15 August 2013

Movie Review: Keep the Lights On (2012)

 

Salah satu pertanyaan yang punya tingkat kesulitan cukup tinggi adalah “apakah anda setuju dengan hubungan sesama jenis?” Jika anda setuju, berarti anda menentang kodrat alam yang “katanya” telah tercipta sejak ribuan tahun yang lalu, namun jika jawabnya adalah tidak, maka dilain sisi anda tidak menaruh respect pada kreasi Tuhan lainnya, cinta. Film ini mencoba mengajak penontonnya untuk mencoba mengerti bahwa cinta adalah hubungan dua arah, dari dua insan, to know when to give up, and when to keep the lights on.

Tahun 1998, Erik (Thure Lindhardt), pria perfeksionis yang bekerja sebagai sutradara, sedang mengerjakan sebuah film dokumenter yang telah menguras banyak waktu. Yap, biaya menjadi kendala, padahal Erik dapat menutup hal tersebut dengan meminta bantuan dana kepada orang tuanya, seperti yang disarankan oleh kakaknya Karen (Paprika Steen). Tapi sayangnya sikap tidak ketergantungan yang ia tunjukkan tersebut tidak terjadi pada kehidupan asmara Erik. Adalah Paulus (Zachary Booth), seorang pengacara, bertemu lewat phone sex hotline, seorang pria yang menjadikan Erik tak bisa hidup tanpanya.

Saling suka satu sama lain, mendapatkan dukungan dari teman mereka, termasuk Claire (Julianne Nicholson) yang sebenarnya mengharapkan sesuatu dari Erik, mereka memutuskan untuk tinggal bersama, yang juga menjadi awal kemunculan dinamika asmara dalam hubungan yang berlangsung lama ini. Kecanduan Paulus terhadap narkoba semakin parah, yang celakanya berjalan searah dengan ketergantungan Erik kepada Paulus. Suka cita mulai bercampur dengan rasa putus asa, menciptakan hubungan yang pasang surut dalam investasi cinta yang terus ditemani rasa ragu dan frustasi.


Cerita yang ditulis oleh Ira Sachs dan Mauricio Zacharias, mengambil pondasi dari kisah nyata yang pernah dialami oleh Sachs sendiri, punya kemampuan yang menarik dalam menciptakan situasi dari apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan di film ini. Keep the Lights On adalah arena bermain bagi hitam dan putih untuk saling mengalahkan, ada cinta sesama jenis yang masih sulit untuk diterima banyak orang, dijalankan bersama tekanan dan siksaan pada karakter, menciptakan sebuah objek menarik bagaimana hubungan yang berantakan antara dua pribadi yang sejak awal telah rusak.

Apa yang menjadikan Keep the Lights On menarik adalah keputusan Ira Sachs untuk terus menyelimuti cerita dengan rasa ragu. Hubungan yang diwarnai dengan up and down, dengan gelora cinta yang datang dan hilang, ini adalah sebuah penggambaran bernuansa buram tentang bagaimana sebenarnya posisi cinta diantara dua insan, dengan dampak yang dihasilkan lewat satu karakter yang seperti tersesat dalam sebuah labirin berisikan rasa bingung sembari terus menahan diri.

Menariknya, terlepas dari tema gay yang ia terapkan film ini sebenarnya mengusung pesan yang jauh lebih universal dan mampu menjangkau penonton umum ketimbang terjebak dalam romantisme sesama jenis. Namun film ini masih kalah jika harus dibandingkan dengan film LGBT tahun lalu, Weekend, yang dikemas menarik dalam menggambarkan suka dan duka, namun tetap mampu menjadikan penontonnya merasakan kenikmatan berjalan dalam cerita karena karakter yang hidup, tidak seperti Keep the Lights On yang di beberapa bagian kerap kali gagal menjadi seperti judul yang ia miliki, mati.

Kejenuhan utama berasal dari pengulangan yang ia lakukan. Sejak awal ia memang sudah menuntut penonton untuk terlibat secara kuat dengan karakter, namun celakanya apa yang ia minta tersebut ternyata jauh lebih dalam dari yang saya perkirakan. Pergerakan cerita monoton di beberapa titik, menjadikan penontonnya menunggu dengan karakter yang mulai tampak jenuh. Yap, ini sedikit membosankan, dan apa yang menjadikan anda terus menemani ia berjalan lebih kepada rasa penasaran terhadap karakter, yang meskipun punya chemistry mumpuni dari Lindhardt  dan Booth, namun kerap kali menghadirkan sebuah kerentanan yang kurang hidup, menciptakan kesulitan bagi penonton untuk menaruh simpati pada mereka.

Dampaknya cukup siginifikan, karena disaat anda tidak bisa klop dengan karakter, maka romansa yang mereka hadirkan menjadi kurang menarik, terlebih ini semua tentang Erik, dengan Paul yang lebih tampak seperti pion pembantu. Kita hanya diberikan ruang pada diri Erik untuk menaruh sudut pandang pada cerita yang sebenarnya cukup banyak berisikan kegiatan observasi pada pertumbuhan dinamika cinta yang sesungguhnya sangat menarik. Anda terus dituntut untuk fokus sejak awal, disajikan beberapa bagian yang monoton, dan mungkin akan berakhir menyedihkan ketika rasa sabar itu habis dan menganggap bagian akhir yang sudah mulai melemah itu sebagai penutup dari sebuah kisah nonsense.


Overall, Keep the Lights On adalah film yang cukup memuaskan. Mengejutkan karena materi yang ia berikan ternyata lebih universal ketimbang tema LGBT yang ia usung. Secara inti Ira Sachs sangat sukses menghadirkan kisah tragis dari cinta dalam warna kabur antara dua karakter sesama jenis yang juga sama-sama rusak. Namun dibeberapa bagian ia monoton, kekurangan power, dan sedikit membosankan. Sebuah segmented movie yang menarik, bagaimana masalah adalah anugerah untuk menjaga sebuah hubungan tetap hidup.  



1 comment :

  1. ahaha, ihhh penulis kayaknya maho juga bhahaha

    ReplyDelete