02 June 2013

[Fiction] Are You Still There? #2

Dua


Dua pasang bola mata saling bertatapan dengan pandangan kosong, suasana hening dan diam tak bergeming tercipta diantara aku dan Lena. Kami ibarat patung yang bernyawa, tak tahu harus berkata apa setelah mendengar berita mengejutkan dari anchor manis tadi. Jangankan untuk bergerak, bernafas saja semakin lama terasa semakin sulit setelah mengetahui salah satu kerabat yang kami cintai saat ini sedang terlibat dalam sebuah tindakan kriminal yang bahkan sebelumnya telah kami sebut sebagai sesuatu yang impossible.

            "Winnie?" tanya Lena dengan wajah tak percaya.
            "Coba kau tampar aku sekarang," pintaku pada Lena.
Plakk, sebuah tamparan keras melayang di pipiku, yang anehnya tidak memberikan efek apapun.
"Coba kau cium aku," pintaku lagi.
"Nih," jawab Lena sembari mengacungkan jari tengah miliknya.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Lena yang kali ini sedikit menurunkan volume suaranya.
"Aku seperti masih berada di zona abu-abu, antara percaya atau tidak dengan berita ini. Ini benaran? Ini bukan mimpi kan?" jawabku.
"Bukan hanya kau, tapi aku juga berharap ini hanya mimpi," sahut Lena dengan nada hampir berbisik.
"Oh God, kepalaku pusing. Seriously, kiss me," pintaku.
Tanpa pikir panjang Lena beranjak dari tempat duduknya, dan memberikan sebuah ciuman kurang dari dua detik di pipiku, yang anehnya telah menjadi hal biasa diantara kami berdua.
"Oke, sebaiknya kita menuju apartemenmu untuk menyusun rencana selanjutnya," sahutku sebelum Lena sempat duduk kembali.  


--------*--------

"Apa rencana yang ada di pikiranmu sekarang?" tanya Lena yang terduduk lesu di atas kasur.
"Aku harap kali ini kau bisa fokus Timm, ini masalah penting," sahutnya lagi.
Memang, otakku memang cerdas namun terdapat sebuah kelemahan besar yang kumiliki selain joke garing tadi. Ketika sebuah masalah menerpa, aku seperti sebuah boneka yang bergerak random, terkadang bisa serius dan jenius, namun terkadang sering melakukan hal-hal aneh yang bahkan tidak ada kaitannya dengan masalah yang sedang kuhadapi.
"Satu hal yang harus kita sepakati terlebih dahulu Len, apakah kau percaya Winnie adalah pelakunya?" tanyaku.
"Aku bingung. Tapi apa lagi hal yang menjadikan kau berpikiran seperti itu? Sudah jelas ada hasil dari kamera cctv, sebuah fakta yang konkrit Timm," jawabnya.
"No, tidak semudah itu. Pertama, bisa saja Winnie sedang melintas di daerah tersebut dan menemukan jasad enam pria tadi," ujarku.
"Hey, ada pisau berlumuran darah," jawab Lena sembari menunjukkan foto yang ia dapat dari internet.
"Mungkin saja pisau itu sengaja diletakkan tidak jauh dari lokasi sebagai sebuah jebakan," jawabku.
"Opsi kedua, Winnie di bius kemudian di letakkan di lokasi pembunuhan dengan pisau ditangannya. Ketika ia sadar dan bergerak mendekati korban, kamera menangkap gambar Winnie."
"Opsi ketiga, dan opsi terakhir, Winnie adalah pembunuhnya," jawabku dengan nada tegas.

