09 June 2013

[Fiction] Are You Still There? #3


Tiga


Aku belum pernah berada dalam kondisi dimana merasa seperti akan menghembuskan nafas terakhirku. Namun perisitiwa tersebut ibarat seekor ular phyton yang dalam sekejap membelit seluruh tubuhku tanpa memberikan sedikitpun kesempatan untuk melakukan perlawanan, bahkan untuk sekedar menarik sebuah nafas yang dalam. Jiwa yang seolah terkurung dalam ruang hampa, bulu gidik yang tak berhenti merinding berpadu dengan wajah yang perlahan menjadi pucat, Aku bersama Lena mengalami hal yang sama, dan mungkin juga sedang memikirkan hal yang sama, apakah kami korban selanjutnya?

Dalam diam kami serentak melangkah kearah yang berbeda menuju ruangan utama. Rasa bingung masih bergelayut di benakku. Dengan begini masalah kami semakin bertambah, bukan hanya Winnie yang masih menghilang tanpa kabar, namun mulai saat ini kami juga harus berjalan bersama perasaan takut dan cemas karena mungkin saja kami menjadi korban selanjutnya. Hal tersebut sontak menggoyahkan keyakinanku pada kemampuan kami menangani masalah ini tanpa campur tangan pihak lain.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Lena.
"Sejujurnya aku mulai ragu akan kemampuan kita Timm. Masalah ini ternyata jauh lebih berat dari yang aku duga."
Aku masih terbelenggu diam, mencoba mengumpulkan kembali rasa tenang dan percaya diri untuk masuk kembali kedalam jiwaku, sambil terus memilah opsi-opsi yang kami miliki.
"Please, bicara. Kalau kau terus diam begini hanya akan memberikan efek destruktif pada diriku," pinta Lena.
"Ada untung dan rugi yang akan kita terima jika hal ini kita sampaikan kepada polisi." kataku.
"Positifnya, kita akan mendapatkan pengamanan, keselamatan kita terjamin. Negatifnya, ruang gerak yang kita miliki akan terbatasi, Len. Dan yang paling menyedihkan itu akan menjadikan kita berdua sebagai pengkhianat atas janji yang telah kita berempat buat beberapa tahun yang lalu. Bagaimanapun caranya, isi pondok ini harus selalu menjadi rahasia."

Enam tahun yang lalu, pondok ini menjadi tempat kami berempat berkumpul ketika pulang dari acara orientasi high school. Berawal dari duka bersama, banyak memori indah yang tertanam di bangunan tua namun kokoh ini, yang dari luar tampak seperti sebuah gudang milik keluarga Winnie. Dari asmara hingga masalah keluarga, semua hal yang terasa menjadi beban kami bawa kesini untuk diselesaikan bersama. Hanya ibu Winnie yang tahu lokasi pondok ini, namun ia tidak pernah masuk ke dalam. Beliau pula yang menjadi pembela dan pelindung kami, terutama ketika almarhum ayah Winnie hendak meruntuhkan pondok ini. Semua perjuangan itu yang menjadi permulaan dari munculnya janji tadi.
Namun fakta itu pula yang menimbulkan pertanyaan, siapa selain kami bertiga yang bisa masuk ke pondok ini, dan menancapkan pisau di foto tersebut? Jack telah meninggal dunia, sedangkan Tania, ibu Winnie, tidak memiliki kunci sebagai akses utama untuk masuk kedalam pondok. Yang tersisa hanyalah aku, Lena, dan Winnie. Fakta mengejutkan ini seperti petir di teriknya sinar mentari di siang hari itu, berhasil menyadarkan kami yang hampir tenggelam dalam buaian imajinasi buruk, namun di lain sisi ikut menerbitkan rasa saling curiga satu sama lain.

"Bukan aku," sahut Lena, "kau percaya kan kalau aku tidak terlibat dalam hal ini?"
"Kenapa secara tiba-tiba kau berkata seperti itu?" tanyaku, " sejak awal aku tidak pernah mencurigaimu Len. Namun yang menjadikan ini semakin rumit adalah opsi yang kita miliki semakin sempit. Tania tentu saja sulit untuk di masukkan ke dalam list, bahkan ketika peristiwa itu terjadi ia sedang berada di Roma."
"Jack?" sahut Lena dengan suara bergetar.
"Jangan jadikan masalah ini menghancurkan logikamu Lena. Apapun yang terjadi Jack telah meninggal, dan kunci miliknya telah kita musnahkan," balasku dengan nada penuh emosi.
"Mungkin ketika Jack masih hidup ia pernah meminjamkan kunci itu ke orang lain?" kata Lena, "semua bisa saja terjadi Timm. Aku semakin bingung kemana lagi nalarku harus berjalan."
Ini terasa semakin terasa sulit bagiku, bukan hanya karena masalah yang semakin rumit namun juga karena satu-satunya partner yang aku punya perlahan mulai ikut terjebak dalam rasa takut penuh kecemasan.
"Mari kita abaikan hal ini sejenak, dan mulai menuntaskan misi utama kita datang kemari," sahutku memecah suasana hening sembari melepas foto beserta pisau tadi dari dinding. "Ayo, bergerak, aku yakin ada sesuatu yang Winnie tinggalkan untuk kita."

