 2013

Movie Review: Oh Boy (2012)


Oh Boy adalah sebuah sensasi bulan april yang lalu pada perhelatan German Film Award yang diberi label sebagai Oscar bagi perfilman Jerman. Berhasil memenangkan enam perhargaan dari sembilan nominasi yang ia peroleh, menundukkan kompetitor mega budget bernama Cloud Atlas hingga Lore dalam kategori best film, yang menarik ini justru adalah film debut dari sutradara bernama Jan-Ole Gerster. Terinspirasi dari lirik A Day in the Life milik John Lennon, Oh Boy adalah petualangan tragicomedy selama satu hari yang absurd, ringan, dan menyenangkan, ketika tragis dan melankolis berpadu dengan manis.

Niko Fischer (Tom Schilling), seorang pria yang sudah lewat dari tahap awal periode usia 20 tahun, adalah sosok yang kacau. Ya, sederhananya memang begitu, menghabiskan kesehariannya didalam apartement, mengaku pada ayahnya bahwa ia masih menjalani masa studi padahal faktanya sudah mengalami drop-out hanya karena upaya agar tetap mendapatkan sokongan dana, seperti mati segan namun hidup tak mau dengan menjalankan aktivitas tanpa motivasi. Tapi suatu hari sepulangnya dari mengunjungi seorang psikiater, Niko masuk kedalam petualangan yang berbeda.

Hanya karena keinginannya untuk dapat minum kopi yang tidak kesampaian, Niko justru dapat bertemu dengan banyak orang yang selama ini tidak ia dapatkan, dari tetangga baru yang menyebalkan, jalan bersama sahabatnya Matze (Marc Hosemann), hingga bertemu seorang wanita bernama Julika Hoffmann (Friederike Kempter). Hebatnya itu bukan perjalanan yang biasa, karena dari sana Niko menemukan banyak hal baru yang pada akhirnya menjadikan ia sadar bahwa apa yang selama ini ia lakukan adalah sebuah tindakan yang salah.


Sebagai pembuka, anda mungkin akan sulit menemukan tawa skala besar sekalipun Oh Boy mengklaim bahwa ia adalah sebuah film komedi. Oh Boy hanya kebalikan dari itu, yang kemudian ia gabungkan dengan menghadirkan sebuah petualangan yang ringan dan nyaman, sebuah proses pengamatan yang tidak menyiksa dari pergerakan karakter yang sedang tersiksa. Benar, salah satu cara sederhana untuk menilai sebuah film bagus atau tidak adalah kemampuan ia untuk menjadikan anda tidak melihat jam dalam upaya mengetahui sudah seberapa jauh ia berjalan, dan Oh Boy tidak memiliki itu.

Karakter anti-hero, berjalan selama satu hari dengan fokus untuk memenuhi hasratnya meminum secangkir kopi yang selalu menemui hambatan yang justru secara periodik membawanya masuk kedalam konflik-konflik kecil yang dengan menggunakan permasalahan disekitarnya sebagai pembanding yang kemudian berhasil membuka mata Niko bagaimana dibalik kehidupannya yang masih “aman” itu ia sesungguhnya telah menjadi sosok yang pasif, sikap santai, tanpa ambisi, dan lebih banyak diam yang justru mulai membawanya menuju sebuah kehidupan yang berantakan.

Putus dengan pacar, permasalahan kartu kredit, bertemu teman lama, hingga golf humiliated, Jan Ole Gerster pintar dalam menciptakan berbagai situasi lucu yang mungkin tidak terlalu umum namun mampu mengundang tawa dalam bentuk yang sederhana dengan lebih mengedepankan sisi ironi dari tiap karakter untuk menjadikan anda menilai bahwa itu lucu. Hal tersebut juga banyak terbantu oleh salah satu kekuatan Oh Boy itu sendiri yang terletak pada betapa besarnya kekuatan dari masalah yang ia coba angkat untuk dapat menjadikan penonton menaruh simpati dan empati pada karakter utama.


Oh Boy mungkin tidak memberikan nilai-nilai dari pesan utama yang ia emban sejak awal secara langsung ketika ia berjalan akibat caranya yang begitu ringan dan santai itu. Tapi ia punya after effect yang cukup besar, mampu menjadikan anda untuk mencoba mengingat kembali apa yang baru saja anda saksikan, mengaitkan satu dengan yang lain, dan kemudian menyadari betapa banyak dalam hal kuantitas pesan yang ia berhasil sampaikan lewat adegan-adegan singkat yang dibangun dalam bentuk narasi yang sederhana itu.

Benar, dalam durasinya yang singkat, 83 menit, Oh Boy punya banyak konflik yang berhasil Jan Ole Gerster satukan dalam bentuk yang padat namun efektif. Ini mengejutkan, karena Oh Boy sebenarnya punya potensi untuk digali jauh lebih dalam lagi di tiap konflik tadi, namun keputusan Gerster untuk tidak mau bergerak terlalu jauh juga yang menjadikan kisah absurd itu tidak menghadirkan dinamika cerita yang merusak kenikmatan menonton, berhasil menyentuh dan menghibur sama baiknya, sehingga petualangan yang mungkin akan tampak seperti tidak memiliki tujuan dengan beberapa plot yang disengaja ini tetap mampu menarik atensi.

Keberhasilan Jan Ole Gerster membangun script yang ia susun menjadi proses pengamatan yang tidak menjemukan juga terbantu berkat performa mumpuni dari Tom Schilling, mampu menghadirkan pesona yang menjadikan Niko seperti karakter nyata yang berkelana di kota Berlin, tampil menawan, dan mampu menjadi objek observasi yang menarik. Pemilihan warna monokrom juga tepat, apalagi dengan kehadiran beberapa shoot cantik yang kemudian dikombinasi bersama dengan score jazz, menciptakan kesan klasik namun juga berdampak positif dalam membantu ironi dari karakter utama.


Overall, Oh Boy adalah film yang memuaskan. Memang absurd, tapi Oh Boy berhasil menjadi proses pengamatan tentang kehidupan kelam yang menarik berkat kemampuan Jan Ole Gerster menjaga fokus utama lewat perpaduan hitam dan putih cerita dalam bentuk yang padat dan efektif, dari awal hingga akhir. Ladies and Gentlemen, let’s get a cup of coffee, everyday, karena jujur saja saya ingin mengalami apa yang dialami oleh Niko secara konstan, karena salah satu cara sederhana yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup ketingkat yang lebih tinggi lagi adalah dengan bertemu banyak orang dan hal baru. What a debut, Mr. Jan Ole Gerster.



0 komentar :

Post a Comment