Lena sontak kaget dengan mata terbuka lebar.
"Jadi kau percaya Winnie melakukan hal tersebut?"
"Ya, jika dia tidak melakukan hal tersebut tidak ada alasan baginya untuk kabur," jawabku.
"Aku tahu Winnie, dia orang yang penuh dengan rasa percaya diri," sahutku lagi.
"Hey hey, aku kenal Winnie sebelum kau. Sekuat apapun seseorang ia pasti akan terguncang dengan keadaan dan tekanan yang mendadak kayak gini. Kenapa pria selalu tidak mengerti dengan hal-hal dasar seperti ini?" jawab Lena dengan nada sedikit tinggi.
"Oke oke, tenang. Aku juga sedikit pesimis dengan opsi terakhir, tapi hal tersebut tidak bisa kita hapus begitu saja. Jangan perdulikan kasus pembunuhan itu Len, yang menjadi fokus kita adalah dimana Winnie sekarang berada?"
"Arrgghh, kenapa fotonya harus terpotong dibagian ini? Andai saja sedikit lebih luas kita pasti semakin mudah melakukan analisa," ujarku geram.
"Apakah ibu Winnie sudah menelponmu?" tanya Lena mendadak.
"Beliau sedang menuju kemari menggunakan pesawat pertama dari Roma."

Aku cukup yakin Winnie bukan pelaku pembunuhan tersebut. Selain bukti yang sejauh ini tidak memberikan sebuah jalan menuju fakta yang jelas, aku merasa ada pihak lain yang sedang memantau pergerakan kami dari kejauhan. Mungkin saja Winnie hanyalah sebuah umpan belaka, alat yang pelaku itu gunakan untuk menjalankan misi utama yang ia miliki. Apakah ini sebuah permainan dimana kami menjadi pion yang ia gerakkan. Andai saja Lena mudah untuk diyakinkan, sayangnya hal ini justru akan menjadi sebuah lelucon baginya bahkan jika kusampaikan dengan nada serius.
Tiga lembar kertas tiba-tiba sudah berada diatas meja. Lena mulai menuliskan hal-hal random apa yang ada dipikirannya. Semua hal yang memiliki kaitan dengan Winnie mulai hadir di kertas itu, dari keluarga, para mantan pacar Winnie, kerabat dekat, hingga hal-hal favoritnya.
"Yak, bagaimana kalau kita menuju pondok rahasia Winnie?" kataku.
Lena hanya terdiam sembari terus menulis.
Rasa tidak sabar mulai merayapi nadiku, "Sejujurnya kami bertengkar besar dua hari sebelum kejadian itu," kataku, "dan itu alasan kenapa aku mabuk tadi malam."
Lena mencampakkan pena yang ia pegang, dan dengan penuh rasa kesal mulai menyerangku.
"Hal ini sudah kuduga sejak awal. Dammit Timmy, kenapa kau membuka hal tersebut di momen seperti ini."
Lena mulai berkemas dan mencari jaketnya, dan tanpa pikir panjang kuraih kunci mobil, seketika itu juga kami menuju pondok rahasia Winnie.


--------*--------

Mungkin terasa sedikit luar biasa, di kota yang padat seperti ini Winnie masih bisa memiliki sebuah area khusus yang menjadi tempat spesialnya. Yang aku tahu, hanya Lena, Winnie, aku, dan teman kami Jack yang telah meninggal yang bisa masuk ke tempat ini. Lokasinya tidak jauh dari pekarangan belakang rumah megah berwarna putih milik Winnie, yang sekarang sudah di pagari oleh police line. Beberapa pohon tinggi yang berdiri menyerupai tembok menghalangi jarak pandang menuju pondok ini, sehingga cukup sulit untuk di identifikasi sepintas dari kejauhan.
Sebenarnya ini bukan pondok pribadi milik Winnie, karena faktanya kami juga memiliki akses bebas menuju pondok, bahkan juga diberikan kunci dari gembok pintu utama, yang ternyata belum diganti oleh Winnie. Anehnya, ruang utama seperti baru saja di huni beberapa jam yang lalu, terasa dari aroma segar yang berhembus. Kami mulai membuka satu persatu laci yang berisikan berbagai dokumen yang mayoritas berisikan rencana-rencana gila yang pernah kami susun. Harapan utama kami tentu saja dapat menemukan sebuah clue yang ditinggalkan oleh Winnie. Lena beranjak menuju ruang yang berisikan alat musik pribadi kami, namun setelah pintu terbuka seketika itu pula Lena terdiam membisu. Merasa aneh aku langsung menghampirinya, dan mengalami hal yang sama. Sebuah foto dengan wajah kami berempat tertempel di dinding, dengan sebuah pisau tertancap di bagian tengah!






Copyright © 2013 by Rory Pinem
All rights reserved

0 komentar :

Post a Comment