09 August 2013

Movie Review: The Silence (Das letzte Schweigen) (2013)


Ada kalimat “hadapi semua masalah dengan senyuman”, namun sebenarnya itu saja tidak cukup. Senyuman adalah tampilan fisik yang dapat di rekayasa, tidak menjadi penggambaran dari kondisi nyata seseorang. Anda perlu faktor lainnya, rasa tenang. The Silence (Das letzte Schweigen) berhasil menjadi sebuah sajian menarik yang membuktikan teori tersebut, sebuah perpaduan efektif dari crime, thriller, dan juga drama, film yang menjadikan Memories of Murder sebagai inspirasi utamanya.

8 Juli tahun 1986, Pia, seorang gadis muda berusia 11 tahun, dinyatakan hilang dengan jasad yang tidak ditemukan. Hanya sepeda dan sebuah headphone miliknya yang tertinggal, ditemukan di sebuah ladang gandum yang pada akhirnya dianggap sebagai makamnya, yang tragisnya juga menjadi tempat dimana ia terlebih dahulu diperkosa oleh seorang pria bernama Peer Sommer (Ulrich Thomsen). Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi, 23 tahun kemudian, pada tanggal yang sama, seorang gadis muda lainnya bernama Sinikka (Anna Lena Klenke) dinyatakan hilang, tepat dilokasi yang sama, ladang gandum didekat makam Pia.

Kondisi tersebut sontak menghadirkan sebuah kepanikan besar dengan pertanyaan utama apa maksud dari si pelaku tersebut jika menilik tanggal yang ia pilih serta metode dan tempat yang sama persis. David Jahn (Sebastian Blomberg), seorang detektif yang baru saja menerima sebuah pengalaman pahit, dipercaya menangani kasus yang ikut menarik kembali pihak yang pernah terlibat lebih dari dua dekade lalu, Detektif Krischan (Burghart Klaußner) yang telah pensiun, hingga Elena (Katrin Saß), ibu Pia. Namun Timo Friedrich (Wotan Wilke Möhring) adalah sosok yang paling merasa cemas dan menganggap peristiwa ini sebagai panggilan buatnya, pria yang 23 tahun lalu berada di dalam mobil merah milik Peer.


Mungkin terkesan rumit, namun film yang diadaptasi dari novel berjudul Das Schweigen karya Jan Costin Wagner ini sesungguhnya punya inti yang sangat sederhana, faktor yang justru menjadikan penggambaran yang ia bangun menjadi menarik. Menawarkan warna cerita yang tampak seperti sebuah kisah detektif dengan penilitian terhadap kasus utama yang unik, The Silence justru hadir sebagai sebuah sajian yang berisikan siksaan psikologis dijalankan dengan tenang bersama kebingungan yang terus ia tampilkan.

Kesuksesan utama The Silence terletak pada kemampuan ia menciptakan sebuah arena bagi permainan imajinatif, ditemani rasa gelisah dan cemas yang berasal dari ancaman konflik utama, namun menariknya minim adegan kekerasan. Kuncinya terletak pada pertanyaan dan misteri yang berhasil dibangun dengan baik oleh Baran do Odar, menghadirkan situasi penuh rasa putus asa dalam cerita yang berjalan tanpa jawaban yang terkunci mati pada satu opsi dari pertanyaan yang ia lemparkan, ditemani dengan nuansa gelap psikologis yang tidak pernah padam berkat cinematography yang mumpuni.

Dengan menggunakan sebuah kisah kembalinya memori buruk bersama cerita yang bertemakan sebuah perpaduan antara cara kerja kepolisian, kisah pembunuh berdarah dingin, The Silence mampu mengkombinasikan dua materi tadi sehingga dapat berjalan bersama dengan present condition, membangkitkan rasa sakit namun tidak mematikan potensi yang dimiliki konflik baru. Pilihan untuk tidak menggali terlalu dalam tiap karakter ikut memberikan dampak pada kompleksitas cerita yang menjadi seolah tampak rumit, menghasilkan sebuah arena bermain yang tepat guna bagi rasa sedih, rasa bersalah, hingga rasa keji terhadap tindakan pedofilia untuk merasuk kedalam sudut pandang penontonnya.


Uniknya lagi, hanya dengan nuansa kelam The Silence sanggup menyajikan ketenangan yang punya daya cengkram mumpuni, berjalan lambat bersama gelapnya cerita, membagi dengan baik penderitaan pada setiap karakter, kemudian digerakkan dengan tempo yang variatif dan mampu menjebak penontonnya ikut serta terperangkap dalam cerita. Hal tersebut yang mampu menjaga fokus dari proses pencarian jawaban dari pertanyaan itu tidak kehilangan power, meskipun di beberapa bagian The Silence justru kerap kali akan dengan mudah terlihat seperti mondar-mandir, mungkin akan membosankan bagi sebagian orang walaupun itu ia lakukan masih dengan arah yang jelas.

Yap, mungkin, karena film ini terasa tidak stabil di bagian tengah cerita. Bergerak maju dengan menggunakan beberapa cara efektif untuk menjaga eksistensi kisah masa lalu, The Silence menjadikan rasa bingung yang ia hadirkan dalam sebuah ambiguitas memberikan dampak menghalangi upaya para penonton untuk ikut menaruh simpati pada karakter. Anda bisa melihat rasa cemas dan takut, namun tidak untuk ikut merasakan hal itu pada titik tertinggi. Begitupula dengan kehadiran beberapa scene yang terasa kurang penting, mengorbankan durasi yang mungkin jika dipangkas 15 menit akan mampu menambah kesolidan cerita yang ia miliki.

Dari divisi akting yang dipenuhi warna canggung, penampilan memikat menjadi milik Wotan Wilke Möhring. Dialog yang ia miliki memang minim, namun berhasil mencuri posisi utama berkat wajahnya yang ekspresif dalam menggambarkan apa yang ada dipikirannya. Sedangkan dua aktor lainnya menjadi objek hitam dan putih, Sebastian Blomberg dengan rasa cemas yang ia tinggi, dan Ulrich Thomsen dengan ketenangan yang maksimal. Katrin Saß mampu menjalankan tugasnya untuk menjaga rasa sakit dari kasus Pia.


Overall, The Silence (Das letzte Schweigen) adalah film yang cukup memuaskan. Punya konflik utama yang sederhana dan unik, script yang rapi, berhasil dibangun menggunakan cara yang menarik. Film ini berhasil menjadi penggambaran yang menyenangkan bahwa dalam kondisi seburuk apapun kemampuan dalam mengontrol diri bersama rasa tenang dalam menghadapi masalah dapat memberikan anda hasil yang positif. Tidak segar, namun efektif bagi mereka yang gemar dengan cerita tentang kekacauan emosional yang berjalan tenang. Sederhana, segmented.











0 komentar :

Post a Comment