Ruang utama tidak pernah sekacau ini, kertas bertebaran dimana-mana, persis seperti lokasi perampokan yang sering kusaksikan di film-film. Lena masih berkutat di ruang utama, dari laci hingga almari. Masih jelas terlihat rasa takut di wajahnya, samar terlintas sebuah rasa tidak percaya dari sorot matanya, wanita yang selama ini ku kenal sebagai sosok yang kuat dan tegar.
Tangannya gemetar kecil, bahkan ia memeriksa benda-benda yang sebenarnya sedikit impossible sebagai objek untuk meninggalkan pesan. Dengan rasa cemas tersebut aku menuju ruang bawah tanah, sebuah ruang kecil yang kali ini hanya kami berempat yang tahu. Ruang ini merupakan tempat kami bersembunyi dari Tania ketika ia datang di malam hari untuk memanggil kami makan malam, dan juga ketika ada orang asing yang menghampiri pondok dan mencoba mengintip melalui jendela. Lantai terbuat dari semen sehingga setiap langkah kami tidak terdengar dengan mudah.

Kubuka pintu ruang rahasia itu, hadir bunyi engsel berkarat yang juga menjadi penyebab suara dari daerah atas.
"Timmy, kau dimana?" tanya Lena.
"Ruang rahasia," sahutku.
Coba ku gapai sakelar, lampu berwarna jingga temaram seketika hadir menghiasi sudut ruangan yang sudah dipenuhi dengan jaring laba-laba ini.

Namun seketika suasana aneh kemudian hadir di mataku, kenapa ruangan ini kosong, dan hanya ada secarik amplop yang terbaring manis di atas sebuah meja kecil. Amplop berwarna hitam itu mencuri perhatianku, berhiaskan rangkaian bunga di semua sisinya yang membentuk lambang hati, bertuliskan "DEAR: TIMMY & LENA" dengan tinta merah pekat layaknya goresan darah.
Tanpa pikir panjang aku lari keatas, dan dengan nada berbisik kupanggil Lena. Raut wajah yang sama ditunjukkan oleh Lena ketika melihat amplop tersebut, tanpa sebuah katapun meluncur dari mulutnya, ia kini hanya terdiam kaku. Aku melangkah maju, menggapai dan langsung membuka amplop tersebut. Secarik kertas berwarna putih kemudian hadir.


Dear: Timmy, Lena, & Jack,

Aku bingung harus mulai bercerita dari bagian mana. Hal pertama yang mungkin harus kukatakan adalah aku sangat menyayangi kalian. Baru enam tahun kita bersama, namun aku seperti merasa telah mengenal kalian sejak aku masih balita. Dari suka dan duka selalu kita bagi bersama, tidak ada keluhan yang kutemukan, semua selalu berhasil kita lalui dan jalani dengan semua senyuman.
Namun seperti yang pernah aku katakan pada kalian, ada kala di mana manusia akan berubah. Sebuah masalah menimpa diriku, masalah yang kali ini tidak dapat aku bagi bersama kalian, karena aku tidak ingin kalian ikut merasa seperti orang bodoh dan gila yang tidak berdaya bersama diriku. Mungkin kalian akan kecewa karena dengan begini aku telah melanggar janji kita, namun percayalah ini adalah pilihan terbaik untuk kita semua.
Aku hanya ingin menyampaikan sebuah rahasia penting kepada kalian. Esok hari, tepat tengah malam, aku akan melakukan pembunuhan di sebuah cafe dekat restoran favorit kita. Semua ini harus kulakukan sebagai upaya untuk mencegah hal yang jauh lebih buruk terjadi pada kita semua. Aku memutuskan untuk menjadi korban, dengan harapan agar semua orang yang aku sayangi dapat selamat. Jaga rahasia ini, kuharap kalian tetap waspada, dan hiduplah dengan bahagia di masa depan demi diriku.

Maafkan aku.

Sahabat kalian, Winnie.
0.92.91.2





Copyright © 2013 by Rory Pinem
All rights reserved

0 komentar :

Post a Comment