30 August 2013

Movie Review: One Direction: This Is Us (2013)


Respon pertama ketika mendengar kabar bahwa One Direction akan meluncurkan film dokumenter mereka pada tahun adalah timbulnya sebuah pertanyaan, sudah pantaskah lima anak muda British ini mendapatkan kesempatan menghadirkan sepenggal kehidupan mereka kedalam layar lebar? Belum genap dua tahun dari debut mereka, history yang minim, apa yang ingin mereka tawarkan? Dari fakta itu One Direction: This Is Us dapat dengan mudah diberikan label “sebuah upaya komersial”, minim unsur serius, berisikan tumpukan lagu, dan menuntut calon penonton untuk tidak berharap banyak. I put my maximum expectation in 6, and I get what I want.

One Direction adalah sebuah English-Irish boy-band yang beranggotakan lima pemuda yang berada dipenghujung usia remaja, Niall Horan, Zayn Malik, Liam Payne, Harry Styles, dan Louis Tomlinson. Pada awalnya mereka bukan sebuah tim, berjuang secara individual mengikuti ajang pencarian bakat dibidang musik, The X Factor, yang bahkan tidak berhasil mereka tembus sampai ke babak utama. Namun tentu ada alasan dibalik pernyataan salah satu dari mereka yang mengatakan bahwa mereka adalah lima pemuda paling beruntung didunia.

Simon Cowell, kala itu kembali menciptakan kontroversi (hal yang menjadikannya banyak dicintai), memanggil kembali lima pemuda ini, menyatukan mereka untuk berkompetisi dibawah bendera One Direction. Lantas apa yang menjadikan mereka begitu cepat terkenal, juara saja mereka tidak, namun dengan konyolnya sudah mencapai level komparasi dengan sosok legenda seperti The Beatles? Yap, mereka punya fans (wanita) yang luar biasa, punya power yang dashyat di media jejaring sosial. Mungkin itu pula alasan utama kemunculan film ini, sebagai sebuah fans service kepada fans setia mereka.


Saya tidak mau mengatakan “I’m not a Directioner,” karena menolak untuk mengakui hal tersebut dalam upaya agar menjaga image sebagai seorang pria adalah tindakan tidak penting yang menguras energi, dan bahkan terkesan bodoh. Even I’m not they biggest fanatic and lunatic fans, saya suka lagu-lagu 1D ketika pertama kali mereka muncul (anda bisa cek PnM Music Chart tahun lalu), mereka ringan, catchy, dan mudah untuk menjadikan (at least) ujung kaki anda ikut bergoyang. Lagipula mereka punya kualitas  yang masih cukup mumpuni dalam hal teknik vokal, hal paling penting yang harus di apresiasi ketimbang image mereka.

Namun kembali ke pertanyaan di paragraf awal, apa yang sebenarnya telah 1D miliki sehingga mereka dengan penuh rasa percaya diri mencoba untuk mengikuti jejak Justin Bieber: Never Say Never dan Katy Perry: Part of Me di dua tahun kebelakang? Mari kesampingkan dahulu ratusan nominasi serta puluhan penghargaan yang mereka raih, dan melihat fakta bahwa perjalanan yang dibangun grup ini masih terlalu muda, menghasilkan dua opsi sempit bagi Morgan Spurlock, yang pernah berteman dengan McDonalds selama satu bulan hampir satu dekade silam. Apa yang Spurlock ingin berikan, “hiburan visual”, atau perjuangan hidup berbalut kisah personal? Ternyata opsi pertama adalah pilihan utamanya.

Ya, ini murni hiburan visual dalam bentuk konser. Sejarah yang singkat memberikan keterbatasan pada sisi materi bagi Spurlock, yang kemudian memutuskan untuk menjadikan One Direction: This Is Us menjadi sebuah kemasan yang terasa sangat santai. Ini seperti menyaksikan tamasya keliling dunia, berisikan kumpulan lagu hits yang terkenal dalam bentuk cuplikan konser, wawancara yang mencoba tampil imut dan lucu, dan dibalut bersama tingkah konyol yang variatif dan sedikit anarkis. Spurlock memang sangat fokus pada upaya untuk menggambarkan sisi lain yang fun dari anggota 1D, namun sayangnya ia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia punya fokus lain selain hal tadi.

Kasarnya, Spurlock memilih bermain sangat aman pada film ini. Tidak ada bumbu yang dapat mengundang sedikit gelombang konflik dan warna gelap pada cerita, ini hanya berisikan kesuksesan, kesuksesan, dan kesuksesan, sebagai arena show-off untuk menunjukkan betapa beruntungnya mereka, serta betapa hebatnya fans wanita yang mereka miliki. Hasilnya, sedikit monoton dan cenderung datar. Jika anda pernah mendengar lagu mereka, cuplikan konser pasti akan punya daya tarik yang besar, terlebih ia menjadi tempat dimana salah satu jualan utama film ini berada, pertunjukan visual yang dibalut dengan sentuhan 3D yang nyaman dan menghibur.

Lantas bagaimana elemen lain diluar permainan visual yang dipenuhi jeritan para gadis itu? Lemah. Memang banyak adegan yang cukup memorable, sebut saja kehadiran Martin Scorsese, Chris Rock, dan Cristiano Ronaldo, kemunculan seorang neuroscientist, pembuktian dari Horan dengan membuka jendela yang disambut jeritan luar biasa, hingga Zayn yang memberikan hadiah kepada ibunya. Tapi penempatan mereka yang mengganggu, random, absurd, tempel sana-sini, sangat terlihat pengaruh dari tidak berhasilnya pesan utama dari sisi non-fun (keep dreaming) yang kuat, menjadikan ia seperti berjalan tanpa sebuah destinasi yang jelas.

Ini tentu saja hiburan yang menaruh sasaran tembak pada kaum wanita, namun yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan para pria? Not bad imo, jika anda setidaknya pernah menikmati lagu mereka. Yang berbahaya justru mereka yang kurang familiar, karena unsur fun dalam bentuk tindakan-tindakan konyol yang dihadirkan punya potensi bekerja dan gagal yang sama besarnya.



Overall, One Direction: This Is Us adalah film yang kurang memuaskan. Jika harus dinilai sebagai sebuah konser, One Direction: This Is Us sangat layak untuk mendapatkan nilai yang sedikit mumpuni, namun sebagai sebuah film dokumenter (saya bahkan lebih senang menyebut ini sebagai sebuah concert film), kombinasi antara bercerita dan bernyanyi, One Direction: This Is Us adalah sebuah kemasan yang kurang mumpuni. At least this is not as bad as the Jonas Brothers documentary, and the most important thing is i'm pretty sure Directioners will love it.




1 comment :