26 May 2013

[Fiction] Are You Still There?



Satu



Melangkah santai di gelapnya kabut malam, tak peduli betapa besar bahaya yang telah ku ciptakan serta kutinggalkan sekitar satu jam yang lalu, kini hanya satu hal yang memenuhi pikiranku, dimana kasur ku berada? Hal bodoh semacam ini tak pernah ku alami sebelumnya, melintasi sudut temaram kota bersama otak yang sudah berada dalam kondisi tidak layak untuk beroperasi, berdansa bersama sepasang bola mata yang mulai kehilangan daya fokusnya membagi objek menjadi dua hingga tiga seperti sebuah kacamata tiga dimensi, dan bersenjatakan sebotol minuman keras yang bahkan baru pertama kali ku sentuh.

Dari kejauhan sayup terdengar sebuah pertanyaan melangkah masuk kedalam pikiranku, "sedang apa kau disini, idiot?"
Dia Lena, wanita muda semester enam yang masih mencoba menyelesaikan studinya di jurusan ekonomi, wanita yang entah mengapa selalu saja hadir setiap kali aku berjumpa dengan masalah, dimana ketika tiga detik jiwa normal ku kembali sempat membuatku sadar bahwa malam itu ia sedang shift di restoran tempat ia bekerja.
"Apa yang kau lakukan? Ada masalah apa, Tim?" tanyanya padaku.
"Kamu siapa?" jawabku bodoh setengah sadar.


--------*--------

Itu adalah kalimat terakhir yang kuingat dari kejadian malam tadi, sebuah malam panjang yang terasa berlalu begitu singkat, karena hal berikutnya yang kulihat adalah sinar matahari pagi yang menyerbu melalui kaca dari sebuah jendela ukuran besar, kasur yang terasa empuk dan halus seperti belaian sutra, gambar bergerak dari sebuah tv LED layar lebar, serta wangi semerbak khas bunga lavender, membawaku kedalam bangun pagi imajinatif yang indah hingga akhirnya ku tersadar, ini bukan kamarku.
            "Rupanya si idiot sudah bangun," berasal dari suara yang kukenal, samar kulihat wajahnya, hanya lekuk tubuhnya yang jelas dimataku. Kuraih kacamataku, dan spontan tersentak ketika kulihat Lena sedang menggunakan sebuah baju terusan yang menjadikannya tampak seperti tidak menggunakan celana.
"Apa yang telah kau perbuat pada diriku, Lena?" tanyaku dengan nada penuh drama sembari meraih selimut untuk menutup bagian atas tubuhku yang tak menggunakan baju.
"Cihhh, mengawali hari dengan bermain bersama imajinasi kotormu, itu yang selalu kau lakukan?" jawabnya.
"Ini sarapan, roti favoritmu," sahutnya lagi sembari menyodorkan sebuah piring berisikan dua buah roti panggang.
"Pertanyaannya, apa yang telah kau lakukan tadi malam? Kau tidak pernah semabuk itu, Tim," tanyanya.
"Sebenarnya..., ceritanya..., panjang," jawabku dengan mulut penuh roti yang tak kuduga bisa selezat itu.
Seperti tak perduli dengan jawabanku, Lena beranjak pergi menuju ruang lain. Terkesan cuek namun sangat perhatian, mungkin itu alasan banyak pria jatuh hati pada Lena, yang anehnya sudah kuanggap seperti saudara perempuanku.


