16 September 2016

Review: The Light Between Oceans (2016)


"With love, forever, and ever, and ever, and ever."

Derek Cianfrance merupakan sutradara yang memiliki talenta ketika berurusan dengan materi yang mencoba menunjukkan emosi dan intimitas dari sebuah relationship, berusaha mencoba membuatnya tampak pure and looks like a real deal, Blue Valentine dan The Place Beyond the Pines, keduanya berhasil meninggalkan impresi yang begitu kuat. Kali ini ia kembali mencoba mengeksplorasi sebuah hubungan percintaan yang masih menggunakan isu sensitif tentang “kematian” dan ditampilkan dalam bentuk sebuah melancholic mournful, The Light Between Oceans. It’s an old-school and prestigious story about love and sorrowsEmotionally true, emotionally brutal. 

Tidak lama setelah mereka bertemu pria bernama Tom Sherbourne (Michael Fassbender), veteran Perang Dunia I yang kini menjadi lighthouse keeper, dan wanita muda bernama Isabelle (Alicia Vikander) memutuskan untuk menikah dan menetap di lokasi mercusuar pada sebuah pulau terpencil. Namun mimpi mereka untuk memiliki anak selalu kandas, Isabelle mengalami dua kali keguguran. Suatu ketika Tom menemukan sebuah perahu berisikan seorang pria yang telah meninggal dan bayi yang masih hidup, dan atas permintaan dari Isabelle mereka memutuskan untuk membesarkan bayi tersebut. Semua tampak indah bagi Tom dan istrinya hingga ketika ia bertemu dengan wanita bernama Hannah Roennfeldt (Rachel Weisz), wanita yang sedang depresif karena kehilangan suaminya dan anak mereka.  


Jika dibandingkan dengan dua filmnya terdahulu ‘The Light Between Oceans’ merupakan karya dari Derek Cianfrance yang not-so-easy untuk dikonsumsi. Ceritanya memang tidak lebih kelam dari 'Blue Valentine' dan 'ThePlace Beyond the Pines', mereka masih berada di level yang sama, tapi sejak awal ‘The Light Between Oceans’ mencoba menjual kesedihan yang dialami oleh pasangan suami istri tersebut dan hingga akhir berurusan dengan kesedihan. Untung saja Derek Cianfrance kembali berhasil membuat penonton merasa terikat dengan kisah Tom dan Isabelle itu sehingga ketika ia mencoba membangun sebuah great pains yang terjadi di antara mereka semua jadi terasa mudah karena penonton telah merasa berada di samping mereka, dari momen bahagia sampai ketika Tom dan Isabelle harus membuat atau mengambil pilihan sulit yang secara tidak langsung dapat membahayakan hidup mereka, baik sebagai suami istri maupun sebagai individu. 


‘The Light Between Oceans’ ini melodrama yang sederhana tapi punya semacam pesona yang terasa evokatif dan hypnotic. Ini sebuah kisah yang mengajak kamu menyaksikan sebuah pergumulan di mana bahagia serta bahaya berujung duka saling tarik menarik satu sama lain, membawa penonton untuk ikut merasakan penderitaan yang Tom dan Isabelle rasakan, sebuah kisah cinta dengan unsur horror yang terus menghantui sekelilingnya. Derek Cianfrance menerapkan pendekatan yang cukup meditative di sini, Tom dan Isabelle harus mengontrol rahasia terkait bayi tersebut tapi perlahan mulai goyah dengan dilemma terkait moral, baik sebagai pria atau wanita maupun sebagai orangtua. Pada dasarnya apa yang Tom dan Isabelle tidak salah seandainya orangtua dari si bayi tidak diketahui, namun dengan kemunculan Hannah membuat aksi mereka jadi dikategorikan sebagai aksi kriminal dan dilemma itu yang ditampilkan dengan baik oleh Derek Cianfrance di sini. 


