09 May 2013

Movie Review: Upstream Color (2013)


Jika ditanya apa film yang mampu membuat saya bingung sepanjang ia hadir namun sukses meninggalkan rasa puas yang sangat tinggi ketika ia berakhir, jawabnya adalah Holy Motors. Bergerak random dengan bebas, membuat penontonnya bingung, namun dengan keunikan yang ia tampilkan berhasil menyampaikan sebuah pesan yang pastinya akan membekas cukup lama di memori. Upstream Color juga punya hal tersebut, abstrak dan membingungkan.

Sudah sejak awal anda akan dihadirkan sebuah kasus yang menimbulkan pertanyaan. Dia adalah Kris (Amy Seimetz), wanita yang diculik dan dibius oleh seorang pria misterius yang menggunakan sebuah metode yang cukup aneh, sebuah pil berisikan cacing. Sejak saat itu Kris seolah menjadi robot yang dikendalikan pria tersebut, berada dibawah kendali hipnotis sehingga bersedia melakukan apapun yang diperintahkan kepadanya. Suatu ketika Kris menemukan ada cacing yang bergerak bebas dibawah kulitnya, yang juga membangunkannya dari hipnotis dan kemudian menyadari bahwa semua uang yang ia miliki hilang tanpa sanggup mengingat apa yang telah terjadi.

Dampak yang tertinggal ternyata tidak semudah yang Kris bayangkan. Sejak saat itu ia seperti dihantui rasa cemas, terus bertanya tentang memori masa lalu yang bahkan tidak ia ingat sama sekali. Semakin kacau ketika Jeff (Shane Carruth) hadir, pria yang ia kenal di subway, yang kemudian menjalin hubungan asmara dengannya, namun celakanya ikut terjerumus dalam upaya yang sedang Kris bangun. Kris ibarat sebuah boneka rusak tanpa jiwa yang mencoba menemukan dan menyatukan kembali jiwanya yang hilang, dari hubunganya dengan cacing yang telah ditransfer kedalam seekor babi, hingga tanaman dan suara dari alam.


Abstrak? Ya, ini film yang abstrak, yang bahkan menuntut saya untuk mengulangnya sekali lagi untuk dapat menemukan sensasi dari pesan yang coba sampaikan. Di percobaan pertama anda dapat menangkap pesan yang ia bawa, namun harus diakui “cara” yang film ini pakai akan meninggalkan beberapa ruang kosong skala kecil yang berisikan pertanyaan, sehingga sensasi akhir yang terasa kurang begitu memuaskan.

Apa yang menjadi kelebihan dari Upstream Color justru akan juga menjadi hal yang mungkin akan menyebabkan film ini sulit untuk diterima penonton pada umumnya. Shane Carruth mungkin akan membuat anda bertanya apa sebenarnya maksud dari konflik utama yang film ini bawa, dengan menggunakan narasi yang abstrak, minim dialog, dan mencoba untuk berbicara lewat bahasa gambar meskipun dalam skala kecil. Upstream Color ibarat To The Wonder dalam versi yang lebih kompleks, dimana ia lebih baik karena punya misteri yang lebih banyak, abstrak, namun menarik. Ya, anda akan bingung, dari mind control, cacing dalam usus yang terhubung dengan seekor babi, suara dari alam, namun semua hal tadi anehnya punya kekuatan hipnotis yang begitu kuat.

Ini yang saya suka dari Upstream Color, membawa saya kedalam sebuah ruang cerita yang gelap penuh tanda tanya, berjalan bersama cerita abstrak yang berputar-putar, namun tetap mampu menjadikan anda sebagai penonton tidak sedetikpun menilai apa yang ia berikan merupakan hal konyol dan bodoh yang tidak penting. Menggunakan teknik rekayasa sebagai jalan bagi usaha seorang manusia untuk menemukan arti dari diri mereka, menyelipkan koneksi-koneksi yang terkesan aneh namun tidak kehilangan unsur ilmiah, Upstream Color seperti dunia hipnotis yang memberikan begitu banyak clue bagi penontonnya, dan ketika ia berakhir anda akan disadarkan kembali dari hipnotis tersebut dan mencoba untuk menginterpretasikan serta merenungkan berbagai hal yang telah ia sampaikan. Menyenangkan.


Sangat kagum dengan Shane Carruth, meskipun saya belum pernah menonton filmnya yang berjudul Primer yang katanya juga pernah menjadi sebuah kejutan. Carruth menulis, mengendalikan, dan ikut serta sebagai karakter dalam cerita, dan apa yang ia hasilkan terasa rapi dan teliti bagi saya. Dari segi naskah ia memang terkesan membingungkan, namun Carruth tidak menghadirkan sebuah batasan sehingga menjadikan penontonnya bebas berimajinasi secara liar bersama semua clue yang ia berikan. Begitu pula sebagai sutradara, terutama keputusannya untuk tidak menerapkan narasi linier yang juga berdampak pada misteri yang terus terjaga dengan baik.

Jujur saja tidak ada kekecewaan yang diberikan oleh Upstream Color, namun di sisi lain juga terasa sulit untuk melabeli film ini sebagai film yang sangat megah. Mengejutkan, memuaskan, namun Upstream Color hanya ibarat sebuah pelajaran singkat yang meninggalkan sebuah pesan yang kuat dan begitu membekas di memori, namun tidak dengan semua proses cerita yang ia bangun yang mungkin akan dengan mudah dilupakan begitu saja karena cara abstrak yang ia gunakan. Begitu pula dengan hal teknis yang punya, cantik namun tidak megah.

Amy Seimetz adalah bintang utama, seolah memiliki film ini secara utuh, yang bahkan mampu membuat saya merasakan kehadirannya pada scene dimana Kris tidak hadir. Yang menjadi kekuatan utamanya adalah kemampuan Amy Seimetz menjadikan Kris tampak kosong dan bingung bersama pertanyaan yang menghantuinya. Sedangkan Shane Carruth cukup berhasil membantu mendorong konflik utama menjadi pelik, namun tidak sanggup berdiri sejajar dengan Seimetz.


Overall, Upstream Color adalah film yang memuaskan. Abstrak, membingungkan, namun pada akhirnya ia mampu memberikan rasa puas di akhir cerita. Klimaksnya tidak sebesar Holy Motors, namun pesan yang ia bawa punya kekuatan untuk bertahan lama di memori penontonnya. Sayangnya cara unik yang ia gunakan menjadikan film ini berada diluar kategori mainstream, sehingga sulit untuk diterima penonton luas.



0 komentar :

Post a Comment