--------*--------

            "Koran ini satu," terdengar dari belakang yang otomatis menghentikan langkahku.
            "Ada berita apa hari ini?" tanyaku.
            "Wah, sejak kapan kau perduli dengan berita, sudah nasionalis?" jawabnya dengan sinis.
Setibanya di sebuah restoran cepat saji untuk brunch bersama, kami memilih untuk duduk di sudut ruangan yang merupakan spot favorit kami karena view yang langsung menuju trotoar depan restoran.
"Wanita itu menarik, yang itu kurang, jaket biru lumayan, baju merah oke untuk selingkuhan," upayaku untuk mencairkan suasana yang ternyata kembali mendapat respon dingin dari Lena.
            "Aku masih penasaran, masalah apa yang terjadi tadi malam? Kau tidak pernah seperti itu sebelumnya." tanyanya sembari membaca koran yang langsung merubah topik perbincangan.
Itu hanyalah sebuah pertanyaan sederhana, namun entah mengapa seperti ada sebuah tembok besar dan tinggi yang menghalangiku untuk menyampaikan jawabannya kepada Lena.
            "Nanti saja, aku masih belum fit," jawabku simple yang lagi dan lagi terkesan bodoh karena kelakuan yang telah kutunjukkan sebelumnya.
            "Burger ini lebih enak daripada roti buatanmu tadi," kataku beberapa menit kemudian dengan mulutku yang masih penuh, sembari mencoba meraih minuman soda dengan tangan kananku.
            "Kau semakin mencurigakan Tim, sejak tadi pagi selalu mencoba memulai perbincangan dengan hal-hal aneh yang bukan menjadi ciri khas mu. Ada apa sebenarnya? Kalian berdua bertengkar? Atau ada masalah lain?" kata Lena, sebuah respon yang tidak pernah kuduga sebelumnya, seperti membuka pintu masuk ke ruang interogasi yang gelap penuh sesak.
"No no, just a little bit problem. Dan semalam aku cuma lagi mau mencoba menikmati beer, ingin tahu rasanya gimana," jawabku enteng.
"Pfftt, ini melelahkan. Jangan merusak mood Timm, lebih baik jujur selagi aku masih antusias dengan masalah yang kau alami," jawab Lena.
Aku hanya tersenyum, sebuah cara praktis yang kupelajari dari abangku untuk mengakhiri sebuah perbincangan yang dirasa kurang nyaman dan aman.

Suasana hening yang panjang tercipta sejak senyumanku tadi. Lena masih asyik membuka lembar demi lembar koran yang semakin lusuh akibat tenaga berlebihan yang ia gunakan, sedangkan aku sibuk dengan smartphone, mencoba mencari berita tentang olahraga yang sempat terlewatkan tadi pagi. Keheningan itu pecah ketika terdengar suasana sirine mobil polisi yang melaju dengan kecepatan tinggi.
"Ah, lagi-lagi, Si A kabur dari rumah setelah menyaksikan B yang sedang berselingkuh dengan C," celetuk ku tak ingin kehilangan momentum dari suara sirine tadi.
Lena tidak bergeming, hal yang tidak aneh karena aku memang terkenal dengan joke-joke garing yang bahkan pernah menjadi penyebab sebuah hadiah berupa hantaman keras diwajahku dari seorang teman yang meledak akibat kesal dengan joke yang kuberikan.
Sebuah lembar baru dibuka oleh Lena, yang secara mengejutkan mencuri perhatianku.
"Seorang gadis diduga melakukan pembunuhan terhadap enam pria anggota genk motor"
"Coba lihat ini, apa mungkin hal ini terjadi?," tunjuk ku pada Lena.
"Enam? Seorang gadis? Bahkan aku yang sedikit tomboy saja mustahil melakukannya," sahut Lena.
"Sedikit? Yakin? Serius?" canda ku.
Hanya sebuah sorotan tajam dari matanya yang sedikit sipit itu sudah cukup menjadi jawaban yang kembali membuatku terdiam.
"Tapi kenapa di jaman secanggih ini masih saja ada gambar yang tidak jelas seperti ini di kolom headline sebuah surat kabar besar?" tanya Lena.
"Nope, mungkin posisi CCTV terlalu jauh, jadi hasil zoom yang dilakukan tidak mulus," jawabku dengan enteng.
Berita tersebut awalnya hanya seperti sengatan sesaat, datang sejenak kemudian hilang. Namun tak pernah kusangka ternyata ia menjadi sumber dari sebuah shocking moment. Bersumber dari sebuah tv yang tergantung manis di dinding restoran, seorang anchor yang tidak kalah manis ternyata sedang mengulas berita tersebut.
"...., wanita yang diduga menjadi pelaku pembunuhan yang terjadi dini hari tadi diduga seorang mahasiswi ekonomi bernama Wilhelmina Parker, atau yang lebih dikenal dengan nama Winnie."

Winnie, wanitaku.







Copyright © 2013 by Rory Pinem
All rights reserved

0 komentar :

Post a Comment