Namun meskipun sejak awal sudah tampil lebih jauh dalam hal manipulasi dramatisasi ‘The Light Between Oceans’ tidak berakhir di posisi top notch. Pesonanya masih stabil tapi di bagian akhir impact dari dramatisasi terhadap kesedihan di dalam cerita tidak sekuat seperti di bagian awal, seperti motivasi karakter misalnya yang tidak lagi begitu tajam dan mungkin akan terasa sedikit kering. Meskipun begitu itu minus yang segmented, terasa kecil jika dibandingkan dengan emosi yang konflik memilukan yang masih terus mengikat perhatian, berbagai isu dari rasa bersalah, penebusan, hingga pengampunan masih saling terjalin dengan baik terlebih dengan kemunculan Hannh di dalam cerita. Yang sedikit disayangkan itu adalah bagian akhir yang sedikit terasa rushed, di sana Cianfrance merangkum banyak ide menjadi satu tapi kehadiran mereka terasa mendadak meskipun epilogue itu harus diakui berhasil menjadi salah satu bagian paling menyedihkan dari kisah tentang nasib dan pilihan yang diangkat dari novel dengan judul sama karya M. L. Stedman ini. 


Kesuksesan ‘The Light Between Oceans’ menjadi sebuah kisah tentang sorrow yang manis juga tidak lepas dari kontribusi elemen lain di luar sutradara dan cerita. Salah satunya adalah elemen teknis dan tentu saja kinerja akting. The image speaks for itself, visual yang ditangani oleh Adam Arkapaw (Animal Kingdom, Lore,True Detective, Macbeth!) sukses menciptakan lingkungan yang menggambarkan tantangan bagi Tom dan Isabelle, mengukir tragedy and pain lalu menciptakan ruang di mana karakter bertarung dengan rasa sedih dan tersiksa. Really exquisite dan terkadang terasa breathtaking, dari sunrise dan juga sunsets menciptakan atmosfir yang halus dan lezat. Musik gubahan Alexandre Desplat juga berhasil menjadi pemanis yang baik, cukup mampu mendampingi cerita ketika mencoba menggambarkan gejolak masalah dan emosi yang dialami oleh karakter. 


Dan bagian yang paling menarik dari ‘The Light between Oceans’ sejak awal, cast, juga memberikan kontribusi yang baik. Film ini seperti sebuah soap opera dan para aktor dan aktris berhasil memanggungkan karakter mereka dengan baik. Michael Fassbender kembali menunjukkan ia salah satu aktor terbaik di generasinya, menampilkan Tom sebagai pria loyal yang rapuh, dari masa lalunya dan kini terus mencoba tabah meskipun merasa tersiksa. Alicia Vikander berhasil menjadi seorang istri yang unlikable dan penuh gairah namun di sisi lain karakternya sama seperti Tom, wanita yang rapuh. Chemistry di antara Fassbender dan Vikander sangat manis dan powerful, tidak heran pada akhirnya mereka menjadi real-life couple. Di samping mereka ada Rachel Weisz yang berhasil tidak hanya menjadi third wheel saja tapi juga menusuk ke dalam konflik bersama kesedihan, penderitaan, dan rasa putus asa yang dialami oleh Hannah setelah kehilangan dua sosok yang ia cintai meskipun karakternya terasa sedikit underwritten. 


Sebuah melodrama tear-jerker dengan rasa old-school, ‘The Light between Oceans’ pada dasarnya merupakan sebuah kisah tentang cinta dan harga yang harus dibayar agar dapat membuat kisah cinta tersebut terus berlayar. Menggunakan konflik yang dipenuhi tragedy, misery, dan pilihan di mana batasan antara benar dan salah perlahan mulai terasa ambigu, warnai dengan emosi dan intimacy yang terasa bittersweet, dibantu dengan kinerja akting yang memikat, Derek Cianfrance kembali berhasil menggambarkan sebuah kisah tentang relationship yang menyenangkan namun kali ini dengan membawa penonton menyaksikan dan merasakan pergulatan berbagai penderitaan. It’s a prestigious story about love and sorrows. And yes, it's feels pure and looks like a real deal. Segmented.












0 komentar :

Post a Comment