11 August 2013

Movie Review: The Big Wedding (2013)

 

"It's marriage. One compromise down, 2.999 million to go."

Marriage is a triumph of imagination over intelligence (Oscar Wilde). Kombinasi antara emosi dan fantasi dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar, bahkan mampu mengubur kecerdasan seseorang, dan semakin kacau disaat masuk kedalam lingkup pernikahan. Cinta memang sederhana dan rumit, tapi ada yang mengatakan bahwa jawaban dari pertanyaan "apa itu cinta sejati?" sebenarnya mudah, cinta anda kepada anak-anak anda. The Big Wedding mencoba menggambarkan hal tersebut, empat keluarga dalam sebuah cerita, it's a big mess.

Seperti judul yang ia usung, film ini merupakan perpaduan dari tiga konflik utama. Bermula dari Ellie Griffin (Diane Keaton), wanita paruh baya yang telah bercerai selama 10 tahun dengan Don Griffin (Robert De Niro), namun masih sepakat untuk menjalin hubungan yang harmonis berkat tiga anak mereka, Jared (Topher Grace), Lyla (Katherine Heigl), dan Alejandro (Ben Barnes). Ellie bahkan masih memiliki akses bebas untuk masuk ke rumah Don yang berada di tepi danau, yang juga menjadi sebuah kejutan bagi kekasih Don, yang juga merupakan sahabat baiknya, Bebe (Susan Sarandon), ketika ia memutuskan kembali untuk menghadiri salah satu acara penting anak mereka.   

Yap, mereka akan menyelenggarakan pernikahan anak adopsi mereka, Alejandro, dengan seorang wanita cantik bernama Missy (Amanda Seyfried), yang ketika Don bertemu Ellie sedang melakukan pertemuan dengan Father Moinighan (Robin Williams), pastor yang akan menikahkan mereka. Alejandro dan Missy masih terjebak dalam perbincangan dengan topik yang sangat sensitif, virginity, yang celakanya justru di pegang teguh oleh abang mereka Jared, yang kala itu sedang menangani kakak perempuan mereka, Lyla, yang sedang berada dalam tekanan dan mudah pingsan ketika melihat bayi. Celakanya, sebuah pernyataan dari Alejandro memicu sebuah konflik yang menguak sebuah rahasia besar dimasa lalu yang saling terikat.


Merupakan remake dari film Prancis berjudul Mon frère se marie, begitu sulit untuk menampik bahwa The Big Wedding merupakan sebuah buku cerita singkat yang berisikan kekacauan luar biasa namun ditutupi dengan kemasan yang manis. Mengusung komedi gelap dengan warna satir serta tema utama sebuah keluarga disfungsional, The Big Wedding adalah film kelas C, yang berisikan para aktor kelas A dan juga B+. Kesalahan utama terletak pada pundak seorang Justin Zackham, sejak pondasi utama sebuah naskah yang bertumpuk tanpa dikembangkan dengan baik, terjebak dalam hal-hal klise yang justru ia sengaja bentuk agar menjadikan tontonan ini tampak kompleks.

The Big Wedding banyak mencoba bermain dengan dialog untuk menciptakan situasi yang lucu, namun celakanya tanpa dukungan materi yang kuat. Hasilnya, berantakan, datar, dan memberikan dampak kekacauan yang sangat besar pada power dari cerita utama yang sejak awal sudah seperti dipaksakan untuk dapat bersatu tanpa ikatan yang jelas. Ini seperti sebuah kisah yang merupakan gabungan dari beberapa kisah kecil, dimasukkan kedalam satu wadah tanpa sebuah keteraturan yang menarik, serta di tambal sulam dengan cara klasik. Sayang sekali karena perlakuan tersebut menjadikan film ini rusak, padahal ia sebenarnya masih punya potensi untuk setidaknya menyentuh standar dari sebuah sajian guilty pleasure dengan menggunakan permasalahan internal serta eksternal keluarga.


Sudah tepat memang, menggunakan momen pra-wedding sebagai arena bermain terungkapnya berbagai masalah dalam sebuah relationship, namun lepas dari sana film ini hilang arah, tidak fokus. Kesalahan utama berasal dari cara ia menyajikan setiap konflik, stuck dan tidak berkembang (atau mungkin tidak mau dikembangkan), dan kemudian menyusunnya menjadi sebuah alur yang kurang menarik, terlebih dengan pilihan dalam membagi fokus tiap konflik yang kurang berimbang seperti tidak mengacu pada tingkat kepentingan yang ia miliki. Dampaknya, cerita sederhana dan predictable namun dalam kemasan kompleks yang ia usung terlihat goyah di banyak bagian, tampak tidak berhasil digabungkan menjadi sebuah kemasan utuh.

The Big Wedding juga tampak seperti bingung sendiri dengan misi utama yang ingin ia sampaikan. Kekuatan cinta? Beratnya sebuah pernikahan? Arti dari keluarga yang sesungguhnya? Atau sebatas sebuah penggambaran dari persiapan pernikahan yang tidak diinginkan terjadi oleh semua orang? Tidak ada yang tampil kuat dan mampu menjadi tiang utama, efek negatif dari terlalu asyiknya ia bermain dengan banyak subplot yang celakanya tidak bekerja efektif untuk membuka ruang perspektif bagi penonton. Ia juga gagal dalam banyak upaya membangun segmen cerita, gagal menyentuh ketika bermain dengan ikatan keluarga, tidak mampu menghadirkan tawa skala besar lewat lelucon yang disampaikan implisit, dan juga kesulitan untuk menghadirkan sebuah “aww” momen ketika unsur romance muncul.

Ya, The Big Wedding jelas bukan sebuah film yang berkualitas, namun (mungkin) setidaknya ia masih punya beberapa elemen yang (mungkin) masih dapat menggapai tingkat kepuasan dari beberapa tipe penonton yang sayangnya tidak begitu luas. Sebut saja beberapa shoot menarik, hingga kinerja para aktor. De Niro, Keaton dan Sarandon adalah pemain utama, berhasil menjadikan ikatan hubungan antara mereka menjadi sumber beberapa tawa kecil, serta menopang subplot lainnya yang secara kualitas jelas sangat payah. Sedangkan yang lainnya tidak punya ruang yang bebas, dan beberapa dari mereka seperti tempelan dengan arti yang kurang penting.


Overall, The Big Wedding adalah film yang kurang memuaskan. Punya potensi, punya materi yang tidak begitu buruk, namun menjadi sangat kacau ketika ia akhirnya dibangun tanpa sebuah alur yang rapi (dan menarik), tanpa fokus yang mumpuni pada dangkalnya cara ia berjalan. It’s just a comedy which can bring you a polite laugh, not because they are funny, just because you feel so pity for them. Keep on the right way baby Jane, because your grandmothers are all nuts.



0 komentar :

Post a Comment